Imam Hasan as, Duka di Pihak Kebenaran, Luka di Pihak Ketulusan

Oleh Salim Muhsin BSA
Jika sejarah adalah medan pertarungan untuk berebut peran antara kata dan kekuasaan, maka nama Imam Hasan bin Ali as. adalah salah satu yang paling sering dipelintir. Putra sulung dari Ali bin Abi Thalib as dan Fathimah az-Zahra as serta cucu pertama Nabi Muhammad saw ini, justru menjadi korban fitnah sejarah, fitnah yang tidak muncul dari rakyat awam, tapi dirancang oleh para penguasa dhalim saat itu.
Ibnu Abil Hadid, seorang ulama terkemuka, mencatat sebuah fakta yang mengguncang hati nurani: setelah apa yang disebut sebagai ‘Am al-Jama‘ah/عام الجماعة: tahun ketika umat Islam secara politik “disatukan”.
Di bawah pimpinan Muawiyah penguasa Bani Umayyah. Dia mengirim surat resmi ke seluruh gubernurnya di berbagai daerah. Yang Isinya: “Berlepas diri dari siapa pun yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab (Ali) dan Ahlul Bait-nya.”
Dari surat itu, para khatib mulai naik ke mimbar-mimbar, tidak untuk menyebar ilmu, tapi untuk menyebar kebencian kepada keluarga Rasul saw.
Ali dicaci, Ahlul Bait dihina, dan Hasan menjadi sasaran tuduhan keji.
Imam Hasan, harta, wanita dan narasi jahat penguasa
Imam Hasan as bukan hanya dituduh sebagai “lemah”, tapi juga dituduh cinta dunia. Ada yang menyebarkan cerita bahwa ia melakukan perjanjian damai (sulh) dengan Muawiyah karena tergoda harta. Bahkan lebih jauh lagi, disebutkan bahwa beliau menerima uang suap dan terus-menerus meminta uang kepada Muawiyah.
Tak cukup sampai di situ, karakter suci cucu Nabi ini difitnah sebagai pengejar wanita, bahkan digambarkan keluar masuk jalan-jalan kota hanya untuk mencari perempuan. Sebuah ucapan palsu disebarkan atas namanya:
“Siapa di antara kalian wahai para wanita yang mau menikah denganku? Aku adalah cucu Rasulullah.”
Padahal sejarah mencatat, setiap pernikahan beliau punya alasan sosial dan strategi politik hanya untuk mempererat umat dan untuk menjaga risalah Islam, bukan karena nafsu.
Ahlulbait dan dinasti politik
Ahlulbait dituduh yang pertama kali menjadikan dinasti dalam Islam, dengan diangkatnya Imam Hasan as setelah ayahnya. Padahal Imam Ali as tidak mengangkat Imam Hasan as sebagai khalifah/pemimpin politik setelah beliau, tapi kaum muslimin khususnya yang ada di Kufah dan Madinah yang membaiatnya, tanpa paksaan dari ayahnya.
Imam Ali as tidak pernah menunjuk Imam Hasan as secara resmi sebagai pengganti pemimpin politik. Namun, umat mengenal kapasitas, ketakwaan, dan hak Imam Hasan as. sebagaimana mereka mengenal hak Imam Ali bin Abi Thalib as sebelumnya.
Baiat tersebut bukan hasil warisan kekuasaan, tetapi kehendak mayoritas umat saat itu yang merindukan kelanjutan kepemimpinan yang adil.
Namun sayang ketidakadilan itu berlanjut hingga kini, nyaris mayoritas sejarawan tidak memasukkan Imam Hasan as sebagai Khulafa rosyidin yang ke lima, malah sebagian mereka meletakkan Umar bin AbdilAziz yang ke lima bukan Hasan bin Ali.
Ketika setia kepada Ahlulbait dianggap ancaman
Saat kebenaran dibungkam, dan pengkhianatan dipeluk maka menjadi betapa jauhnya umat dari kebenaran saat itu, hingga menjadi pengikut setia Ahlulbait dianggap lebih menakutkan daripada menjadi orang kafir tak bermoral.
Mereka yang berani menunjukkan simpati kepada Imam Hasan as atau Ahlul Bait sering kali diancam, diawasi, bahkan dibunuh secara misterius.
Ziyad bin Abih, tangan kanan Muawiyah di Kufah dan Basrah, terkenal sebagai algojo yang tega membunuh para simpatisan Ahlul Bait, bahkan hanya karena ucapan samar, jika yang diganggu adalah orang biasa, kasusnya mengalir biasa saja. Tapi jika itu simpatisan Imam Hasan as, mereka disingkirkan secara senyap alias dibunuh.
Mengapa Imam Hasan Berdamai?
Perjanjian damai (sulh) yang dilakukan Imam Hasan as bukan karena cinta dunia, tapi karena cinta umat. Ia tahu, jika ia memaksakan perang, maka akan banyak darah tumpah antara kaum muslimin, bukan hanya darah musuh, tapi juga darah mukminin pengikut setia Ahlulbait. Beliau melihat bahwa perang akan menghancurkan Islam dan nilai-nilai keislaman yang diperjuangkan.
Beliau melakukan sulh karena melihat bahwa Muawiyah hendak bergabung dengan Romawi untuk menghancurkan Islam. Dengan sulh berkat kecerdasan Imam Hasan as, Muawiyah membatalkan rencana jahat itu.
Namun, sejarah yang ditulis oleh pena yang tunduk pada istana tak akan jujur mengisahkan segalanya. Yang muncul ke permukaan hanyalah cerita versi penguasa dengan narasi penghinaan: bahwa Imam Hasan as memilih damai karena cinta dunia, bukan karena cinta umat.
Ternyata kedholiman itu masih ada
Terdholiminya Imam Hasan as bukan hanya cerita masa lalu. Itu adalah pelajaran hidup tentang bagaimana kebenaran bisa diputarbalikkan, bagaimana pemilik cahaya bisa dituduh pembawa gelap, dan bagaimana diam yang penuh bijak bisa disangka lemah.
Bukankah hari ini hal serupa terjadi?
Di dunia yang sibuk membungkam pembela Palestina, yang membela keadilan justru lebih dicurigai daripada penjajah, yang menyuarakan hak disebut radikal, tapi mereka yang melakukan genosida disebut pembela demokrasi.
Hari ini, di zaman ketika opini lebih dipercaya daripada fakta, kisah Imam Hasan as menjadi cermin.
Kini, Gaza pun berjuang di tengah diamnya dunia. Tapi di balik keheningan itu, ada keteguhan yang tak tergoyahkan. Seperti Imam Hasan as, mereka memanggul luka dengan tenang, karena yang mereka jaga bukan sekadar tanah, tapi makna kemanusiaan.
Semoga bermanfaat