Khazanah

Karbala dalam Cahaya Prigogine

Oleh: Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)

Peristiwa Karbala, yang terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriyah, secara lahiriah adalah tragedi besar, bahkan mungkin puncak dari penderitaan manusia dalam sejarah spiritualitas. Sayyid al-Shuhada Imam Husain bin Ali as, cucu Nabi Muhammad saw, bersama keluarganya dan para sahabat setianya, dibantai secara kejam di padang tandus Karbala oleh rezim Umayyah. Peristiwa ini tampak seperti kehancuran total dari segala cita-cita kenabian: keadilan, cinta kasih, dialog, dan martabat manusia. Namun, dalam cahaya filsuf dan saintis pemenang Nobel Ilya Prigogine, kita justru bisa melihat peristiwa ini sebagai titik lecut dari sebuah struktur disipatif—yakni sistem terbuka yang melewati krisis untuk mencapai tingkat tatanan yang lebih tinggi.

Prigogine, penerima Nobel dalam bidang kimia tahun 1977, memperkenalkan konsep dissipative structure—struktur disipatif—dalam termodinamika non-linear. Ia menunjukkan bahwa dalam sistem terbuka jauh dari kesetimbangan, kekacauan dan fluktuasi justru dapat memicu lahirnya keteraturan baru. Sebuah sistem tidak hanya bisa bertahan dalam kekacauan, tetapi justru melampaui dirinya, membentuk order through fluctuation. 

Dalam konteks ini, Karbala adalah fluktuasi mahadahsyat dalam sejarah umat Islam: kekacauan moral, kezaliman politik, dan pengkhianatan sosial serta kejahatan perang yang melampaui batas. Namun dari pusaran  yang bergejolak hebat ini inilah muncul keteraturan moral baru, bahkan hingga kini.

Karbala adalah titik entropi maksimum dalam sejarah Islam—energi moral dan spiritual seakan hancur tak tersisa. Seorang cucu Nabi saw dibantai tanpa air, bersama anak-anak, wanita, dan para sahabat setianya. Tetapi dari peristiwa ini justru muncul energi kesadaran baru. Dari reruntuhan tubuh para syuhada, bangkitlah arus spiritual, sosial, dan bahkan politik yang menolak dominasi tirani.

iklan

Zainab binti Ali as dan Imam Ali Zainal Abidin as tidak hanya bertahan, tetapi menyulut revolusi abadi, suatu bara perlawanan dengan kata-kata dan doa. Mereka meletakkan fondasi dasar ingatan kolektif ummat Islam maupun ummat manusia secara keseluruhan tentang Karbala , Al Husain dan patron suci kemanusiaan. Inilah bentuk restrukturisasi nilai setelah kekacauan: sistem etika dan spiritual umat mengalami bifurkasi menuju kesadaran yang lebih tinggi.

Struktur disipatif ala Priogine dalam peristiwa Karbala bisa kita lihat dari beberapa fakta berikut. Fakta Sosio-Historis Pasca Asyura Kebangkitan Tawwabun dan Mukhtar al-Tsaqafi: Dalam waktu singkat, masyarakat Kufah yang tadinya pasif mengalami kesadaran kolektif. 

Kelompok Tawwabun—para penyesal—melakukan revolusi demi menebus kelalaian mereka. Gerakan Mukhtar melahirkan sistem perlawanan terhadap rezim Umayyah dan menuntut balas atas para pembunuh Karbala. 

Transmisi Nilai Asyura dalam Budaya: Ritual-ritual Asyura bukan sekadar ekspresi duka, melainkan pelestarian nilai keberanian, kejujuran, cinta ilahi, dan solidaritas terhadap tertindas. Dari Persia, India, Irak, Suriah hingga Indonesia, Asyura membentuk struktur sosial disipatif yang menyuntikkan kesadaran moral ke dalam budaya.

Inspirasi Gerakan Kemanusiaan Global: Tokoh-tokoh besar seperti Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela menyatakan bahwa mereka belajar dari Husain as tentang makna pengorbanan dan perlawanan tanpa kekerasan. Gandhi menyatakan: “I learned from Husayn how to achieve victory while being oppressed.”

Mengapa Imam Husain as dan Karbala bisa menjadi struktur disipatif yang melejitkan ummat ke derajat eksistensi atau derajat tatanan yang lebih luhur dan mulia? Kekuatan disipatif apa yang dimiliki oleh Imam Husain as , keluarganya, sahabatnya sehingga bisa meredam kejadian chaotic yang luar biasa, dan berhasil melejit ke kemunculan tatanan baru? Apa yang membuat Karbala bertahan sebagai struktur disipatif bukan hanya tragedinya, tapi karena Imam Husain as dan pengikutnya dan sahabatnya terhubung terus menerus dengan nilai-nilai Ilahiah dan Profetik yang transenden. 

Kedermawanan bahkan pada musuh-musuhnya. Imam Husain memberi kesempatan berkali-kali kepada musuh untuk sadar dan memaafkan. Pada tanggal 27 Dzulhijjah 60 H, rombongan tentara musuh yang dipimpin oleh Al Hurr tiba di Dzu Husm. Sebagian sahabat Imam Husain menganjurkan untuk menyerang, karena mereka dalam keadaan lemah dan haus. Namun Imam Husain as malahan memberi minum mereka semua, bahkan kuda-kudanya.  Kasih Sayang: Bahkan pada malam Asyura, Husain as menyuruh para pengikutnya pergi jika ingin menyelamatkan diri. Ini bukan perang ego, tapi cinta murni. 

Pemaafan yang indah. Komandan pasukan musuh yang menggiring Imam Husain as dan rombongan ke Karbala, pada Malam Asyura jatuh cinta pada Imam Husain as. Dan pada Hari Asyura, ia menunduk menghadap Imam dan mohon maaf dan mohon diijinkan berjuang bersama Imam. Imam Husain as tanpa ragu langsung memaafkan dan malah meminta komandan tersebut, – Al Hurr-, tidak menunduk. Mereka yang sudah kembali ke jalan yang benar tidak perlu malu dan tidak perlu menunduk. 

Karbala dan Asyura adalah pentas pentingnya dialog , diskusi dan upaya terus menerus pencerahan pemikiran. Imam Husain as berdialog panjang dengan musuh, menjelaskan posisinya dan menyerukan kebenaran. Di Hari Asyura, tercatat beberapa kali Imam berdialog dan menyampaikan berbagai pesan-pesan suci penuh kasih ke tentara musuh. 

Pencerahan Ilmiah dan Spiritualitas: Doa Arafah dan khutbah-khutbah Husain sarat dengan kedalaman filsafat, cinta ilahi, dan makna hidup.Di tengah desing panah dan ribuan musuh, Imam Husain as dan rombongannya melakukan shalat Zuhur. Beberapa sahabat Imam Husain as terbunuh karena menjadi tameng hidup yang melindungi Imam Husain as yang sedang shalat.“

Konsistensi dalam menjalankan akhlak muhammadiyah dalam bentuk paling puncak. Di tengah kecamuk perang yang demikian dahsyat, Al Husain as masih mencoba untuk mengupayakan bayinya beroleh air. Ia sampaikan berupaya berdialog dengan pihak musuh dan kembali ia mencoba mengetuk nurani dan potensi empatik terdalam yang ada dalam diri mereka. Dan tentara musuh membalas dengan panah yang membuat bayi tersebut terbunuh dan mencapai syahadah.

Ketangguhan, kesabaran , kedermawanan, akhlaqul karimah, ketaatan padaNya, tidak tunduk pada kezaliman yang dibangun oleh Nabi saw, disempurnakan oleh Ali as, dikuatkan oleh Fathimah as, diteruskan oleh Hasan as, dan dipuncakkan oleh Husain as di Karbala, adalah sistem etika manusia yang mengarah ke summum bonum—kebaikan tertinggi. Dalam pandangan Prigoginian, sistem ini adalah sistem terbuka spiritual yang mampu menyerap kekacauan dan mentransformasikannya menjadi lompatan moral. Sunnah Nabawiyah berupa ketangguhan, kesabaran , kedermawanan, akhlaqul karimah, ketaatan total padaNya, tidak tunduk pada kezaliman sungguh adalah kekuatan yang mampu mendisipasi , menyerap berbagai energi negatif dari kuasa hegemonik Bani Umayah. Energi negatif hegemonik yang dibangun oleh Muawiyah dan dilanjutkan oleh Yazid merupakan proyek sistemik pembusukan nilai Islam melalui penyelewengan kekuasaan, manipulasi agama, dan kekerasan terstruktur yang menjadikan kekuasaan dinasti sebagai tujuan tertinggi, bukan keadilan atau kebenaran ilahi.

Setelah terbunuhnya Utsman, Muawiyah secara licik memanfaatkan kematian khalifah itu untuk menggugat kepemimpinan Imam Ali as, bukan demi keadilan, melainkan untuk melanggengkan ambisi pribadi, dengan menolak berbai’at, menyulut Perang Shiffin, dan mengangkat Alquran di ujung tombak untuk mengecoh opini umat. Ia membangun infrastruktur propaganda besar-besaran yang menyebarkan kebencian terhadap keluarga Nabi, termasuk menjadikan kutukan terhadap Imam Ali sebagai kebijakan resmi dari mimbar-mimbar jum’at selama puluhan tahun. Muawiyah juga menginisiasi labelisasi sesat terhadap pengikut Ahlul Bayt, seperti menyebut mereka “syi’ah rafidhah” yang membuka jalan bagi persekusi brutal terhadap para sahabat setia Nabi saw,ataupun Imam Alli as seperti Hujr bin Adi yang dibunuh bersama para sahabatnya karena menolak mencaci Ali, Amr bin Humq yang dikejar hingga tewas, dan Maitsam at-Tammar yang disalib karena kesetiaannya pada Ahlul Bayt. Yazid mewarisi energi negatif ini dan membawanya ke puncaknya: ia memaksakan bai’at atas kekuasaannya yang batil, mengancam, menangkap, dan menindas para tokoh suci, hingga akhirnya membantai Imam Husain as dan keluarganya di Karbala—sebuah tragedi yang bukan hanya pembunuhan jasad, tapi pembantaian terhadap jiwa Islam itu sendiri. Penerus mereka seperti Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi melanjutkan pola teror ini dengan genosida terhadap ribuan pengikut Ahlul Bayt, menumpahkan darah atas nama stabilitas, dan mengubah Islam menjadi instrumen dominasi negara, bukan jalan pembebasan ruhani. Energi negatif hegemonik ini tidak sekadar menindas tubuh-tubuh yang saleh, tapi berusaha memadamkan cahaya hakikat Islam yang dibawa Nabi saw dan keluarganya as. Dan , Imam Husain as bangkit, dengan darah spiritual Akhlaq Nabawiyah yang sempurna. 

Keindahan laku dan laga Sunnah Nabawiyah dari Imam Husain as dan para pembelanya berupa ketangguhan, kesabaran , kedermawanan, akhlaqul karimah, ketaatan total padaNya, tidak tunduk pada kezaliman , keberanian serta kesiapan untuk berkorban (itsar) demi kebahagiaan sesame, ternyata mampu mendisipasi dan meruntuhkan struktur hegemoni yang dibangun Bani Umayah. Dan selanjutnya juga darah Al Husain as dan Cinta pada Al Husain serta semangat Karbala ternyata menjadi stuktur disipatif yang mempu mendisipasi dan meruntuhkan struktur hegemoni dari kuasa-kuasa pongah di sepanjang sejarah manusia. 

Nilai-nilai seperti keadilan ilahiah (adl), cinta universal (rahmah), pengorbanan tanpa pamrih (itsar), dan penolakan terhadap hegemoni zalim adalah prinsip-prinsip disipatif yang menjadikan Islam bukan sistem stagnan, tapi sistem hidup yang terus berevolusi secara spiritual.

Membaca Karbala melalui Prigogine kita menemukan siluet baru: bahwa tragedi bisa menjadi sumber tatanan yang lebih tinggi dan lebih indah, bahwa kesabaran dan cinta bisa menciptakan sejarah baru. Karbala mengajarkan bahwa bahkan dalam kegaduhan chaos yang trgis, cahaya bisa menyala indah. Dan dalam bahasa Prigogine: out of chaos, a new order emerges. Maka, kita pun diajak menjadi bagian dari struktur disipatif itu—menolak stagnasi, menghadapi kekacauan, dan melampaui diri menuju kemanusiaan yang lebih luhur. Dinisbatkan pada Al Husain, sebuah ucapan inspiratif, “ Jika Agama Muhammad tidak tegak kecuali dengan darahku, wahai pedang-pedang ambilah aku”. Apakah kita memilih menjadi bagian dari prinsip disipatif, – mengorbankan segalanya bersama Al Husain as- atau memilih berpangku tangan dan tidak ikut membela Al Husain as? Jawabannya ada pada kita masing-masing.

Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button