Gerbang Api: Iran dan Kelahiran Dunia Baru

“Eurasia is the chessboard on which the struggle for global primacy continues to be played… It is imperative that no Eurasian challenger emerges capable of dominating Eurasia and thus of also challenging America.”
— Zbigniew K. Brzezinski, The Grand Chessboard
Ketika peluru kendali melesat dari langit dan drone menghantam instalasi militer di Asia Barat, yang bergemuruh bukan hanya dentuman rudal, tetapi juga tabuh perang atas bentuk masa depan peradaban dunia. Konflik yang kini meletus antara Iran dan Israel bukan sekadar eskalasi rutin di wilayah yang sudah akrab dengan perang, melainkan kemunculan babak awal dari perebutan tatanan global baru. Ini bukan lagi perang dua negara, tetapi benturan dua poros sejarah: satu yang mempertahankan tatanan dunia unipolar, dan satu lagi yang mencoba membuka jalan bagi multipolaritas berbasis kedaulatan.
Iran telah menunjukkan kapasitas untuk bertahan dari serangan mendadak yang sangat kompleks, termasuk sabotase terhadap jaringan radar dan sistem komunikasi vital. Namun yang lebih mencengangkan bukan hanya kemampuannya memulihkan 85% kapasitas militernya dalam waktu singkat, melainkan daya balas ofensifnya yang berhasil membuat beberapa negara Eropa mendorong Israel agar menyampaikan pesan gencatan senjata ke Teheran dalam waktu kurang dari sehari. Iran tidak sekadar bertahan. Ia menegaskan dirinya sebagai simpul kekuatan tandingan di kawasan yang tak bisa lagi diremehkan.
Zbigniew Brzezinski dalam The Grand Chessboard menyatakan bahwa dominasi atas Eurasia adalah prasyarat untuk menguasai dunia. Iran, yang terletak di jantung geostrategis kawasan ini, kini menunjukkan bahwa ia bukan sekadar aktor regional. Ia menjadi bagian dari pergeseran besar dalam tatanan kekuasaan global. Dalam pandangan Paul Kennedy di The Rise and Fall of the Great Powers, kekuatan global tak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi oleh kombinasi daya tahan ekonomi, struktur sosial, dan kemampuan mengelola konflik internal. Iran, meski ditekan oleh sanksi bertubi-tubi dan gangguan dalam negeri yang dipicu oleh jaringan separatis, tetap mampu menjaga kohesi nasional dan stabilitas strategisnya.

Namun konfrontasi ini bukanlah tentang Iran sendiri. Serangan terhadap wilayahnya bukanlah sekadar aksi Israel, tetapi melibatkan infrastruktur pertahanan kolektif Barat: NATO, intelijen Amerika, dan sokongan diam-diam dari negara-negara Arab yang berkepentingan pada keberlangsungan hegemoni kawasan. Dengan demikian, pertempuran ini menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap sistem dunia yang sudah berlangsung lebih dari seabad. Henry Kissinger dalam World Order mengingatkan bahwa tatanan internasional hanya bertahan selama ia dianggap sah dan mewakili kepentingan kolektif aktor utama. Ketika satu pihak mendikte, dan pihak lain terus ditekan, yang tumbuh bukanlah keteraturan, melainkan pemberontakan terhadap legitimasi itu sendiri.
Iran bukan tanpa jaringan. Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, serta kelompok perlawanan di Gaza merupakan bagian dari jaringan perlawanan yang oleh Tim Anderson dalam Axis of Resistance disebut sebagai arsitektur independen kawasan terhadap kolonialisme dan dominasi asing. Yang dipertaruhkan bukan hanya wilayah atau pengaruh, tetapi eksistensi sebagai peradaban yang otonom—peradaban yang memiliki kosmologi, sistem nilai, dan kedaulatan yang tidak tunduk pada model politik liberal Barat. Ketika Gaza kembali ofensif, ketika Hizbullah tetap siaga di utara Israel, dan ketika Yaman menata ulang posisinya, yang terjadi adalah artikulasi kolektif dari sebuah wilayah yang menolak tunduk.
Banyak yang melihat Iran sebagai aktor tunggal, namun kekuatan sebenarnya terletak pada kemampuannya menyatukan semangat kolektif dari entitas-entitas yang secara struktural berbeda namun terhubung oleh satu misi historis: mengakhiri era dominasi sepihak. Ini yang menjelaskan mengapa narasi bahwa Iran sendirian tidak lagi relevan. Ia didukung oleh rakyatnya, oleh jaringan militan yang telah matang secara taktis, dan oleh struktur ideologis yang tidak mudah diintervensi oleh propaganda Barat. Kekuatan ini bukan dibangun dalam semalam, melainkan melalui puluhan tahun perang, blokade, dan isolasi—yang justru menguatkan, bukan melemahkan.
Namun titik krusial dari perang ini bukan pada medan tempur konvensional, melainkan pada posisi Rusia dan Cina. Jonathan D. T. Ward dalam China’s Vision of Victory menggambarkan ambisi Cina menuju supremasi global pada tahun 2049. Tapi visi itu mustahil tercapai jika jalur energi Cina di Timur Tengah dikontrol oleh kekuatan yang berseteru dengannya. Ketegangan di Laut Arab dan Samudra Hindia—yang makin memanas sejak konflik ini pecah—adalah sinyal bahwa jalur suplai Cina dapat diputus kapan saja oleh strategi maritim AS. Jika Iran tumbang, Cina menjadi target berikutnya—bukan hanya dalam perdagangan, tapi juga dalam geopolitik.

Bagi Rusia, konflik ini menjadi kelanjutan dari tekanan bertubi-tubi sejak aneksasi Krimea hingga perang di Ukraina. Brzezinski telah lama mengingatkan bahwa mencegah munculnya kekuatan tandingan di Eurasia adalah prinsip utama geopolitik AS. Jika Iran dikalahkan, maka Moskow kehilangan salah satu benteng strategisnya di selatan. Serangan drone terhadap pangkalan pembom strategis Rusia baru-baru ini menandai bahwa batas merah tak lagi dihormati oleh Barat. Dalam konteks ini, Rusia tidak memiliki banyak pilihan selain ikut serta secara aktif dalam menjaga keberlangsungan perimbangan kekuatan.
Namun partisipasi Rusia dan Cina tak boleh hanya berhenti pada pernyataan diplomatik. Dunia sedang bergerak cepat ke arah multipolaritas, dan jika mereka hanya berdiri sebagai pengamat, hasil akhirnya tidak akan menyisakan tempat bagi mereka. Multipolaritas bukanlah hadiah, melainkan hasil dari keterlibatan langsung dalam restrukturisasi tatanan. Iran sudah mengambil risiko itu. Sekarang giliran Moskow dan Beijing untuk menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar penerima manfaat, tetapi juga penentu arah sejarah.
Henry Kissinger menulis bahwa tatanan yang rapuh hanya akan bertahan selama para aktor besar sepakat menjaganya. Ketika kesepakatan itu hancur, dunia memasuki fase baru—fase tanpa kepastian, tetapi juga penuh kemungkinan. Dunia saat ini tidak hanya menghadapi perang dalam pengertian fisik, tetapi juga perang dalam ranah informasi, kognitif, ekonomi, dan simbolik. Iran berdiri di semua medan itu, dengan seluruh tekanan diarahkan padanya. Tapi justru di tengah tekanan itu, Iran membuktikan bahwa ia tidak akan runtuh hanya karena ditakdirkan untuk kalah.
Kini, garis besar dari benturan peradaban itu mulai tampak. Amerika Serikat dan Israel, bersama mitra Eropanya, tidak hanya berusaha menghentikan Iran secara militer, tapi juga berusaha menjaga narasi lama tentang siapa yang berhak menentukan arah dunia. Namun dunia tidak bisa terus menerus ditentukan oleh yang paling bersenjata. Jika Iran berhasil bertahan dan memenangkan pertempuran ini, bukan hanya satu negara yang akan berubah. Yang akan berubah adalah arah sejarah itu sendiri. Dan jika Rusia dan Cina tidak mengambil peran yang tegas sekarang, mereka harus siap menjadi penonton yang terlambat dalam pesta pembagian ulang kekuasaan dunia.
Iran kini berdiri di jantung sejarah. Ia bukan hanya sedang mempertahankan wilayah, tetapi sedang menulis ulang makna perlawanan, kedaulatan, dan masa depan. Dunia baru mungkin tidak akan lahir dari meja diplomasi atau forum internasional, tetapi dari reruntuhan Damaskus, dari gurun Yaman yang menyala, dan dari bunker bawah tanah di Gaza yang tak kunjung sunyi. Dunia baru itu sedang dibentuk bukan oleh kekuatan industri semata, tapi oleh keberanian untuk melawan dan bertahan. Dan dalam dunia yang haus akan keadilan, Iran kini berdiri bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai penanda awal dari suatu dunia yang mungkin lebih adil—meski dibayar dengan harga yang sangat mahal.
Senin, 16 Juni 2025

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT