Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
بِسْمِ ٱللّٰهِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ فَجَزَاكَ ٱللَّهُ عَنْ رَسُولِهِ
Semoga Allah membalasmu atas nama Rasul-Nya.
وَعَنْ أَمِيرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Dan atas nama Amirul Mukminin.
وَعَنِ ٱلْحَسَنِ وَٱلْحُسَيْنِ
Dan atas nama al-Hasan dan al-Husayn.
صَلَوَاتُ ٱللَّهِ عَلَيْهِمْ
Semoga salawat Allah atas mereka.
أَفْضَلَ ٱلْجَزَاءِ
Dengan balasan terbaik.
بِمَا صَبَرْتَ وَٱحْتَسَبْتَ وَأَعَنْتَ
Karena kesabaranmu, pengorbananmu, dan pertolonganmu.
Di bagian lain…
ٱلمُنَاصِحُونَ لَهُ فِي جِهَادِ أَعْدَائِهِ
Yang ikhlas berjuang untuk-Nya di medan perang melawan musuh-musuh-Nya.
ٱلمُبَالِغُونَ فِي نُصْرَةِ أَوْلِيَائِهِ
Yang berusaha sekuat tenaga untuk mendukung para wali-Nya
.Dan di bagian lain….
فَجَزَاكَ ٱللَّهُ أَفْضَلَ ٱلجَزَاءِ
Semoga Allah membalasmu dengan balasan terbaik,
وَأَكْثَرَ ٱلجَزَاءِ
dan balasan yang paling banyak,
وَأَوْفَرَ ٱلجَزَاءِ
dan balasan yang paling melimpah,
وَأَوْفَىٰ جَزَاءِ أَحَدٍ مِمَّنْ وَفَىٰ بِبَيْعَتِهِ
dan balasan paling sempurna bagi siapa pun yang memenuhi janji setianya,
وَٱسْتَجَابَ لَهُ دَعْوَتَهُ
menjawab panggilan agama,
وَأَطَاعَ وُلاةَ أَمْرِهِ
dan taat kepada pemimpin-pemimpin yang ditunjuk Allah.
أَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَالَغْتَ فِي ٱلنَّصِيحَةِ
Aku bersaksi bahwa engkau telah bertindak dengan penuh keikhlasan,
وَأَعْطَيْتَ غَايَةَ ٱلمَجْهُودِ
dan telah mengerahkan segala usahamu.
فَبَعَثَكَ ٱللَّهُ فِي ٱلشُّهَدَاءِ
Semoga Allah membangkitkanmu bersama para syuhada,
وَجَعَلَ رُوحَكَ مَعَ أَرْوَاحِ ٱلسُّعَدَاءِ
menempatkan jiwamu bersama jiwa-jiwa orang-orang bahagia,
وَأَعْطَاكَ مِنْ جِنَانِهِ أَفْسَحَهَا مَنْزِلاً
memberimu tempat tinggal terluas di surga-Nya,
وَأَفْضَلَهَا غُرَفاً
dan kamar paling indah,
وَرَفَعَ ذِكْرَكَ فِي عِلِّيِّينَ
meninggikan namamu di ‘Illiyyin,
وَحَشَرَكَ مَعَ ٱلنَّبِيِّينَ وَٱلصِّدِّيقِينَ
dan mengumpulkanmu bersama para nabi, orang-orang jujur,
وَٱلشُّهَدَاءِ وَٱلصَّالِحِينَ
para syuhada, dan orang-orang saleh.
وَحَسُنَ أُوْلٰئِكَ رَفِيقاً
Dan sebaik-baik teman adalah mereka.
EPISODE 1: ABSTRAK (RINGKASAN)
Dalam diam ia berjalan. Langkah demi langkah—dalam senyap, dalam setia. Ia tahu: ia tak akan melihat malam. Namun panji harus tetap berdiri. Di tangannya panji berkibar. Tangan yang tak lama lagi akan tertebas. Namun ia genggam erat, seolah berkata pada semesta: “Aku tidak akan menyerah, meski dunia seluruhnya berpaling dari Husain.”
