Oleh Abdul Karim
“Kapitalisme pengawasan secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah gratis. Ini menghidupkan kembali gambaran lama Karl Marx tentang kapitalisme sebagai vampir yang menghisap tenaga kerja, tetapi dengan perubahan yang tidak terduga. Alih-alih tenaga kerja, kapitalisme pengawasan justru menghisap setiap aspek pengalaman setiap manusia.” — Shoshana Zuboff
Sebelum perang meletus dalam bentuk senjata, ia lebih dulu hadir dalam bentuk narasi. Di dunia yang kini menggantungkan kesadarannya pada arus informasi digital, perang tidak lagi ditandai oleh dentuman, tetapi oleh distorsi. Ia hadir senyap melalui manipulasi makna, pencitraan yang diproduksi massal, serta opini yang direkayasa algoritma. Dalam lanskap seperti ini, media sosial tak hanya menjadi panggung, tapi medan utama tempat realitas direbut dan didefinisikan ulang. Inilah yang menjadikan ajakan Ayatullah Ali Khamenei untuk berjihad di medsos sebagai strategi eksistensial dalam membela kebenaran di tengah gempuran kebohongan sistemik.
Jihad penjelasan—jihad tabyiin—bukan sekadar anjuran spiritual, melainkan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi epistemik yang berlangsung secara global. Apa yang hari ini disebut sebagai soft war merupakan konflik halus tapi dalam, yang bekerja di balik layar persepsi publik. Musuh dalam soft war tidak terlihat, karena ia menyamar sebagai konten yang viral, berita yang “netral”, atau narasi yang tampak masuk akal padahal menyesatkan. Perang lunak ini tidak menumpahkan darah, tapi menguras makna. Ia menghancurkan daya nalar dan melumpuhkan kesadaran. Dan ketika kesadaran lumpuh, penindasan bisa berlangsung tanpa perlawanan.
Shoshana Zuboff menunjukkan bahwa kapitalisme pengawasan adalah mutasi baru yang tidak sekadar mengeksploitasi tenaga manusia, tapi menyedot pengalaman manusia untuk dijadikan bahan mentah dalam produksi prediksi perilaku. Pengalaman-pengalaman pribadi—yang dahulu sakral—kini diubah menjadi data yang kemudian dimonetisasi dan dimanipulasi untuk membentuk ulang kehendak dan pikiran manusia. Dalam dunia seperti ini, media sosial bukan ruang netral, melainkan arena hegemoni yang berlapis dan kompleks. Maka siapa yang menguasai algoritma, menguasai cara manusia memahami realitas. Dan siapa yang membiarkan algoritma bekerja tanpa intervensi kesadaran, telah menyerahkan makna kepada mesin.
Perlawanan terhadap dominasi semacam ini tidak bisa hanya bersifat politis atau simbolik. Ia harus bersifat eksistensial—menyentuh inti dari keberadaan manusia yang diberi akal dan kehendak bebas. Alastair Crooke mencatat bahwa kekuatan gerakan Islam bukan berasal dari kekuatan senjata, tapi dari keberanian makna. Revolusi Islam Iran berdiri di atas fondasi bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari poros nilai transenden. Dalam dunia yang mencoba memisahkan politik dari spiritualitas, Iran hadir sebagai antitesis yang menggabungkan keduanya: perlawanan yang bukan hanya melawan penjajahan fisik, tapi juga penjajahan makna.
Soft war adalah medan kontestasi makna yang paling rawan karena tidak semua orang sadar bahwa ia sedang terjadi. Ia mengalir dalam bentuk iklan, meme, influencer, kampanye digital, dan framing media. Ia menyusup ke dalam bahasa sehari-hari dan membentuk horizon harapan publik. Dalam kondisi seperti itu, jihad medsos bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan. Ini bukan jihad reaktif—yang hanya muncul ketika diserang—melainkan jihad proaktif: membangun kesadaran sebelum kesadaran direnggut. Ini jihad yang dijalankan dengan tulisan, video, diskusi, dan narasi. Ini jihad yang membutuhkan ketekunan, bukan kemarahan; visi, bukan sensasi.
