Uncategorize

Apa Itu Syukur?

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)

Menemukan Makna Sejati Terima Kasih kepada Sang Pemberi Hidup

Dalam bahasa Arab, kata syukur (الشُّكر) berasal dari akar kata شَكَرَ – يَشْكُرُ yang berarti menampakkan nikmat dan mengakui kebaikan pemberi nikmat. Menariknya, orang Arab menggambarkan seekor hewan ternak yang gemuk karena cukup pakan sebagai “syakūr”—simbol bahwa ia menampakkan hasil dari pemberian makanan dengan tubuh yang sehat dan kuat. [Lisān al-‘Arab, Ibn Manzhur, juz 4, hlm. 428] 

Artinya, syukur tidak sekadar ucapan, tapi penampakan nikmat itu dalam perilaku dan keadaan.

Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan kita untuk bersyukur, tetapi juga menunjukkan akibat indah dari sikap itu.

iklan

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [QS Ibrahim (14):7]

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkari.” [QS Al-Baqarah (2):152]

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Bekerjalah, wahai keluarga Daud, untuk bersyukur! Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur.” [QS Saba’ (34):13]

Pesan utamanya jelas: syukur adalah amalan hati, ucapan, dan perbuatan yang membuka pintu nikmat baru.

Imam Ja‘far ash-Shadiq as pernah memberi pelajaran indah tentang syukur melalui tindakan. Dikisahkan, beliau memberikan setangkai anggur kepada seorang pengemis. Pengemis itu berkata, “Alhamdulillah.” Imam menambah pemberian itu. Ia terus bersyukur, dan Imam pun terus menambah, hingga seluruh anggur dan roti yang dibawa habis diberikan.

Kemudian Imam berkata:

مَنْ أُعْطِيَ شَيْئًا فَشَكَرَ، كَانَ لَهُ أَجْرُ مَنْ أَخَذَ

“Siapa yang diberi sesuatu lalu bersyukur, maka ia mendapat pahala seperti orang yang memberi.” [Al-Kāfi, Syaikh al-Kulaini, jil. 2, hlm. 95]

Hadis ini menunjukkan bahwa syukur tidak hanya memantulkan kebaikan ke hati sendiri, tapi juga mengundang tambahan nikmat dari Allah dan sesama manusia.

Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menulis bahwa syukur sejati adalah menyaksikan Allah sebagai sumber setiap nikmat, tanpa melihat perantara. Baginya, syukur adalah pengenalan hati bahwa hanya Allah yang memberi, disertai penggunaan nikmat itu di jalan-Nya. [Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, jil. 4, hlm. 332]

Al-Ghazali membagi syukur menjadi tiga tingkatan: syukur dengan ilmu (menyadari nikmat dan mengenali Pemberinya), syukur dengan hati (merasakan kegembiraan, kerendahan hati, dan kecintaan kepada Allah), dan syukur dengan amal (menggunakan nikmat untuk ketaatan, bukan maksiat). [Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jil. 4, hlm. 83]

Al-Anshari memandang syukur sebagai tiga hal: pengakuan nikmat, penggunaan yang tepat, dan pujian kepada Pemberi nikmat. Ia menekankan bahwa syukur adalah buah dari kesabaran dan keduanya tak terpisahkan. [Manāzil al-Sā’irīn, hlm. 109]

Allamah Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan menjelaskan bahwa syukur adalah bentuk penghambaan yang menggabungkan pengetahuan, pengakuan, dan ketaatan. [Tafsir al-Mizan, jil. 1, hlm. 272.]

Sementara Ayatullah Jawadi Amuli menegaskan bahwa syukur adalah pengelolaan nikmat sesuai kehendak Allah—sehingga syukur menuntut kesadaran dan tanggung jawab.

Dengan demikian, syukur bukan sekadar berkata “Alhamdulillah” ketika mendapat rezeki. Ia juga berarti: menjaga kesehatan sebagai bentuk syukur atas tubuh, menggunakan ilmu untuk kebaikan sebagai syukur atas akal, dan memperbanyak ibadah sebagai syukur atas iman.

Dengan begitu, syukur menjadi gaya hidup—bukan hanya reaksi sesaat.

Kesimpulannya, syukur adalah kesadaran penuh bahwa segala nikmat berasal dari Allah, diucapkan dengan lisan, diresapi oleh hati, dan diwujudkan dalam amal. Ia bukan hanya kewajiban, tapi juga kunci bertambahnya nikmat.

Dengan kata lain: syukur adalah seni hidup yang membuat hati tenang, pikiran jernih, dan hidup bermakna.

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button