Blog

Sebuah Momen Di Padang Cinta

Oleh Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)

Ketika Raghib al-Isfahani menjelaskan dalam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān bahwa ṣaḥāba bukan sekadar pertemanan biasa, melainkan “kebersamaan fisik atau spiritual yang melahirkan kesetiaan” (bab ṣ-ḥ-b), maka para sahabat Imam al-Ḥusain ‘alayhissalām adalah manifestasi hidup dari makna itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya hadir bersamanya, tetapi juga mencurahkan jiwa dan raga demi kebenaran yang dibawanya. 

Said bin Abdullah Al-Hanafi di Malam Asyuro berdiri dan berseru

“Demi Allah, kami tidak akan pernah meninggalkanmu wahai putra Rasulullah. Sehingga Allah mengetahui bahwa kami telah menjaga wasiat Nabi Muhammad Saw dengan membelamu. Jika aku tahu bahwa aku akan terbunuh dalam usahaku membelamu lalu hidup kembali dan dibakar hidup-hidup kemudian abuku disebarkan, begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali, tak akan kutinggalkan dirimu sampai kutemukan ajalku. Apalagi aku tahu bahwa aku hanya akan sekali mati terbunuh lalu memperoleh kemuliaan abadi. “(Al-Luhuf, Ibn Ṭāwūs)

Ungkapan ini membangkitkan makna ṣaḥāba sebagaimana disebutkan oleh Raghib al-Isfahani. Begitu juga dengan Muslim bin ‘Aqīl di Kufah, yang menjelang syahid berkata: “ Demi Allah! Aku menangis bukan untukku tetapi untuk Husain dan keluarga Husain.” ( ‘Abbas Al-Qummi, Nafsul Mahmum)

iklan

Imam al-Ḥusain bukan hanya pewaris darah kenabian, tetapi juga pewaris ṣidq — kejujuran dan pemenuhan janji ilahi. Imam Husain adalah pewaris Ṣādiq al-Wa‘d:, yakni Janji yang Tak Terkikis. Allah menyebut Nabi Ismā‘īl:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ

Dan sebutkanlah Ismail dalam Kitab; sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam 19:54)

Di Karbala, ketika keadaan semakin berat, Imam al-Ḥusain mengangkat tangannya dan berdoa:

للَّهُمَّ مُتَعَالِي الْمَكَانِ عَظِيمُ الْجَبَرُوتِ، شَدِيدُ الْمِحَالِ، غَنِيٌّ عَنِ الْخَلَائِقِ، عَرِيضُ الْكِبْرِيَاءِ، قَادِرٌ عَلَى مَا تَشَاءُ، قَرِيبُ الرَّحْمَةِ، صَادِقُ الْوَعْدِ، سَابِغُ النِّعْمَةِ، حَسَنُ الْبَلَاءِ، قَرِيبٌ إِذَا دُعِيتَ

Ya Allah, Engkau Maha Tinggi di atas segala tempat, Maha Agung dalam keperkasaan-Mu, Maha Kuat dalam kekuasaan-Mu, Maha Kaya sehingga tidak memerlukan makhluk-Mu, Maha Luas dalam kemuliaan-Mu, Maha Berkuasa atas segala yang Engkau kehendaki. Engkau dekat dengan rahmat-Mu yang tak terbatas, setia pada janji-Mu yang suci, melimpah dalam anugerah-Mu yang tak pernah putus, indah dalam ujian-Mu yang penuh hikmah, dan dekat saat hamba-Mu memanggil-Mu dengan penuh harap….(Maqtal Muqarram, dari Munfarid dan Alamdar, Karbala)

Dalam pandangan Al Husain as, Allah adalah Shaadiqul Wa’di (Yang Setia Pada JanjiNya). Dan seluruh pengorbanan Al Husain as dan keluarganya dan para sahabatnya adalah juga sebagai hamba-hamba Tuhan yang setia menunaikan janjinya pada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Makna ini hidup dalam QS. Al-Ahzāb (33:23):

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ

Di antara orang-orang beriman itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS. 33:23)

Para pemuda Bani Hāshim seperti Qāsim ibn al-Hasan, berseru:

أَلَيْسَ الْمَوْتُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ؟

Bukankah kematian itu lebih manis daripada madu?

Itulah ṣidq dalam wajah remaja. Mati dalam kesetiaan pada pamannya, yang adalah pewaris Nabi saw, dan pengemban Amanah Tuhan sungguh lebih didambakan ketimbang apa pun.

Imam Husain as adalah juga mewarisi Khalilullah. Ia adalah Cinta yang mengalahkan segala. Sebagaimana Nabi Ibrāhīm menjadi khalīlullāh (QS. An-Nisā’ 4:125), Imam al-Ḥusain mewarisi cinta suci yang mengalahkan segalanya. Ketika seluruh tubuh beliau sudah berlumuran darah.