Roy Mottahedeh menggambarkan bagaimana para ulama Syiah telah lama memainkan peran intelektual dalam membentuk makna sosial. Mereka bukan hanya pengkhotbah, tetapi pengrajin makna. Pendidikan mereka yang berbasis logika, retorika, dan gramatika merupakan fondasi untuk memahami dan mengartikulasikan dunia secara jernih. Ketika dunia modern menawarkan kebisingan sebagai norma, ulama-ulama ini memikul tugas untuk menghadirkan kejelasan. Maka tidak mengherankan jika banyak dari mereka kemudian mengambil peran dalam memandu jihad tabyiin di era digital, menjadikan medsos sebagai mimbar baru dalam membela yang haq di tengah derasnya kebatilan yang dipoles.
Namun, jihad media sosial juga menuntut kecakapan baru. Ini bukan lagi medan tradisional yang bisa dimenangkan dengan otoritas semata. Dunia digital menuntut literasi digital, kedalaman argumentasi, kemampuan membaca tanda-tanda zaman, dan kepekaan estetika. Seorang mujahid medsos tidak cukup hanya memiliki niat baik; ia juga harus memiliki strategi, kemampuan naratif, dan disiplin intelektual. Dalam dunia yang lebih mempercayai visual daripada teks, lebih menyukai yang cepat daripada yang benar, kehadiran di media sosial harus dirancang sebagai bentuk dakwah yang indah dan menggugah.
Kehadiran di medsos bukan berarti tenggelam dalam budaya populer yang kosong. Sebaliknya, ia harus menjadi upaya untuk menyuntikkan makna ke dalam ruang yang makin terlepas dari nilai. Kata-kata harus dipilih, nada harus dijaga, dan tujuan harus jelas: membela yang benar, menjelaskan yang tersembunyi, dan menghidupkan kembali kesadaran yang nyaris mati. Karena dalam dunia algoritma, satu narasi yang tepat bisa membatalkan seribu kebohongan yang viral. Dan satu kesadaran yang hidup bisa membangkitkan ribuan jiwa yang tertidur.
Ayatullah Khamenei menyebut bahwa “menjelaskan kebenaran adalah bentuk tertinggi jihad di zaman ini.” Ini bukan pernyataan simbolik, melainkan analisis tajam atas kondisi zaman. Dunia hari ini tidak kekurangan informasi, tetapi kehilangan orientasi. Ia dipenuhi data, tapi miskin hikmah. Di tengah banjir informasi itu, tugas seorang mujahid medsos adalah menjadi mercusuar: bukan yang paling bising, tapi yang paling menuntun.
Perang makna tidak bisa dimenangkan hanya dengan membantah. Ia dimenangkan dengan membangun. Bukan cukup dengan melawan narasi musuh, tapi dengan menghadirkan narasi alternatif yang lebih utuh, lebih adil, lebih manusiawi. Jihad tabyiin tidak meminta kita menjadi viral, tapi menjadi benar. Tidak meminta kita menjadi populer, tapi menjadi lurus. Karena kemenangan sejati tidak diukur dari jumlah likes, tetapi dari kemampuan mempertahankan nurani di tengah badai propaganda.
Dalam dunia yang ingin menjadikan manusia sekadar target iklan, klik statistik, dan objek perilaku terprediksi, mempertahankan makna adalah bentuk pembebasan tertinggi. Maka medsos adalah medan jihad, bukan karena semua orang ada di sana, tapi karena di sanalah masa depan sedang ditentukan. Dan jihad makna bukan tentang membenci, tapi tentang menyembuhkan luka kesadaran. Tentang membangun kembali realitas yang manusiawi dari reruntuhan narasi yang digerakkan oleh mesin.
Perang ini akan panjang. Tapi seperti semua bentuk jihad, ia adalah jalan menuju kemuliaan. Sebab dalam jihad makna, setiap kata adalah senjata, setiap penjelasan adalah cahaya, dan setiap diam adalah pilihan. Dan siapa yang memilih untuk bicara dalam kebenaran, meski sendiri, telah memenangkan satu medan dalam perang global yang kini tidak lagi hanya terjadi di bumi, tapi juga di dalam pikiran manusia.
~~~~~
Daftar Pustaka:
Alastair Crooke, Resistance: The Essence of the Islamist Revolution. London: Pluto Press, 2009.
Roy Mottahedeh, The Mantle of the Prophet: Religion and Politics in Iran. New York: Simon & Schuster, 1985.
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. New York: PublicAffairs Books, 2019.

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT