Blog

Iran dan Israel: Ketika Dunia Baru Dilahirkan di Tengah Asap Perang

Oleh: Abdullah Hasan

Tulisan dibawah ini adalah intisari dari dialog dua orang analis geopolitik terkemuka Larry C. Johnson, Mantan analis CIA dan pakar kontraterorisme dan Pepe Escobar, Jurnalis dan analis geopolitik asal Brazil. Dua-duanya belum lama mengunjungi Iran dan berbicara banyak dengan elite akademis dan politik disana. ( link Youtube dibawah)

Pada saat dunia nyaris menyaksikan kehancuran Israel dalam hitungan pekan akibat serangan rudal balistik dan hipersonik Iran, justru keputusan yang paling mengejutkan datang dari Teheran: Iran menghentikan serangannya. Padahal, dalam bahasa militer dan diplomatik, mereka sudah menempelkan “kakinya di leher” Israel. Maka, timbul pertanyaan besar: mengapa Iran menghentikan langkah kemenangannya?

Saya ingin mengusulkan bahwa jawaban dari manuver mengejutkan ini terletak pada dua faktor besar: koordinasi strategis dengan Rusia dan pergeseran historis menuju dunia multipolar. Langkah Iran bukan tanda kelemahan, melainkan strategi panjang dari negara peradaban yang sedang belajar menulis ulang ulang sejarah global.

Kemenangan Yang Ditahan, Peradaban yang terluka

iklan

Pertemuan rahasia antara Presiden Vladimir Putin dan diplomat senior Iran, Arakshi, menjadi titik balik yang tak boleh diremehkan. Arakshi tidak hanya menyampaikan pesan diplomatik, tetapi juga membawa surat pribadi dari Ayatollah Ali Khamenei. Surat itu bukan basa-basi diplomatik; ia adalah pesan strategis. Tidak ada isi yang dibocorkan, tapi sinyal dari Moskow jelas: “Jika Iran meminta, kami pertimbangkan.” Ini bukan retorika. Ini adalah pengakuan bahwa Iran kini adalah pilar penting dalam tatanan global yang baru.

Rusia, tampaknya, memberi Iran dua opsi: lanjutkan serangan dan menanggung konfrontasi global, atau hentikan sementara untuk menyusun ulang strategi jangka panjang. Iran memilih yang kedua. Dan keputusan itu bisa jadi akan dikenang sebagai salah satu titik balik sejarah politik abad ke-21.

Di balik tindakan militer Iran yang presisi dan terukur, terdapat semangat perlawanan yang tidak bisa dipahami oleh Barat. Iran, dengan teologi Syiah-nya, memiliki konsep etik perang yang unik: melawan, namun tidak menghancurkan kemanusiaan. Mereka tidak menyerang fasilitas air Israel—padahal bisa—karena tahu bahwa air itu juga untuk Palestina. Mereka tidak membombardir warga sipil seperti yang Israel lakukan di Gaza, termasuk membunuh ratusan jurnalis dan dokter.

Barat gagal memahami bahwa Iran bukan negara biasa. Ia adalah negara peradaban (civilizational state) dengan sejarah 2500 tahun diplomasi dan daya tahan. Serangan Israel ke Iran tidak hanya mengenai fasilitas militer, tetapi juga harga diri sejarah. Maka, reaksi Iran bukan sekadar militer, melainkan eksistensial.

Segitiga Primakov: Poros Baru Dunia

Aliansi antara Rusia, Iran, dan China kini semakin nyata dan tegas. Dalam percakapan diplomatik, ia bahkan diberi nama baru: Segitiga Primakov, merujuk pada visi geopolitik mendiang diplomat Rusia, Yevgeny Primakov. Ketiga negara ini memiliki kesamaan mendasar: semua merupakan peradaban tua, semuanya dikenai sanksi oleh Amerika, dan semuanya ditetapkan sebagai ancaman eksistensial oleh Washington.

Lebih penting lagi, ketiganya tidak ingin berada di bawah hegemoni sistem Barat yang mengatur dunia berdasarkan kekuatan dolar, NATO, dan propaganda demokrasi selektif. Ketiganya kini mulai menyusun arsitektur dunia sendiri: BRICS+, Jalur Sutra Arktik, Koridor Transportasi Rusia-Iran-India, serta koordinasi pertahanan di tingkat Shanghai Cooperation Organization (SCO).

Sementara poros Timur menyusun kekuatan, Barat justru larut dalam ilusi kekuatan moral. Presiden Trump, yang mencoba mencuri panggung dengan mengklaim “Iran dan Israel sama-sama memintanya menghentikan perang”, sebenarnya hanya menutupi kenyataan: Israel-lah yang memohon agar perang dihentikan. Mereka tahu, dua hingga tiga pekan lagi, infrastruktur mereka akan lumpuh total.

Namun yang lebih menyedihkan adalah respons NATO dan Uni Eropa yang terus bersikap seperti perpanjangan tangan Washington. UE kini dikendalikan oleh politisi russofobik, anti-Iran, dan penuh kalkulasi perang. Bahkan negara-negara kecil seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania—yang secara jumlah penduduk kalah dari satu distrik kota di New York—diberi panggung untuk menentukan arah kebijakan luar negeri benua.

Adapun organisasi seperti IAEA (Badan Energi Atom Internasional) tidak lagi dipercaya oleh Iran. Setelah mereka membuka seluruh fasilitas nuklirnya sesuai perjanjian NPT, justru lokasi-lokasi itu yang dibom. Bahkan disebutkan bahwa intelijen Israel mendapat informasi dari dalam IAEA sendiri. Kini, Iran mempertimbangkan keluar dari NPT, dan baru bersedia kembali jika Israel—yang punya senjata nuklir—ikut bergabung. Jelas, itu tidak akan terjadi.

Kesabaran Geopolitik ala Persia, Runtuhnya Dunia Lama

Keputusan Iran untuk tidak membangun bom nuklir juga bukan karena ketidakmampuan teknis. Mereka bisa. Tetapi, dua fatwa besar dari Imam Khomeini dan Khamenei mengharamkan senjata nuklir. Bagi mereka, senjata pemusnah massal bertentangan dengan prinsip Islam. Maka, pilihan strategis Iran adalah memperkuat rudal balistik presisi tinggi sebagai senjata penangkal utama.

Inilah yang oleh sebagian analis disebut sebagai “kesabaran geopolitik Persia.” Iran tahu bahwa dalam permainan jangka panjang, ketegasan etika dan moral lebih kuat dari kemenangan sesaat. Dan mereka tahu bahwa dunia mulai melihat dan menilai ulang siapa sebenarnya penjaga nilai kemanusiaan dan siapa penjajahnya.

Apa yang terjadi antara Iran dan Israel bukan sekadar perang lokal. Ini adalah babak baru dalam pergeseran tatanan dunia. Iran bukan lagi pemain pinggiran, melainkan simpul strategis dalam jaringan dunia multipolar. Keputusan mereka untuk mundur sejenak bukan kelemahan, melainkan kalkulasi.

Sementara itu, Barat masih sibuk mempertahankan warisan hegemonik pasca-Perang Dunia II, tanpa menyadari bahwa poros kekuatan telah bergeser. Moskow dan Beijing melihat ke Teheran bukan sebagai pion, tapi sebagai rekan setara dalam menyusun ulang tatanan global.

Sejarah sedang ditulis ulang. Bukan dengan pena diplomasi liberal, tetapi dengan tinta perlawanan dari bangsa-bangsa yang selama ini ditekan. Dan di tengah semua ini, Iran berdiri di persimpangan sejarah: terluka, tapi tegak. Sunyi, tapi strategis. Sendiri, tapi tidak sendiri.

Jika dunia ingin memahami masa depan, jangan hanya lihat ke Washington atau Brussel. Lihatlah juga ke Teheran, Moskow, dan Beijing—karena mungkin di situlah babak baru peradaban sedang dirancang.

Abdullah Hasan
+ posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button