Ia bukan pengejar takhta. Ia bukan pedang lapar pujian. Ia adalah tekad yang lebih kuat dari baja. Yang memilih pengasingan daripada pembalasan. Yang melihat air dan tidak meminumnya. Karena jiwanya lebih haus akan kesetiaan daripada kerongkongannya akan sejuknya Eufrat.
Ia bisa meneguk air. Ia bisa kembali dengan kendi dan kehormatan dunia. Tapi ia ingin kembali dengan cinta yang sempurna. Cinta yang membakar tubuhnya dan menyala dalam bayang-bayang Husain. Seperti Yahya bin Zakariya yang lehernya ditebas demi menyuarakan kebenaran. Ataupun Asia binti Muzahim yang tubuhnya dikuliti demi cintanya pada Tuhan. Namun tak sekalipun lisannya gentar.
Begitu pun Abbas. Kepala dan hatinya tetap bersujud, bahkan ketika pedang musuh menjawab cintanya dengan luka. Ia tidak menawar takdir. Ia tidak menolak gelap. Ia tidak meminta keajaiban datang dari langit. Ia terus bertindak. Ia terus berjuang. Dan ia terus bergerak. Lebih dari para Stoik yang menatap maut tanpa keluhan, ia melihat anak-anak kehausan namun tidak menyalahkan Tuhan. Ia mendengar panggilan dari tenda-tenda suci dan menjawabnya dengan tubuhnya sendiri. Ia adalah Abbas. Bayangan dari Nur Husain. Pundaknya menyangga dunia yang patah, tapi hatinya tidak patah. Ia bukan hanya prajurit. Ia adalah sajak yang ditulis darah. Ia adalah doa yang diwujudkan dalam ketangguhan juang tanpa ragu. Ia adalah Kebajikan Perkhidmatan Tertinggi yang mengambil wujud manusia untuk satu hari saja di Karbala. Ia menjadi kesimpulan dan nasihat bagi manusia. Patron berkhidmat padaNya. Kasih sayang pada para biji mata yang kehausan di bawah bendera agung Husain.
Semoga Allah membalasmu atas nama Rasul-Nya. Dan atas nama Amirul Mukminin. Dan atas nama Hasan dan Husain. Semoga salawat Allah atas mereka. Dengan balasan terbaik karena kesabaranmu, pengorbananmu, dan pertolonganmu. Semoga Allah membalasmu dengan balasan terbaik, dan balasan yang paling banyak, dan balasan yang paling melimpah, dan balasan paling sempurna bagi siapa pun yang memenuhi janji setianya, menjawab panggilan agama, dan taat kepada pemimpin-pemimpin yang ditunjuk Allah. Aku bersaksi bahwa engkau telah bertindak dengan penuh keikhlasan dan telah mengerahkan segala usahamu. Semoga Allah membangkitkanmu bersama para syuhada, menempatkan jiwamu bersama jiwa-jiwa orang-orang bahagia, memberimu tempat tinggal terluas di surga-Nya dan kamar paling indah, meninggikan namamu di ‘Illiyyin, dan mengumpulkanmu bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan sebaik-baik teman adalah mereka.
Dalam dirinya hidup semangat Zhuge Liang, yang diam-diam menyiapkan kemenangan dengan kesetiaan. Ia tak pernah goyah oleh ketidakpastian nasib. Dalam dirinya hidup jiwa Yudhishthira, yang memilih kejujuran dan kesabaran daripada dendam. Dalam dirinya hidup etika Rama, yang menolak jalan pintas meski itu halal baginya. Dalam dirinya hidup falsafah Para Stoik, yang menjadikan virtue sebagai satu-satunya puncak eksistensi.
Ia tidak hanya sabar. Ia menyempurnakan sabar. Kata shabarta berasal dari akar ṣabr, menunjukkan keteguhan hati di tengah cobaan. Ia sabar karena tahu untuk siapa ia berjuang. Kata ihtasabta berasal dari akar ḥ-s-b, yakni mengharap balasan dari Allah semata. Ia tidak menuntut dunia. Ia hanya menatap surga-Nya. Ia tidak menunggu tepuk tangan manusia. Ia menanti ridha Ilahi. Kata a‘anta berasal dari akar ‘-w-n, artinya membantu dengan tulus. Ia hadir bukan untuk menyelamatkan diri, tapi untuk meringankan penderitaan orang lain. Kata munasihun berasal dari akar n-ṣ-ḥ, keikhlasan yang jujur dan tanpa pamrih. Ia berjuang bukan karena popularitas, tapi karena cinta yang murni. Kata mubalighun dari balagha, mencapai puncak. Abbas tidak sekadar menolong; ia menyempurnakan pertolongan. Ia tidak sekadar mencintai; ia menyempurnakan cinta. Baalaghta fi al-nasihah berarti keikhlasan yang mencapai puncak kejujuran. Sebuah ketulusan yang tak terkontaminasi oleh ego. Ghayata al-majhud berarti upaya maksimal tanpa menyisakan daya. Ketika semua orang sudah lelah, ia masih berdiri. Ketika tubuhnya tak lengkap lagi, ia masih menggenggam panji.
Dunia kehilangan salah satu contoh terbaik dari manusia yang mampu berjuang hingga titik darah terakhir, demi nilai-nilai luhur yang dianutnya, demi Imam yang dicintainya, demi keluarga suci yang kehausan di padang kering. Ia adalah jalan tengah yang menyatukan pedang dan cinta, air dan pengorbanan, darah dan makna. Ia tidak menulis kitab filsafat, tetapi tubuh dan darahnya telah menjadi risalah agung tentang arti hidup dan kehormatan. Ia tak pernah mundur, meski harus menghadapi ribuan sendiri. Ia tidak bergeming, meski tangan-tangannya putus, tubuhnya tertebas, dan dahaga menyiksa setiap rongga. Ia tetap tegak sebagai gunung yang bertawakkal, dengan cinta sebagai akar, dan kesetiaan sebagai puncaknya.
Ia adalah perwujudan istitmam dalam kesabaran. Sabar yang tak terbayangkan. Kesabaran berbalut ihtisab, murni dari kotoran duniawi, tulus dan penuh cinta, senantiasa penuh semangat walau berhadapan dengan ribuan rintangan, setia dalam cinta pada semua keadaan, dan ia menyempurnakan kesabaran dan perjuangannya hingga batas maksimal untuk tujuan Ilahi. Sungguh ‘Abbas telah menuliskan namanya, lakunya, adabnya, akhlaqnya, ketangguhan dan kesabaran sempurnanya dalam ingatan kolektif kaum Muslim dan para pejuang kemanusiaan. Eksistensinya menjadi identik dengan perjuangan dan pengabdian, serta cinta dan pengorbanan yang sempurna.
Dan kita, yang membaca ini di malam atau siang, beranikah menatap tatapan matanya? Beranikah menakar langkah kita dengan jejak kakinya? Beranikah bertanya pada diri: Apakah kita masih ingin hidup untuk diri sendiri? Sementara Abbas telah mati untuk Husain dan segalanya yang suci. Bila di akhirat, kita bermohon pada Allah untuk meninggikan nama ‘Abbas di ‘Illiyyin, maka di dunia dan perjuangan tanpa akhir melawan hawa nafsu, cinta dunia dan kuasa rakus hegemonik, kita bermohon pada Allah untuk mengukirkan laku, kesabaran, cinta, ketulusan ‘Abbas dalam spirit hingga DNA dan ingatan syaraf-syaraf lahir dan batin kita. Melaluinya, sungguh setiap bumi adalah Karbala, dan setiap hari adalah Asyura.

EPISODE 2: URAIAN
Teks ziarah ini adalah doa yang memuliakan Abal Fadhl ‘Abbas, sosok yang menjadi teladan istitmam—kesempurnaan dalam pengabdian, cinta, dan perjuangan. Doa ziarah ini memohon balasan terbaik dari Allah atas kesabaran (shabarta), pengorbanan ikhlas (ihtasabta), pertolongan tulus (a‘anta), keikhlasan dalam jihad (munasihuna), usaha maksimal untuk para wali Allah (mubalighuna), serta keikhlasan dan usaha paripurna (baalaghta fi al-nasihah dan ghayata al-majhud). ‘
Imam Shadiq as dalam mendeskripsikan sifat pamannya, Abbas bin Ali, mempunyai sifat-sifat: “Cermat, mempunyai visi yang besar, keimanan yang sangat kuat, berjihad dengan Imam Husain as, cacat perang dan penuh pengorbanan, syahid di jalan imamnya, tunduk di hadapan penerus Rasulullah saw, meyakini Imam Zamannya, loyal, berusaha keras dan seterusnya.” ( Ibnu ‘Anbah, ‘Umdah al-Thālib, hlm. 280; Amin, A’yan Syiah, hlm. 430.)
Abbas menunjukkan keteguhan tanpa ragu, kekuatan tanpa lemah, dan ketulusan tanpa pamrih, meskipun tubuhnya terluka parah di Karbala. Ia adalah Sang Pembawa Air, Pembawa Bendera, dan tulang punggung Husayn yang mulia, yang dengan cinta kepada Allah, Rasul, dan para wali-Nya, menentang kuasa hegemonik dengan keberanian penuh.
Kata shabarta berasal dari akar sabr (صبر), yang berarti ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Sabr adalah kemampuan menahan keluh kesah, menjaga ketenangan jiwa, dan tetap teguh di jalan kebenaran meskipun penderitaan melanda. Dalam Al-Qur’an, konsep ini terwujud dalam Surah Al-Baqarah ayat 153:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
‘Abbas menunjukkan istitmam dalam kesabaran saat menghadapi dahaga dan tekanan musuh di Karbala. Meskipun luka-lukanya bertambah parah, ia tetap teguh mengambil air untuk anak-anak dan keluarga Husayn tanpa keluhan, mencerminkan ketabahan sempurna. Kesabaran ‘Abbas menanggung derita dan tekanan fisik mental yang demikian dahsyat dengan tetap lurus berjalan di atas pandangan batin yang terang , sama sekali tidak pernah melemah dan lemah, sama sekali tidak pernah mundur.
Kata ihtasabta berasal dari akar hasaba (حسب), yang merujuk pada pengharapan pahala dari Allah. Ihtisab adalah tindakan ikhlas yang dilakukan demi ridha Allah, menahan diri dari keinginan duniawi.
Kata a‘anta berasal dari akar ‘awn (عون), yang berarti bantuan tulus. ‘Awn adalah sokongan setia untuk meringankan beban orang lain demi kebaikan bersama. Dalam Al-Qur’an, konsep ini ada pada Surah Al-Kahf ayat 95:
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
“Ia berkata, ‘Kekuatan yang telah diberikan Tuhanku kepadaku lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia) agar aku dapat membuatkan dinding antara kamu dan mereka.’”
Kata munasihuna berasal dari akar nash (نصح), yang berarti keikhlasan dalam tindakan demi kebaikan. Nash adalah ketulusan hati tanpa motif tersembunyi, mencerminkan kejujuran dalam menjalankan amanah. Dalam Al-Qur’an, ini terlihat pada Surah At-Tawbah ayat 91:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ
“Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak menemukan apa yang mereka infakkan, apabila mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Kata mubalighuna berasal dari akar balagha (بلغ), yang berarti mencapai puncak tindakan tanpa celah kekurangan. Balagha adalah usaha maksimal untuk menyelesaikan tugas hingga tuntas. Dalam Al-Qur’an, ini terlihat pada Surah An-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.”‘
Frasa baalaghta fi al-nasihah menggabungkan balagha (mencapai puncak) dan nasihah (keikhlasan). Balaghta fi al-nasihah berarti keikhlasan yang mencapai kesempurnaan, tindakan tulus tanpa motif duniawi. Dalam Al-Qur’an, ini tercermin pada Surah At-Tawbah ayat 91, yang menegaskan ketulusan sebagai inti pengabdian.
