Filosofi Kenabian: Jalan Cahaya dari Langit ke Bumi

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D., Anggota Dewan Syura IJABI
Di sepanjang sejarah manusia, sosok nabi selalu hadir sebagai cahaya di tengah kegelapan zaman. Mereka bukan sekadar tokoh agama atau pembawa wahyu, tapi juga pembimbing moral, guru peradaban, dan pemantik kesadaran spiritual umat manusia. Dalam pandangan filsafat, kenabian bukan hanya soal komunikasi dengan Tuhan, melainkan juga tentang makna terdalam eksistensi manusia, tujuan kehidupan, dan arah evolusi sejarah.
Apa itu kenabian? Secara sederhana, kenabian adalah kondisi istimewa yang diberikan Tuhan kepada individu pilihan untuk menerima dan menyampaikan pesan Ilahi atau wahyu kepada umat manusia. Tapi dalam pendekatan filosofis, kenabian tak berhenti pada dimensi religius semata. Ia menjadi pusat perbincangan tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.
Filsuf-filsuf besar Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Mulla Sadra melihat kenabian sebagai fenomena rasional sekaligus spiritual. Artinya, kenabian tidak bertentangan dengan akal sehat—bahkan menjadi puncak dari kesempurnaan akal dan jiwa manusia.
Kenapa manusia butuh Nabi? Manusia memiliki akal, tapi akal saja tidak selalu mampu menjangkau seluruh kebenaran secara utuh, apalagi dalam hal yang menyangkut nilai-nilai absolut seperti keadilan sempurna, kasih sayang universal, atau hakikat akhirat. Di sinilah kenabian berperan.
Filsafat kenabian menegaskan bahwa: akal butuh wahyu sebagai penyempurna, moralitas butuh contoh nyata, dan sejarah butuh pemandu.
Nabi bukan hanya penyampai perintah Tuhan, tapi juga menjadi teladan hidup: bagaimana menanggapi kebencian dengan cinta, keserakahan dengan kedermawanan, dan kezaliman dengan keadilan.
Nabi sebagai cermin kesempurnaan manusia. Dalam filsafat Islam klasik, kenabian dianggap sebagai bentuk tertinggi dari kesempurnaan eksistensial manusia. Al-Farabi, misalnya, menggambarkan nabi sebagai orang yang tidak hanya memiliki rasio tinggi, tetapi juga daya imajinasi luar biasa, sehingga bisa menangkap bentuk-bentuk Ilahi dalam bentuk simbolis dan menyampaikannya kepada masyarakat.
Mulla Sadra, dalam filsafatnya, menekankan bahwa kenabian adalah hasil dari kesucian jiwa dan kekuatan spiritual yang melampaui batas dunia materi. Kenabian bukan sekadar pemberian, tapi juga buah dari perjalanan spiritual dan pencapaian eksistensial.
Filosofi kenabian tidak hanya menyoal dimensi metafisik, tapi juga menyoroti peran sosial-politik nabi. Seorang nabi hadir untuk: menghapus kezaliman, membangun masyarakat adil, dan menghidupkan kesadaran kolektif akan Tuhan dan sesama.
Nabi bukan pembawa kekuasaan, tapi penata peradaban. Ia bukan penguasa yang menindas, tapi pemimpin yang melayani.
Apakah kenabian bisa terus hidup? Meski tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad saw dalam pandangan Islam, filsafat kenabian tidak mati. Ia tetap hidup dalam bentuk warisan intelektual, spiritual, dan moral yang diturunkan kepada para manusia-manusia suci, alim, adil, dan bijak yang menjaga nyala cahaya kenabian di zaman modern.
Kenabian mengajarkan bahwa setiap manusia punya potensi suci. Bahwa hidup bukan sekadar soal duniawi, tapi juga perjalanan menuju keabadian. Dan bahwa kebenaran bukan milik mereka yang kuat, tapi mereka yang berserah, jujur, dan adil.
Filsafat kenabian adalah filsafat tentang cinta yang turun dari langit, tentang akal yang tercerahkan oleh cahaya Tuhan, dan tentang manusia yang mencari makna terdalam dari hidup.
Kenabian bukan hanya sejarah masa lalu—ia adalah inspirasi masa kini dan harapan masa depan.
