Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
Doa-doa Ahlulbait bukan sekedar permintaan, tetapi “peta jiwa.” Di dalamnya tersimpan diagnosis spiritual, luka-luka terdalam dari manusia yang merasa dekat tapi masih tertahan, ingin berubah tapi terus gagal melangkah.
Doa Abu Hamzah ini adalah salah satu cermin paling jujur untuk jiwa yang resah karena tak kunjung sampai pada Allah. Ia menggambarkan dengan gamblang seseorang yang ingin taat, ingin bangkit, tapi selalu terjatuh kembali. Mengapa seseorang tidak bisa maju ke depan? Apa yang menahan kita? Perhatikan baris-baris berikut.
اللَّهُمَّ إِنِّي كُلَّمَا قُلْتُ قَدْ تَهَيَّأْتُ وَتَعَبَّأْتُ
Ya Allah, setiap kali aku berkata, “Aku telah siap. Aku telah mempersiapkan diriku,”
وَقُمْتُ لِلصَّلَاةِ بَيْنَ يَدَيْكَ وَنَاجَيْتُكَ
dan aku berdiri untuk salat di hadapan-Mu, dan bermunajat kepada-Mu,
أَلْقَيْتَ عَلَيَّ نُعَاسًا إِذَا أَنَا صَلَّيْتُ
Engkau timpakan kantuk padaku saat aku salat,
وَسَلَبْتَنِي مُنَاجَاتَكَ إِذَا أَنَا نَاجَيْتُ
dan Engkau cabut kenikmatan bermunajatku ketika aku bermunajat.
Doa ini memuat gambaran orang yang ingin mendekat padaNya, tetapi gagal terus. Mengapa?
Ini adalah karena Ilusi Kesiapan – (تهيأت و تعبأت) Kata tahayya’tu berasal dari akar هـ – ي – أ, bermakna lahirnya persiapan. Sedangkan ta‘abba’tu dari ع – ب – أ berarti “mengemas” atau “mempersenjatai diri.” Namun, dalam etimologi klasik, kedua kata ini mengandung muatan lahiriah. Seseorang bisa merasa “sudah siap” secara fisik atau rencana, tapi jiwanya belum bersih. Maka langkah spiritualnya gagal karena persiapan hanya kulit, bukan isi.
Dalam kisah Karbala, ilusi kesiapan mungkin bisa kita refleksikan dari kisah Syahadah Agung Muslim bin ‘Aqil. Ketika Baiat Menjadi Kosong dan Kesetiaan Menguap: Kisah Muslim bin Aqil di Kufah. Pada tanggal lima Syawal yang panas dan berdebu itu, datanglah seorang lelaki tangguh ke kota Kufah, membawa surat dari cucu Rasul, membawa janji dari langit, membawa suara kebenaran dari Madinah menuju Karbala.
Namanya: Muslim bin Aqil.
Ia bukan sekadar utusan. Ia adalah nyawa yang didelegasikan. Ia adalah cahaya yang dipinjam dari lentera kenabian. Orang-orang Kufah, yang selama ini terhimpit oleh kezaliman, menyambut kabar kedatangannya seperti padang gersang menyambut hujan pertama. Mereka berlari—ya, berlari!—ke rumah tempat ia menetap. Ada yang bilang di rumah Mukhtar bin Abi Ubaidah, ada pula yang berkata di kediaman Muslim bin Ausajah, pejuang tua yang setia.
Dan di rumah itulah, berkumpullah mereka. Duduk bersila. Menangis haru. Mendengarkan. Menggigil ketika Muslim membaca sepucuk surat dari Imam Husain as. Surat yang bukan hanya tinta di atas kertas, tapi darah dan nyawa dalam kata-kata. Maka terjadilah peristiwa itu. Baiat pun diikrarkan.
Dua belas ribu tangan, katanya. Delapan belas ribu, kata yang lain. Tiga puluh ribu, kata sejarah yang lebih getir. Tiga puluh ribu orang bersumpah di bawah langit Kufah: Kami bersamamu, wahai Muslim. Kami bersama Imam Husain. Demi Allah, kami tidak akan mundur!
Dan Muslim percaya.
Dan Imam Husain pun berangkat, jauh dari Makkah.
Dan langit mencatat sumpah itu dengan tinta emas.
Tapi tinta manusia…
Cepat sekali pudar terkena embun ketakutan.
Dengan empat ribu orang, Muslim bergerak. Ia kepung istana Ubaidillah bin Ziyad, si penguasa tiran yang gemetar dalam bayang-bayangnya sendiri. Sorak-sorai membuncah: “Wahai penolong umat!”
Malam-malam Kufah menyala. Seolah sejarah akan berubah. Seolah kemenangan hanya tinggal sejengkal lagi.
Namun…
Tak lama kemudian, suara-suara itu hilang.
Langkah-langkah mundur.
Pintu-pintu rumah tertutup rapat
Lampu-lampu padam.
Kufah mendadak sunyi.
Muslim bin Aqil ditinggalkan.
Satu demi satu.
Dua demi dua.
Hingga empat ribu menjadi seribu.
Seribu menjadi seratus.
Seratus tinggal sepuluh.
Sepuluh tinggal satu.
Dan satu itu pun—Muslim bin Aqil—berdiri sendirian di ujung malam, seperti lilin terakhir dalam badai, memeluk janji umat yang tinggal puing-puing.
Ia pernah dikerumuni ribuan tangan.
Kini, bahkan bayangannya pun enggan tinggal.
Inilah yang disebut witr al-ma’tur:
yang sendiri,
yang ditinggalkan,
yang dipukul oleh angin sejarah,
yang dipeluk oleh sunyi,
yang diserahkan pada pedang kekuasaan oleh mereka yang telah bersumpah dengan mulut tapi bukan hati.
Betapa mudahnya manusia mengucap,
Betapa cepatnya manusia mengingkar.
Dan betapa sepinya seorang pejuang yang tulus,
di kota yang telah mengangkatnya tinggi,
hanya untuk menjatuhkannya lebih dalam.
Jika engkau pernah berjanji pada kebenaran,
ingatlah Muslim bin Aqil.
Jika engkau pernah bersumpah di bawah langit,
ingatlah langit Kufah yang menjadi saksi sumpah yang diingkari.
Dan jika engkau berkata, “Aku bersamamu, wahai Husain,“
pastikan suaramu tak ikut menghilang saat pedang telah terhunus.
Karena sejarah akan selalu bertanya:
Engkau bagian dari tiga puluh ribu yang berbaiat, atau satu yang bertahan?
Puluhan ribu pendukung Muslim bin ‘Aqil di Kufah adalah contoh nyata “. Seseorang bisa merasa “sudah siap” secara fisik atau rencana, tapi jiwanya belum bersih. Maka langkah spiritualnya gagal karena persiapan hanya kulit, bukan isi. Mereka mempersenjatai diri secara lahiriah , namun tidak secara batiniah. Kesiapan untuk menjadi Karbalai hanya kesiapan semu, bukan kesiapan hakiki.
Maka di antara ciri-ciri kesiapan palsu , kesiapan semu ini adalah karakter melemahnya Semangat di Tengah Ibadah – (نعاساً إذا أنا صليت) . Kantuk (nu‘ās) adalah simbol lemahnya kemauan. Nu‘ās bukan sekadar tidur, tapi “kelembaman kehendak,” rasa malas yang menyelinap. Ia sering hadir bukan karena tubuh lelah, tapi hati berat. Dan juga, Terputusnya Rasa Dalam Munajat – (سلبتني مناجاتك )Salaba (سلب) berarti “merampas secara tiba-tiba.” Jika rasa nikmat dalam doa dan ibadah hilang, itu bukan karena Allah menjauh, tetapi karena dosa dan kelalaian telah mencabutnya. Seperti daun yang gugur bukan karena pohon menolak, tapi karena akarnya kering.
Ini sungguh berkebalikan dengan apa yang diajarkan maupun dicontohkan oleh Nabi Saw dan Ahlubaitnya yang suci as untuk terus menerus bersemangat dalam beribadah dan bermunajat. Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa lasykar Umar bin Sa’ad pada ashar Tasu’a (hari kesembilan) hendak menyerang, tapi Imam Husain as menyuruh Abbas bin Ali as supaya meminta kepada mereka agar diberikan kesempatan satu malam lagi sehingga bisa beribadah. Sayyid Ibnu Thawus menriwayatkan dalam kitab al-Luhuf bahwa Ali bin Husain as telah berkata “ Sehari semalam ayahku (Imam Husain as ) shalat 1000 rokaat “. Diriwayatkan juga bahwa Sayyidah Zainab as shalat malam (tahajjud) di malam ke 11 Asyura, bahkan dalam keadaan remuk lahir batin yang tidak bisa kita bayangkan. Habib bin Mazahir, salah satu syahid di Karbala, hafal Al-Qur’an dan Beliau setiap malam khatam Al-Qur’an. Tak pernah lambat dan malas dalam menyambut seruan ketaatan pada Allah melewati berkhidmat pada Para Kekasih Allah. Habib membela Imam ‘Ali as dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Mudawamah Habib dalam khatamul Qur’an tiap malam , benar-benar menjadi keadaan jiwanya yang bak taman mawar. Ketika surat panggilan Husain as tiba, ia bergegas menyambut Panggilan Cinta Al Husain as.
Berikutnya kita coba perhatikan baris-baris ini:
مَا لِي كُلَّمَا قُلْتُ قَدْ صَلُحَتْ سَرِيرَتِي
Apa yang terjadi denganku, wahai Tuhan?
وَقَرُبَ مِنْ مَجَالِسِ التَّوَّابِينَ مَجْلِسِي
Setiap kali aku merasa batinku telah membaik,
عَرَضَتْ لِي بَلِيَّةٌ أَزَالَتْ قَدَمِي وَحَالَتْ بَيْنِي وَبَيْنَ خِدْمَتِكَ
dan aku mulai mendekati majelis orang-orang yang bertaubat, datanglah satu musibah yang menggoyahkan kakiku, dan menghalangiku dari mengabdi kepada-Mu.
Datangnya Ujian – (بلية أزالت قدمي) Baliyah berasal dari akar ب – ل – و, yang menunjukkan cobaan yang “mengungkap kualitas sejati.” Ujian bukan sekadar musibah, tapi alat untuk mengukur apakah kita kuat atau tidak. Bila ujian membuat kaki kita “tergelincir” (azālat qadamī), maka kelemahan itu sudah ada sebelum ujian datang.
Begitulah ratapan seorang jiwa yang sedang gelisah di hadapan ujian Tuhan. Seseorang yang merasa telah siap, telah bertobat, telah menjernihkan hati, telah bersiap untuk berkhidmat kepada Tuhan dan sesama—namun saat ujian datang, ia tergelincir. Ia runtuh. Ia gagal.
Ujian itu bukan sekadar musibah, bukan pula sekadar penderitaan. Dalam bahasa Arab, ujian disebut balāʾ—yang berasal dari akar b-l-w, bermakna “menguji untuk menyingkap.” Ia0 adalah alat pembongkar. Ia bukan pembentuk karakter, melainkan penyingkap karakter sejati. Seperti api bagi logam, ia menyingkap apakah ada emas, atau hanya karat yang dibungkus kilau semu.
Dan di manakah kita bisa melihat kualitas ujian paling hakiki yang pernah menimpa manusia?
Jawabnya: dalam peristiwa Karbala.
Tentang Tersingkapnya Tabir Jiwa di Saat Ujian
Ketahuilah, wahai saudaraku dalam pencarian Ilahi, bahwa tidak ada jalan menuju Allah selain melalui medan ujian. Maka renungkanlah firman qalbani dalam doa Abu Hamzah ats-Tsumali yang baru kita kutip.
Setiap kali hamba merasa dirinya telah suci dan pantas duduk bersama barisan orang-orang yang kembali, datanglah satu bencana yang mengguncang langkahnya dan menghalangi ia dari pengabdian.
Inilah makna baliyah (بلية), wahai jiwa-jiwa yang rindu: ia bukan sekadar malapetaka, melainkan mi’yar (timbangan) untuk menyingkap kerapuhan batin yang tersembunyi. Ujian tidak menciptakan kelemahan; ia membukanya, seperti cahaya fajar yang menyingkap debu di udara.
Mari kita lihat bagaimana para pendukung Muslim bin Aqil — yang semula bersumpah setia, menanti di rumah-rumah Kufah dengan obor janji — kemudian berbalik dan menghilang saat kekuasaan menampakkan taringnya? Apakah saat saat itu yang menjadikan mereka pengecut? Ataukah pengecut itu telah lama tinggal di balik tirai hawa nafsu, baru tampak ketika baliyah datang mengetuk?
Inilah rahasia “زَلَّتِ الْأَقْدَامِ” — kaki yang tergelincir bukan karena tanah licin, melainkan karena hati tak kokoh. Dalam kaca bening baliyah, terlihatlah kualitas sejati insan.
Wahai pencari Tuhan, janganlah tertipu dengan selimut khusyuk dan linangan air mata. Jangan kira majelis taubat telah menjadi tempatmu, sebelum engkau diuji dan tetap teguh. Maka mintalah kepada Allah, bukan sekadar ujian yang ringan, melainkan hati yang sabar dan bashirah yang tajam, agar ketika badai datang, engkau tetap berdiri.
Mereka yang berdiri di atas duri, – dan dengan Taufiq dan PerlindunganNya-, mereka merasa berdiri di taman mawar; inilah jalan para pecinta sejati: bukan sekadar menangis dalam munajat, tapi teguh ketika diuji.
Jangan pernah menganggap diri kalian suci; mereka yang merasa suci, bisa jadi adalah mereka yang paling banyak dosanya; mereka yang merasa paling benar, bisa jadi mereka adalah sumber kesesatan; siapa yang sudah merasa menjadi orang baik, bisa jadi adalah mereka yang terkena tamparan setan.
K.H Jalaluddin Rakhmat
Epilog – Dalam Jejak Burung yang Tersesat, Tiga Jalan Menuju Sidrah al-Muntaha
Wahai engkau yang sedang berjalan bersama burung-burung di lembah pencarian, dengarlah kisah ini seperti Simurgh memanggil dari balik gunung Qaf. Sungguh di sini panggilan Simurgh adalah bak seruan Cinta Cucu Nabi Saw, Husain as. Dan Muslim adalah bak gunung Qaf. Sejahteralah kalian duhai Imam Husain dan Muslim.
Sungguh jalan menuju-Nya bukan hanya dihamparkan oleh niat dan air mata, tetapi dibuka oleh luka, setia, dan pengorbanan. Maka ketahuilah—ada tiga penyakit di sayap jiwa yang membuat kita tergelincir dari jalan yang lurus yang kita kira telah kita tapaki.
Pertama adalah ilusi kesiapan, ketika engkau menyangka hatimu telah bersih hanya karena engkau telah mengenakan pakaian suci. Padahal air wudu belum menyentuh kerak hawa di sanubarimu.
Kedua adalah kelembaman kehendak, ketika engkau berdiri dalam salat, tapi jiwamu tertidur; ketika lidahmu bermunajat, tapi hatimu memikirkan dunia.
Ketiga adalah kesetiaan yang rapuh, ketika engkau bersumpah di hadapan pemimpin kebenaran, lalu membelot karena angin kekuasaan mengancam kenyamananmu.
Inilah tiga hijab yang menahan kita dari hakikat khidmat.
Maka wahai penempuh jalan, ambillah tiga bekal ke depan: tajdîd an-niyyah (pembaruan niat dengan kejujuran), mujâhadat an-nafs (perlawanan terhadap nafsu dalam sunyi), dan murâqabah ma‘a al-ikhwân (kebersamaan dengan para pencinta yang setia hingga akhir).
Karena di hadapan Husain, bukan banyaknya yang datang ke Karbala yang menjadi ukuran, tapi siapa yang tak lari ketika sayapnya terbakar. Jadilah seperti Muslim bin ‘Aqil—yang ditinggalkan ribuan, tapi tetap teguh. Karena kebenaran tidak pernah diukur dengan jumlah pengikut, melainkan dengan keberanian untuk bertahan ketika semua pergi.
Sebagaimana peringatan Guru Bangsa, KH Jalaluddin Rakhmat:
“Jangan pernah menganggap diri kalian suci; mereka yang merasa suci, bisa jadi adalah mereka yang paling banyak dosanya; mereka yang merasa paling benar, bisa jadi mereka adalah sumber kesesatan; siapa yang sudah merasa menjadi orang baik, bisa jadi adalah mereka yang terkena tamparan setan.”
فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Wa maa taufiiqii illa billah ‘alaihi tawakkaltu, wa ilaihi uniib
Jakarta, 21 Muharram 1447 H
