KhazanahSejarah

Ketika Dahi Menyentuh Tanah Karbala

Oleh Salim Muhsin BSA, M.Pd

Banyak pertanyaan dan pernyataan tentang sujud di atas tanah Karbala. Baik yang memang bertanya dengan tulus karena  ketidaktahuan dan ada juga dengan pertanyaan yang memang untuk mengejek dan menertawakan yang dibarengi dengan pernyataan penyesatan.

Di antara pertanyaan yang sering diutarakan adalah: Apakah Nabi saw pernah sujud di atas tanah Karbala? Jika dijawab “ya”, spontan mereka akan menyatakan inilah dusta yang nyata.

Namun jika dijawab tidak, mereka akan menyatakan bahwa ini adalah penyimpangan nyata atau bid’ah dholalah.

Padahal banyak riwayat yang disepakati dari kedua madrasah Islam, bahwa  Malaikat Jibril datang ke Rasul saw membawa segenggam tanah Karbala.

iklan

Sujud di atas tanah

Sujud di atas tanah Karbala (turbah Husainiyah) bukanlah suatu kewajiban menurut mazhab Syiah. Yang wajib dalam sujud menurut Ahlulbait adalah bersujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh dari tanah, selama bukan sesuatu yang dimakan, minum atau dipakai sebagai pakaian dan perhiasan.

Tanah Karbala termasuk bagian dari tanah yang diperbolehkan untuk sujud. Maka mengapa dipertanyakan dalil bolehnya sujud di atasnya, padahal seluruh umat Islam sepakat bahwa sujud di atas tanah adalah sah.

Tapi ironisnya di sisi lain mereka tidak mempermasalahkan sujud diatas sajadah impor buatan negara non muslim yang pro zionis.

Riwayat Ahli sunah

Dalam kitab Musannaf Ibn Abi Syaibah salah satu buku referensi Ahli sunah disebutkan bahwa Masruq bin al-Ajda’ (wafat tahun 62 H, termasuk sahabat Ibnu Mas‘ud) biasa membawa bata (tanah yang dipadatkan) untuk sujud saat naik kapal. 

Begitu juga di beberapa kitab rujukan lainnya disebutkan bahwa Ibnu ‘Uyainah berkata: 

Aku mendengar Razīn, maula Ibnu Abbas berkata:

Ali bin Abdullah bin Abbas menulis surat kepadaku dan meminta agar dikirimkan kepadanya sepotong batu dari marwah (bukit Marwah) untuk dipakai sujud.

Hal ini menunjukkan bahwa beliau meyakini pentingnya sujud di atas batu atau tanah, dan sekaligus ingin mencari berkah dengan sujud di tempat yang mulia.

Maka, tidak mungkin Masruq bin al-Ajda’ maupun Ali bin Abdullah bin Abbas dikatakan sebagai pelaku bid‘ah, karena keduanya sebagai tabiin dan jelas mengikuti praktik para sahabat.

Riwayat Ahlulbait

Adapun riwayat para Imam Ahlulbait as adalah bersumber dari Rasulullah saw. 

Imam Muhammad al-Baqir dan Ja‘far al-Shadiq secara eksplisit menyatakan bahwa: segala sesuatu yang mereka riwayatkan berasal dari ayah mereka, Imam Ali Zainal Abidin, dari Imam Husain, dari Imam Ali as, dari Rasulullah saw dari Jibril, dari Allah Ta‘ala.

Mereka juga menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak pernah berbicara atas dasar pendapat pribadi, melainkan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi saw.

Dalam satu riwayat, Imam al-Baqir as  berkata kepada Jabir:

“Wahai Jabir, demi Allah, jika kami menyampaikan sesuatu kepada manusia berdasarkan pendapat kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang binasa. Namun kami meriwayatkan kepada mereka dari peninggalan Rasulullah saw yang kami warisi dari leluhur kami, sebagaimana orang-orang menyimpan emas dan perak mereka.”

Sumber gambar : https://pin.it/5gMTey9jN

Kesimpulan:

Jika para Imam Ahlulbait as tidak berbicara dan beramal berdasarkan pendapat pribadi, melainkan berdasarkan peninggalan dari Rasulullah saw yang mereka warisi dan simpan sebagaimana orang menyimpan harta berharga. 

Maka seeloknya bagi kita kembali kepada apa yang telah mereka riwayatkan mengenai keutamaan sujud di atas tanah Karbala (turbah Husainiyyah). Karena itu bukan hanya sekedar tanah, tetapi simbol ketundukan yang murni kepada Allah dan penghubung spiritual dengan semangat pengorbanan Imam Husain as di Karbala.

Disintesis dari ide-ide Muqowamah

Imam Ali Zainal Abidin as adalah sosok yang tidak hanya melanjutkan perjuangan Imam Husain di medan spiritual dan sosial, tetapi juga meletakkan dasar maknawi yang mendalam bagi umat Islam dalam beribadah. Salah satu warisan pentingnya adalah tradisi sujud di atas tanah Karbala, yang kemudian dikenal sebagai turbah Husainiyah.

Tradisi ini bukan semata-mata simbol, melainkan memiliki makna spiritual dan ideologis yang dalam. Dengan bersujud di atas tanah yang menyerap darah syahid Imam Husain as, seorang mukmin tidak hanya melaksanakan rukun shalat, tapi juga menghadirkan hubungan antara hakikat shalat dan jihad. 

Sujud menjadi lambang ketundukan total kepada Allah dan dengan sujud di atas turbah, seorang hamba menegaskan bahwa penghambaan hanya kepada Allah, bukan kepada tirani, bukan kepada kezaliman.

Sujud di atas tanah suci Karbala adalah pernyataan nyata bahwa kehinaan bukan jalan hidup seorang mukmin.

Ketika dahi menyentuh turbah Husainiyah, yang terlintas bukan hanya kekhusyukan, tetapi juga keberanian, pengorbanan, dan semangat “Hayhat minna al-dzillah” ( Mustahil bagi Kami hidup dalam kehinaan).

Inilah makna terdalam dari sujud yang diwariskan oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Sebuah sujud yang bukan sekadar gerakan, tetapi sebuah pernyataan iman, perlawanan dan cinta kepada keadilan. Saat kita bersujud di atas tanah itu, kita seakan mendengar suara Imam Husain yang berkata: “Jangan pernah tunduk kecuali kepada Tuhanmu.”

Semoga bermanfaat

Salim Muhsin, M.Pd.
+ posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button