Kemunafikan Eksistensial al-Ju‘fī

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
Di persimpangan padang Bani Muqaṭil, sejarah mencatat satu momen paling getir dalam perjalanan eksistensi manusia: pertemuan antara Imam al-Ḥusain ibn ‘Alī dan ‘Ubaidillah bin al-Ḥurr al-Ju‘fī. Dalam sorot pandang eksistensialisme, momen ini bukan sekadar sebuah keputusan politis atau pilihan moral belaka — ia adalah manifestasi dari apa yang disebut Jean-Paul Sartre sebagai bad faith, dusta terhadap eksistensi diri.
Al-Ju‘fī tidak buta. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri keagungan dan kebenaran yang bersemayam pada pribadi cucu Rasulullah. Ia mengakui bahwa yang ikut bersama al-Ḥusain akan beruntung selama-lamanya.
Namun, yang ia lakukan adalah sebaliknya: ia memilih hidup — atau lebih tepatnya, memilih penundaan kematian — dengan alasan takut. Ia memberikan kudanya, bukan dirinya. Ia menyumbang alat, bukan jiwa. Ini bukan sekadar penolakan, ini adalah penyamaran kehendak yang disengaja.
Dalam kaca mata Sartre, inilah bentuk paripurna dari pengecut dan bajingan eksistensial. Ia sadar akan kebebasannya untuk memilih makna hidup, namun berpura-pura bahwa pilihan itu terlalu berat, terlalu sia-sia, terlalu tidak realistis — sebuah pembelaan deterministik yang mengaburkan tanggung jawab. Dalam Being and Nothingness, Sartre menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, dan pengkhianatan terhadap kebebasan ini adalah kemunafikan eksistensial itu sendiri.
Lebih dalam lagi, dari perspektif Heidegger, al-Ju‘fī adalah contoh manusia yang tenggelam dalam das Man — kehidupan sosial tanpa autentisitas. Ia tahu bahwa kebenaran berada di pihak al-Ḥusain, namun ia memosisikan dirinya sebagai pengamat netral. “Saya kasihan, saya sedih, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Ini adalah bentuk enframing, di mana realitas — termasuk penderitaan suci al-Ḥusain — direduksi menjadi tontonan. Tidak ada keputusan eksistensial, tidak ada authentic being. Ia hidup sebagai objek dalam sistem kekuasaan.
William James, dalam pragmatismenya, akan menyebut sikap al-Ju‘fī sebagai kegagalan moral praksis. Ia mengakui kebenaran tapi tidak menghidupkannya. Ia memberi kuda dan menawarkan retorika, tapi ia menolak untuk ikut serta. Ini adalah hipokrisi pragmatis: kebenaran tanpa tindakan. Truth happens to an idea, kata James — namun ide al-Ju‘fī tak pernah terjadi menjadi keberanian atau pengorbanan.
Dari sisi Stoik dan filsafat klasik Yunani, Marcus Aurelius dan Epictetus mengingatkan bahwa ukuran jiwa bukanlah apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan saat ujian tiba. Al-Ju‘fī tidak menyangkal kebenaran, tetapi ia memilih untuk tidak menghunus pedang saat ia diminta. Epictetus akan berkata: “Kamu tidak hidup sesuai kodrat manusia, jika kamu tahu jalan kebajikan namun kamu tinggalkan ia demi kenyamanan.” Dan inilah sumber dari semua guncangan batin, kata para Stoik — ketidaksesuaian antara logos dan hidup nyata.
Dari pendekatan Derrida, hipokrisi al-Ju‘fī adalah pembongkaran makna dirinya sendiri. Ia menggunakan kata-kata kebenaran untuk menutupi tindakan penolakan, dan inilah deconstructive violence. Ia mengakui keagungan al-Ḥusain, tetapi dengan itu justru membongkar makna keberpihakan. Ia bicara tentang cinta tanpa pengorbanan, tentang dukungan tanpa kehadiran. Kata dan makna berpisah — dan di sanalah letak kehancuran moral.
Foucault akan menyebutnya kehilangan care of the self. Al-Ju‘fī tidak lagi menjaga konsistensi naratif hidupnya. Ia pernah mendukung ‘Alī, lalu berpaling ke Mu‘āwiyah. Ia pernah menulis puisi duka atas al-Ḥusain, tapi di waktu lain membaiat penguasa tiran. Ia kehilangan keberanian untuk hidup dalam parrhesia — mengatakan dan melakukan yang benar tanpa takut kekuasaan. Ia kehilangan subjectivation, menjadi alat dalam sejarah yang digerakkan rasa takut dan oportunisme.
Para filsuf Islam juga tak kekurangan kritik. Al-Fārābī menggarisbawahi bahwa manusia ideal adalah yang selaras antara akal teoretis dan tindakan praktis. Al-Ju‘fī tahu yang benar tapi tak mengerjakannya. Dalam al-Munqidh, al-Ghazālī menyebut para penuntut ilmu yang tak menyucikan diri sebagai munāfiq. Dan al-Ju‘fī, meski bukan ulama, adalah seorang penunggang wacana yang kehilangan ruh. Al-Ḥallāj menyebut “Ana’l-Ḥaqq” dengan segenap keberanian karena ia telah menghayati kebenaran — al-Ju‘fī justru menyembunyikan kebenaran karena takut kehilangan dunia. Suhrawardī akan menyebutnya sebagai orang yang bicara tentang cahaya tapi hidup dalam bayangan.
Apa obat dari semua ini?
Jawabannya bukan teori, tapi praksis. Dari Stoikisme, kita belajar konsistensi. Dari Foucault, kita belajar perawatan diri. Dari Sartre, kita belajar memikul beban kebebasan. Dari para Imam Ahlulbait, kita belajar syahādah sebagai tanda cinta sejati. Imam al-Ḥusain berkata, “Jika kamu mendengar seruan kami, dan tidak menolong kami, maka Allah akan melemparmu ke dalam neraka Jahannam.” Ini bukan kutukan, tapi peringatan eksistensial: manusia tidak pernah bebas dari tanggung jawab, bahkan dalam diam.
Maka al-Ju‘fī adalah mitos jalan tengah. Ia memilih untuk tidak memilih — dan itulah pilihan paling kelam. Ia ingin menjadi penyair, bukan pejuang; pemberi kuda, bukan penggenggam pedang. Namun sejarah tak mengenang orang setengah-setengah. Ia hanya menyebut mereka yang utuh: seperti para sahabat Al Husain yang berkata, “Demi Allah, meski aku dibunuh, dibakar, dan debuku diterbangkan, aku takkan meninggalkanmu, wahai Ḥusain.“
Esai ini bukan tentang penghakiman terhadap masa lalu, tetapi cermin bagi kita hari ini. Dalam dunia yang dipenuhi narasi, gelar, dan citra, apakah kita sedang menjadi al-Ju‘fī baru? Apakah kita sedang memilih untuk tidak memilih? Dan jika Imam kebenaran hari ini mengetuk pintu kita, apakah kita akan menjawab dengan keberanian, atau dengan logika al-Ju‘fī yang rasional — tapi hampa?
Dalam majelis duka Al Husain as malam kedua, KH Miftah Fauzi Rakhmat mengutip ayat:
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.‘” Surah Al-Munāfiqūn (63:10)
Sungguh Al-Ju’fi menyesal karena ia tidak menyerahkan yang terbaik dari apa yang Allah anugerahkan pada dirinya, -yaitu jiwa raganya serta kehidupannya- ketika panggilan Ilahi untuk menggabungkan dirinya dengan Orang Saleh, – yakni Imam Husain as yang merupakan cucu Nabi saw secara lahir dan batin-, ia tolak. Mungkin, di sisa umurnya, hari demi hari ia penuhi dengan guman kepedihan, ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.'”
Di Asyuro 2025 ini, saya mengajak para pembaca merenungi berita dari kompas.com ini. ” Studi Harvard Ungkap Jumlah Korban di Gaza Capai 377.000, Setengahnya Anak-anak“,
…. Laporan Yaakov Garb untuk Harvard Dataverse telah menganalisis data militer Israel dan menggabungkannya dengan pemetaan spasial yang cermat. Hasilnya, terungkap bahwa dari demografi di Gaza berkurang hampir 400.000 orang sebelum dan sesudah genosida Israel ke wilayah tersebut. Data mencatat, demografi di Gaza sebelum genosida berjumlah 2,2 juta. Namun, jumlah itu berkurang menjadi 1,8 juta jiwa setelah Israel menyerang Gaza pada Oktober 2023. Artinya, sedikitnya 377.000 orang telah menghilang dan diperkirakan mereka menjadi korban serangan Israel ke Gaza. Dari total jumlah korban tersebut, setengahnya atau lebih dari 150.000 korban adalah anak-anak.”
Bagi penulis, ini adalah Panggilan Ilahi . Di balik fakta-fakta ini, terdengar lantang suara Al Husain as menembus ruang dan waktu: “ Adakah penolong yang akan menolong aku?” Apakah kita akan mengikuti mereka yang memilih berpangku tangan dan tidak menyambut seruan ini seperti Al-Ju’fi? Apakah kita sudah memberikan yang terbaik dari anugerah-anugerahnya untuk menyambut seruan ini?
Semoga kita tidak menjadi sejarah yang menyesal setelah ajal.
Wa maa taufiiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib
Arumsari, Asyura 1447 H