هون عليّ ما نزل بي أنه بعين الله 

(Haunun ‘alayya maa nazala bii annahu bi ‘ainillah)

Ringan yang terjadi bagiku karena ini tak luput dari Mata Allah. (Lama’atul Husain, Muhammad Husayn Husayni Tehrani)

Cinta al-Ḥusain kepada Allah adalah cinta seorang khalīl, dan karenanya ia ridha dibantai di atas tanah Karbala. Pula ia mengikhlashkan Ali Akbar , putra tertua yang menjadi obat rindu Imam Husain saat merindukan Nabi saw. Sungguh Ali Akbar, sangat mirip lahir dan perilakunya dengan Rasulullah Saw.

Berikut adalah sekelumit kisah Syahadah Ali Akbar:

“Ia beberapa kali menyeruak ke arah musuh dan membunuh banyak tentara Kufah hingga mereka-lantaran banyak yang terbunuh, mengelompokkan diri lagi dan menyerang balik. 

Diriwayatkan bahwa ia mampu membunuh lebih dari seratus dua puluh musuh, wlaupun dalam keadaan kehausan. Ketika luka di tubuhnya semakin bertambah banyak dan parah, ia datang mendekati ayahnya seraya berkata: “ Wahai ayahku, kehausan membunuhku, dan banyak senjata-senjata yang melukaiku, adakah air yang bisa menyegarkan tenagaku untuk bertarung kembali dengan musuh-musuhku?” Imam (as) menangis dan berkata: “ Wahai Anakku, tetaplah bertarung walau sesaat, tak lama lagi kau akan melihat kakekmu yang akan menghapuskan dahagamu selamanya!” (Munfarid dan Alamdar, Karbala, hal. 324)

Persahabatan dalam Cinta pada Imam al-Husain as adalah kebersamaan yang abadi. QS. An-Nisā’ (4:69) menjanjikan posisi rofiiq bagi mereka yang rela mengorbankan segalanya bersama Al-Husain as. 

فَ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh dan merekalah sebaik-baik teman (rafīq). (QS. 4:69)

Imam al-Ḥusain berkata Sa’id bin ‘Abdullah al Hanafi,  yang telah menjadi tameng hidup saat Imam al-Husain menunaikan shalatnya yang terakhir di Karbala,

نَعَمْ، أَنْتَ أَمَامِي فِي الْجَنَّةِ

Ya, Engkau di depanku di surga.

(Ayatullah Muhammad Shadiq Najmi, From Medina to Karbala)

Itulah janji bagi Sa’id bin Abdullah Al-Hanafi. Sungguh Sa’id adalah sebaik-baik teman (rafiq) bagi Al Husain as di dunia dan di akhirat. Dan sungguh dijanjikan juga bagi para peziarah yang tulus . Satu tetes air mata yang tulus untuk Al Husain akan mengantarkan seseorang menjadi rafiq dari Al Husain as kelak. Kenapa? Sesungguhnya seseorang bila ia mencintai batu pun, kelak akan digabungkan dengan batu tersebut. Sebagaimana kata penyair:

Cinta adalah bak Buraq
Ia hantarkan hamba ke haribaan Kekasih
Cinta adalah Al Husain
Ia jadikan para hamba bak laron mengitarinya

Bagaimana tetnang kisah persaudaraan penuh kasih dalam Asyura? QS. Al-Ḥujurāt (49:10):

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. (QS. 49:10)

Abul Fadhl ‘Abbas memegang kantong air dengan giginya. Tiba-tiba anak panah menembus kantong air hingga airnya tertumpah. Lalu seebuah anak panah lagi mengenai dadanya hingga ia terjatuh dari kuda. Kemudian  Amudi menebas ubun-ubunnya dengan pedang. Abas berteriak, “Saudaraku, jemputlah aku!” (Maqtal Muqarram, hal. 269)

Imam Husain as segera datang menemui Abbas. Imam Husain as mendapati Abul Fadhl ‘Abbas tergeletak di tepi Sungai Efrat. Tubuhnya terkoyak-koyak. Kedua tangannya terputus. Lalu Imam Husain as berkata, “ Sekarang, telah patah tulang punggungku dan berkurang kemampuanku.” (Biharul Anwar, Juz 45, hal. 42)

Ikatanya bukan sekadar darah, tapi darah yang tumpah karena cinta Allah.

Tidak ada keacakan dalam semesta. Semua terhubung dalam Jalinan Kasih dan Takdir-Nya. Di balik semua kepedihan Karbala, sungguh Allah selalu mengawasi. Allah menyebut diri-Nya Raqīb dalam QS. An-Nisā’ (4:1):

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi kalian. (QS. 4:1)

Bagi Al-Husain as, Allah ar-Raqib bahkan lebih terang dari mentari; lebih dekat ketimbang urat nadi. Ia yang setiap hari shalat 1000 roka’at. Dan punggungnya ada bekas hitam saking banyaknya mengangkat karung-karung hadiah cinta bagi para fukara di malam hari. Adalah Ia yang tak pernah lepas sedetik pun terpisah dari tatapan pada Allahur Raqib. Allah, Tuhan Penuh Cinta Yang Senantiasa Mengawasi. 

Sayyid Muhammad Husain Husaini Tehrani menuliskan dalam Lama’at al-Husayn

“ Banyaknya luka dan cedera pada tubuhnya membuat Imam sangat kelelahan. Ia berhenti bertarung untuk beristirahat sejenak, tetapi seseorang melemparkan batu ke dahinya, sehingga darah mengalir di wajahnya. Ketika ia ingin membersihkan darah dari matanya dengan pakaiannya, seseorang menusuk jantungnya dengan anak panah bermata tiga. Putra Rasulullah berkata:
بسم الله، وبالله، وعلى ملة رسول الله
(Bismillah, wa billah, wa ‘ala millati rasuulillah). Dalam nama Allah, dengan Allah, dan dalam agama Rasulullah. 

Kemudian ia menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata,

 إلهي، إنك تعلم أنهم يقتلون رجلاً ليس على وجه الأرض ابن نبي غيره 

(Ilahi, innaka ta’lamu annahum yaqtuluuna rojulan laisa ‘ala wajhil ardhi ibnu nabiyyin ghoiruh). 

Ya Tuhanku, Engkau benar-benar tahu bahwa mereka membunuh seseorang yang tiada putra nabi lain di muka bumi ini. 

Ia meraih anak panah itu dengan tangan dan mencabutnya dari punggungnya, sehingga darah memancar seperti air hujan yang mengalir dari talang. Imam meletakkan telapak tangannya di bawah luka, dan telapak itu pun penuh dengan darah. Kemudian ia memercikkan darah itu ke langit dan berkata, 

هون عليّ ما نزل بي أنه بعين الله 

(Haunun ‘alayya maa nazala bii annahu bi ‘ainillah). 

Penderitaan ini ringan bagiku karena sesungguhnya ini di hadapan mata Allah. 

Sungguh, tiada darah Husain yang tumpah sia-sia. 

Tidak setetes pun dari darah itu jatuh kembali ke bumi. Ia meletakkan telapak tangannya di bawah luka dan mengisinya dengan darah untuk kedua kalinya, lalu mengusapkannya ke kepala dan janggutnya yang mulia, dan berkata, “Aku akan tetap seperti ini hingga aku bertemu dengan kakekku, Rasulullah.” Ia kehilangan begitu banyak darah sehingga ia benar-benar lelah. Maka ia duduk di tanah, sementara ia tidak mampu lagi menahan kepalanya.

Kemudian Malik ibn Busr mendekat, memaki Imam, dan memukul kepalanya dengan pedang. Jubah kepala panjang Imam (بُرْنُس, burnus) dipenuhi darah. Ia melepasnya, lalu mengikat sorbannya (عِمَامَة, imamah) di sekitar topi biasa (قَلَنْسُوَة, qalansuwah), atau menurut beberapa riwayat, ia membalut kepalanya dengan sehelai kain.

Kemudian Zur’ah Ibn Syarik memukul bahu kiri [atau tangan] Imam, Husain [ibn Numayr at-Tamimi] menembakkan anak panah ke tenggorokannya, dan orang lain memukul leher mulia Imam dengan pedang. Sinan Ibn Anas memukul tulang selangka Imam dan kemudian dadanya dengan tombak, serta juga menembakkan anak panah ke tenggorokannya. Tombak lain dari Saleh ibn Wahab menembus sisi tubuh Imam.

Hilal ibn Nafi’ melaporkan. “ Aku berdiri di dekat Husain ketika ia mengambil nafas terakhirnya. Demi Allah, saya belum pernah melihat seseorang yang berlumuran darahnya sendiri namun memiliki wajah yang begitu cerah dan gemilang. Sungguh, saya begitu terpikat oleh cahaya wajahnya sehingga saya tidak terpikir untuk membunuhnya.”

Imam mengangkat pandangannya ke langit dalam keadaan itu dan menyeru pada Tuhan Yang Mahagung:

صبرًا على قضائك يا رب، لا إله سواك، يا غياث المستغيثين

Sabar atas qadha-Mu, yaa Robb, Tiada Tuhan selain-Mu Wahai Penolong mereka yang meminta pertolongan. “

Demikianlah, Al-Husain as tak pernah sesaat pun alpa dari Kehadiran Allah sebagai Ar-Raqib.

Sedangkan, kepada para pembunuh Karbala yang mengira menang? Apakah mereka tidak ingat sedikitpun, bahwa Allah berfirman:

وَاللَّهُ يَرْقُبُ الْأَعْمَالَ

(Dan Allah mengawasi perbuatan kalian). (QS. Ali ‘Imran 3:156)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tak satu kata pun terucap, melainkan ada raqīb yang siap mencatat. (QS. 50:18)

Sungguh, tiada darah Husain yang tumpah sia-sia. 
Wa maa taufiiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

(Arumsari , Malam Asyuro, Muharram 1447 H)

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button