Frasa ghayata al-majhud menggabungkan ghaya (tujuan akhir) dan majhud (usaha maksimal). Ghayata al-majhud berarti pengerahan tenaga hingga batas tertinggi tanpa sisa. Dalam Al-Qur’an, ini terlihat pada Surah An-Nahl ayat 125, yang menekankan usaha maksimal untuk tujuan ilahi.
‘Abbas menunjukkan istitmam dalam pengorbanan saat menolak minum air dari Sungai Furat, memilih kebutuhan anak-anak Husayn di atas dirinya sendiri, menunjukkan keikhlasan tanpa motif duniawi. Abbas benar-benar menyempurnakan perjuangannya, dengan kesabaran lahir batin yang paripurna, tak pernah bergeser sedikit pun, tak ada sedikitpun keluh, senantiasa kuat dan kokoh dengan semangat enerjik di saat-saat terik mentari Karbala telah membuat bibirnya yang kehausan mungkin sudah bak kayu kering, _ dan ia memutuskan untuk mendahulukan Cinta dan empatinya pada Al Husain as dan keluarganya yang hampir layu kekeringan ketimbang meminum air Eufrat yang sudah ada di depan mata. Tak mundur sedikit pun walaupun harus bertarung solo, sendirian, menghadapi ribuan musuh.
Barangkali ayat berikut sangat tepat menggambarkan kemuliaan kesabaran ‘Abbas,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan mendapatkan kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala tanpa batas.’” (QS Az-Zumar ayat 10). Barangkali bagian dari ziarah Abbas berikut ini menunjukkan gambaran “pahala tanpa batas” kesabaran Abbas yang disertai ihtisab, ketulusan paripurna tanpa sedikit pun motif duniawi, semangat tak pernah lemah, maju menyempurna terus tak pernah mundur, pandangan batin dan makrifat yang sempurna, pengerahan hingga batas tertinggi tanpa sisa. Semoga Allah membalasmu dengan balasan terbaik, dan balasan yang paling banyak, dan balasan yang paling melimpah, dan balasan paling sempurna bagi siapa pun yang memenuhi janji setianya, menjawab panggilan agama, dan taat kepada pemimpin-pemimpin yang ditunjuk Allah…. Semoga Allah membangkitkanmu bersama para syuhada, menempatkan jiwamu bersma jiwa-jiwa orang-orang bahagia, memberimu tempat tinggal terluas di surga-Nya, dan kamar paling indah, meninggikan namamu di ‘Illiyin, dan mengumpulkanmu bersma para nabi, dan para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh (Shalihin), dan mereka adalah sebaik-baik teman.
Dalam dirinya hidup semangat Zhuge Liang, – dalam kisah Tiga Kerajaan-, yang terus merancang langkah demi langkah dalam diam dan kesetiaan, tidak pernah goyah oleh ketidakpastian nasib. Seperti Kongming yang tak pernah menyerah meski tahu negeri Shu akan runtuh, Abbas tetap menggenggam panji walau tahu hari itu adalah hari terakhirnya. Ia memastikan dirinya maksimum dalam mengorbankan segalanya demi Husain, Sang Insan Kamil yang merupakan Pewaris Rasulullah Saw dan Archetype kemanusiaan , kebenaran dan keadilan.
Dalam diri Abbas juga hidup tekad Yudhishthira, – dalam kisah Mahabarata-, yang lebih memilih pengasingan dan kesabaran ketimbang membalas kejahatan dengan kejahatan. Abbas, ketika berada di tepi Sungai Eufrat, bisa saja minum, bisa saja kembali dengan air dan dengan pedang. Tapi ia tidak minum. Ia tidak mengambil kesempatan untuk memuaskan dahaga duniawi, karena ia haus akan sesuatu yang lebih tinggi: kesetiaan dan kemuliaan jiwa.
Seperti Rama dalam kisah Ramayana, Abbas tidak mengambil jalan pintas. Ia tidak menerobos musuh demi kemenangan pribadi. Ia tidak meneguk air meski itu halal baginya. Ia tidak menghancurkan musuh untuk membuktikan keperkasaan. Ia bertarung demi cinta, bukan demi nama. Ia berjalan ke tengah pasukan musuh dengan kepala tegak, tapi hatinya tunduk penuh kepada Yang Maha Luhur. Keberaniannya bukan berasal dari dendam, tapi dari kepastian bahwa kebenaran tidak boleh diinjak-injak.
Dan seperti para Stoik, Abbas mengikuti dengan sempurna Tradisi Nabi Saw dan keluarganya as untuk menaklukkan dirinya sendiri. Ia tidak berharap kemenangan luar. Ia tidak berharap pujian. Ia tidak bersedih atas kematian. Dalam setiap langkahnya, ia menunjukkan bahwa virtue adalah satu-satunya tujuan yang pantas dikejar. Ia hadir dalam badai, tetapi tidak runtuh oleh amarah. Ia melihat saudara-saudaranya gugur, namun tidak meratap dalam kesedihan duniawi. Ia melihat anak-anak kehausan, namun tidak mengutuk langit. Ia hanya bertindak. Ia hanya berjuang. Dan ia hanya berserah.
Abbas adalah puncak dari falsafah kepengikutan pada Insan Kamil, kesetiaan, kesabaran, keberanian, kedermawanan, Cinta dan kasih sayang yang pernah ditulis oleh pena para filsuf dan diserukan oleh suara para nabi. Ia adalah kesabaran yang aktif dalam membela Insan Kamil dan kemanusiaan dan agama yang benar, keberanian yang hening, kesetiaan yang murni, perjuangan yang tak bercela. Ia sama sekali tak memerintah kerajaan seperti Marcus Aurelius, namun ia memerintah jiwanya dengan lebih sempurna. Ia tak menulis traktat seperti Seneca, tapi tubuh dan darahnya telah menulis kitab paling agung tentang makna hidup dan kehormatan.
Ketika ia jatuh di tanah Karbala, dunia kehilangan salah satu contoh terbaik dari manusia yang mampu berjuang hingga titik darah terakhir demi Nilai-Nilai yang dianutnya, demi Imam yang dibela dan dicintanya, demi keluarga suci yang menggelepar kehausan di padang kering, tanpa kehilangan nurani. Ia adalah jawaban bagi zaman yang kebingungan antara kekuatan dan nilai. Ia adalah jalan tengah yang menyatukan pedang dan cinta, air dan pengorbanan, darah dan makna.
Abal Fadhl ‘Abbas adalah perwujudan istitmam dalam kesabaran pada tingkatannya yang tak terbayangkan yang juga merupakan perwujudan nilai-nilai dan tokoh-tokoh kemanusiaan di sepanjang sejarah manusia dan kemanusiaan. Kesabaran berbalut ihtisab, kesabaran yang berbalut pandangan terus menerus pada akhirat, murni dari kotoran duniawi, tulus dan penuh cinta, senantiasa penuh semangat walau berhadapan dengan ribuan rintangan, setia dalam cinta pada semua keadaan, dan ia menyempurnakan kesabaran dan perjuangannya hingga batas maksimal untuk tujuan Ilahi. Sungguh ‘Abbas telah menuliskan namanya, lakunya, adabnya, akhlaqnya, ketangguhan dan kesabaran sempurnanya dalam ingatan kolektif kaum Muslim dan para pejuang kemanusiaan. Eksistensinya menjadi identik dengan perjuangan, dan pengabdian, serta cinta dan pengorbanan. Yang sempurna. Di Karbala, meskipun tubuhnya terpotong, tangannya terputus, dan dahaga menyiksanya, ia tak pernah mundur, ragu, atau lemah. Hingga kini, dan selamanya, di seluruh bumi dan semesta, ia menjadi inspirasi abadi bagi umat manusia. Bila di akhirat, kita bermohon pada Allah untuk meninggikan nama ‘Abbas di ‘Illiyyiin, maka di dunia dan perjuangan tanpa akhir melawan hawa nafsu, cinta dunia dan kuasa rakus hegemonik, kita bermohon pada Allah untuk mengukirkan laku, kesabaran, Cinta, ketulusan ‘Abbas dalam spirit hingga DNA dan ingatan syaraf-syaraf lahir dan batin kita. Melaluinya,- sungguh setiap bumi adalah Karbala, dan setiap hari adalah Asyura.
EPISODE 3: EPILOG: ABALFADHL, BAYANGAN CAHAYA
Dalam diam ia berjalan,
Langkah demi langkah—dalam senyap, dalam setia,
Ia tahu: ia tak kan melihat malam,
Namun panji harus tetap berdiri.
Di tangannya panji berkibar,
Tangan yang tak lama lagi akan tertebas,
Namun ia genggam erat,
Seolah berkata pada semesta:
“Aku tidak akan menyerah,
meski dunia seluruhnya berpaling dari Husain.”
Ia bukan pengejar takhta,
Ia bukan pedang lapar pujian.
Ia adalah tekad yang lebih kuat dari baja
Yang memilih pengasingan daripada pembalasan,
Yang melihat air dan tidak meminumnya,
Karena jiwanya lebih haus akan kesetiaan
Daripada kerongkongannya akan sejuknya Eufrat.
Ia bisa,
Ia bisa meneguk air,
Ia bisa kembali dengan kendi dan kehormatan dunia,
Tapi ia ingin kembali dengan cinta yang sempurna,
Cinta yang membakar tubuhnya
Dan menyala dalam bayang-bayang Husain.
Seperti Yahya bin Zakariya,
Yang lehernya ditebas demi menyuarakan kebenaran,
Ataupun Asia binti Muzahim
Yang tubuhnya dikuliti demi Cintanya pada Tuhan
Namun tak sekalipun lisannya gentar,
Begitu pun Abbas,
Yang kepala dan hatinya tetap bersujud,
Bahkan ketika pedang musuh menjawab cintanya dengan luka.
Ia tidak menawar takdir,
Ia tidak menolak gelap,
Ia tidak meminta keajaiban datang dari langit,
Ia terus bertindak.
Ia terus berjuang.
Dan ia terus bergerak,.
Lebih dari para Stoik yang menatap maut tanpa keluhan,
Ia melihat anak-anak kehausan
Namun tidak menyalahkan Tuhan.
Ia mendengar panggilan dari tenda-tenda suci,
Dan menjawabnya dengan tubuhnya sendiri.
Ia adalah Abbas.
Bayangan dari Nur Husain.
Pundaknya menyangga dunia yang patah,
Tapi hatinya tidak patah.
Ia bukan hanya prajurit.
Ia adalah sajak yang ditulis darah,
Ia adalah doa yang diwujudkan dalam ketangguhan juang tanpa ragu,
Ia adalah Kebajikan Perkhidmatan Tertinggi
yang mengambil wujud manusia
Untuk satu hari saja di Karbala.
Ia menjadi kesimpulan dan nasihat bagi manusia.
Patron berkhidmat padaNya.
Kasih Sayang pada para biji mata yang kehausan,
di bawah bendera agung Husain.
Dan kita,
Yang membaca ini di malam atau siang,
Beranikah menatap tatapan matanya?
Dan bertanya pada diri:
Apakah kita masih ingin hidup untuk diri sendiri?
Sementara Abbas telah mati
Untuk Husain dan segalanya yang suci.
Wa maa tawfiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib.
Jakarta, 20 Muharram 1467 H
