Warisan yang Retak
Oleh Abdul Karim
Senin, 23 Juni 2025

content/uploads/2019/11/mousavian-qa-1536×1022.jpg
“Perang dingin mungkin telah berakhir, tetapi cara kita memahami dunia pasca-perang itu justru membentuk krisis yang lebih dalam dan jauh lebih tak menentu.” — Michael Cox
Ketika Hossein Mousavian, mantan diplomat Iran yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya demi diplomasi dan perdamaian, menyatakan bahwa Donald Trump telah menghancurkan diplomasi dan membuat kesalahan besar, ia tidak sekadar mengungkapkan kekecewaan personal. Ia sedang menelanjangi wajah baru dunia pasca-Perang Dingin yang dirusak oleh tindakan sepihak, retorika populis, dan pergeseran tajam dari multilateralisme menuju logika kekuasaan telanjang. Dalam pernyataannya yang lugas, Mousavian menunjukkan enam realitas kelam yang terbuka lebar akibat keputusan Trump menyerang Iran: kegagalan militer Israel, kemunafikan nuklir, pelanggaran hukum internasional, lemahnya tim keamanan nasional Trump, kerugian timbal balik, dan keruntuhan kredibilitas perjanjian non-proliferasi.
Michael Cox dalam The Post-Cold War World menjelaskan bahwa ilusi liberal tentang dunia yang akan menjadi lebih demokratis dan tertib setelah runtuhnya Uni Soviet ternyata justru membuka jalan bagi kekacauan baru. Kebangkitan strategi sepihak, kehancuran norma, dan ekspansi kekuatan agresif adalah wujud nyata dari disorientasi tersebut. Serangan militer terhadap Iran oleh Amerika Serikat, dengan alasan membantu Israel yang sedang terdesak, menunjukkan bahwa hegemoni bukan lagi soal menjaga stabilitas global, tetapi lebih kepada mempertahankan kepentingan aliansi strategis meskipun harus melanggar tatanan hukum internasional.
Israel, sebagai sekutu utama AS di kawasan Timur Tengah, jelas mengalami kegagalan dalam operasi sepuluh harinya melawan Iran. Tanpa intervensi Washington, situasi bisa dengan mudah berujung pada kekalahan telak. Hal ini menyoroti kegagalan fundamental dalam asumsi superioritas militer yang selama ini dijadikan landasan politik luar negeri Israel. Di sisi lain, Amerika tidak bertindak sebagai penengah damai, melainkan sebagai pelindung hegemonik yang secara terang-terangan berpihak, mengabaikan prinsip non-intervensi dan keseimbangan kekuatan yang selama ini menjadi bagian dari struktur hubungan internasional.

Dalam The Globalization of World Politics, dibahas bagaimana hukum internasional dan Piagam PBB seharusnya menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan konflik antarnegara. Namun serangan militer terhadap Iran justru menjadi contoh nyata bagaimana negara adidaya bisa melanggar aturan yang mereka bantu bangun. Ketika Sekretaris Jenderal PBB sendiri menyatakan bahwa serangan tersebut melanggar Piagam PBB, itu bukan sekadar kecaman retoris. Itu adalah pengakuan formal bahwa Amerika telah keluar dari koridor legitimasi global, dan menciptakan preseden berbahaya bahwa negara bersenjata nuklir dapat bertindak di luar hukum tanpa konsekuensi yang sepadan.
Lebih jauh lagi, kemunafikan dalam isu non-proliferasi nuklir menjadi sangat mencolok. Mousavian menekankan bahwa ini adalah pertama kalinya dua negara dengan senjata nuklir secara aktif menyerang negara yang tidak memilikinya. Fakta ini merobek kredibilitas Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang selama ini dijadikan fondasi rezim anti-proliferasi global. Dalam struktur internasional yang dijelaskan oleh Baylis dkk., seharusnya NPT menjadi alat untuk membangun kepercayaan antarnegara dan mencegah eskalasi. Namun kenyataan justru menunjukkan bahwa NPT hanya berlaku untuk negara-negara yang tunduk, sementara kekuatan nuklir yang tidak menandatangani traktat—seperti Israel dan India—bebas dari pengawasan dan sanksi.
Trump bukan hanya menghancurkan diplomasi, tapi juga menunjukkan bahwa keamanan global kini tidak lagi berada dalam kerangka multilateral. Tim keamanan nasional yang seharusnya menjadi filter rasional justru kehilangan independensinya. Entah mereka gagal memahami konsekuensi jangka panjang dari serangan tersebut, tidak mampu menghalangi Presiden, atau lebih buruk: mereka setuju sepenuhnya. Keterlibatan Benjamin Netanyahu dalam pengambilan keputusan di Gedung Putih memperkuat apa yang dikemukakan Cox tentang meningkatnya pengaruh politik identitas dan aliansi ideologis dalam kebijakan luar negeri Amerika pasca-Perang Dingin.
Dampaknya bukan hanya menimpa Iran. Serangan ini menimbulkan kerugian besar bagi kepentingan Amerika sendiri. Ketegangan meningkat di seluruh kawasan, ancaman terhadap pasokan energi global melonjak, dan kredibilitas AS sebagai penjaga stabilitas global runtuh di mata komunitas internasional. Sebagaimana diuraikan dalam buku Baylis dan kawan-kawan, keamanan bukan hanya soal kekuatan militer, tapi juga soal membangun sistem kepercayaan, mengelola ketergantungan, dan menjaga legitimasi. Serangan sepihak justru mengguncang seluruh pondasi itu.
kredibilitas AS sebagai penjaga stabilitas global runtuh
Yang paling tragis dari semua ini adalah bukti bahwa NPT, alih-alih menjaga perdamaian, kini menjadi alat politik yang diskriminatif. Negara-negara yang tidak menandatangani NPT, seperti Israel, Pakistan, dan India, justru lebih aman dari ancaman militer dibanding negara yang mematuhinya seperti Iran. Hal ini menciptakan logika berbahaya: bahwa kepemilikan senjata nuklir menjadi satu-satunya jaminan atas kedaulatan dan keamanan dari intervensi asing. Paradoks inilah yang membuka peluang lebih besar bagi proliferasi senjata nuklir, bukan mencegahnya.
Hossein Mousavian, dalam kapasitasnya sebagai arsitek diplomasi damai, tidak hanya menggambarkan kerapuhan hubungan Iran-AS. Ia sedang membunyikan alarm bagi seluruh sistem internasional yang dibangun pasca-Perang Dunia II. Dunia yang dulu bermimpi tentang keamanan kolektif dan supremasi hukum kini digantikan oleh realitas distopia: bahwa kekuatan—bukan hukum—adalah raja. Dalam dunia seperti ini, diplomasi menjadi korban pertama, dan yang berikutnya adalah harapan manusia akan perdamaian yang adil.
Apa yang kita saksikan bukan sekadar krisis Iran atau kegagalan satu presiden. Ini adalah cerminan dari bagaimana dunia pasca-Perang Dingin telah kehilangan orientasinya. Seperti yang disampaikan Michael Cox, “asumsi bahwa dunia akan menjadi lebih liberal, demokratis, dan damai setelah runtuhnya Uni Soviet adalah kesalahan terbesar dalam sejarah pemikiran hubungan internasional.” Melalui realitas ini, peringatan Mousavian harus dipandang bukan sebagai suara dari masa lalu, tetapi sebagai diagnosis terhadap penyakit kronis sistem global kita hari ini. Dan selagi kita masih memiliki ruang untuk berpikir dan bertindak, maka menciptakan kembali ruang bagi diplomasi, etika, dan hukum internasional bukanlah pilihan—melainkan keharusan.
keamanan bukan hanya soal kekuatan militer, tapi juga soal membangun sistem kepercayaan, mengelola ketergantungan, dan menjaga legitimasi. Serangan sepihak justru mengguncang seluruh pondasi itu.
Daftar Pustaka:
Baylis, John, Steve Smith, dan Patricia Owens (Eds). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Ninth Edition. Oxford University Press, 2023.
Cox, Michael. The Post-Cold War World: Turbulence and Change in World Politics Since the Fall. Routledge, 2018.

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT