Khazanah

Ketika Tak Ada Lagi Aku: Abbas, Suluk, dan Kepasrahan yang Membakar Langit

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

أَشْهَدُ أَنَّكَ لَمْ تَهِنْ وَلَمْ تَنْكُلْ

Aku bersaksi bahwa engkau tidak pernah lemah dan tidak berpaling.

وَأَنَّكَ مَضَيْتَ عَلَى بَصِيرَةٍ مِنْ أَمْرِكَ

Dan bahwa engkau melangkah maju dengan penuh kesadaran dan kejernihan hati.

iklan

مُقْتَدِيًا بِالصَّالِحِينَ

Mengikuti jejak orang-orang saleh.

وَمُتَّبِعًا لِلنَّبِيِيِنَ

Dan berpegang teguh pada jalan para nabi.

فَجَمَعَ اللهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ

Maka semoga Allah mengumpulkan kami bersamamu,

وَبَيْنَ رَسُولِهِ وَأَوْلِيَائِهِ

Dan bersama Rasul-Nya serta para kekasih-Nya,

فِي مَنَازِلِ الْمُخْبِتِينَ

Di tempat tinggal orang-orang yang hancur hatinya di hadapan Tuhan.

Ziarah ini tidak hanya rangkaian kata, tetapi cermin bagi siapa pun yang mendengarnya. Ketika Imam Ja‘far ash-Shadiq meriwayatkan doa ini, ia menyematkan satu kalimat penutup yang mengguncang: fī manāzili al-mukhbitīn — di kediaman orang-orang yang tunduk hatinya, yang hancur jiwanya di hadapan Tuhan. Bila ini adalah doa yang ditujukan kepada Abal Fadhl al-‘Abbas, maka sungguh Abbas bukan sekadar pemberani atau pembela kebenaran, tapi ia telah mencapai maqam para mukhbitīn — satu derajat yang dalam dan nyaris tak terlukiskan dengan kata-kata biasa.

Dalam sebuah riwayat, Imam Zainal Abidin pun memuliakan pamannya dengan pujian yang membuat langit pun bergetar: Semoga Allah merahmati pamanku Abbas! Ia korbankan dirinya demi saudaranya yang suci, bertempur hingga tangannya terpotong, namun jiwanya tetap menjulang tinggi. Allah anugerahkan kepadanya dua sayap cahaya; ia terbang bersama para malaikat, seperti Ja‘far yang merdeka. Dan pada Hari Kembali, para syuhada menatap tempatnya, tapi tak semua mampu menjangkaunya—itu derajat para pecinta sejati.

Apa sebenarnya makna mukhbitīn?

Secara etimologis, akar kata kha-ba-ta (خ ب ت) mengandung makna merendah, melunak, atau membenam ke bawah. Al-khabt adalah tanah yang lembut dan rendah, yang bisa menyerap air, tidak menolaknya, dan tidak memantulkannya kembali. Maka mukhbit adalah orang yang jiwanya seperti itu: tidak membangkang pada ketetapan Allah, tidak keras, tidak mengangkat dirinya lebih tinggi dari tanah tempat ia berasal.

Al-ikhbāt berarti al-khushū‘ wa at-tadhallul — ketundukan dan kerendahan hati yang mendalam, namun bukan dalam arti sosial, melainkan spiritual. Dalam konteks ini, seseorang yang mukhbit tidak sedang mengalah atau tunduk kepada makhluk, melainkan sepenuhnya pasrah kepada Tuhan, dengan rasa cinta dan kesadaran. Ia tunduk bukan karena lemah, tapi karena menyadari kebesaran dan keindahan Sang Pencipta.

Lebih lanjut, ikhbāt adalah ketenangan jiwa yang datang dari rasa takut sekaligus rindu kepada Tuhan. Ia bukan sekadar sikap tubuh, tapi keadaan batin yang telah mencair di hadapan kemuliaan Ilahi. Dalam istilahnya: ikhbāt huwa sukun al-qalb ilā Allāh ma‘a at-tadhallul. Sebuah ketenangan hati yang hancur tapi tenang.

Mutawāḍhi‘īn dan mukhbitīn sering dianggap serupa, tetapi keduanya berbeda dalam kedalaman maknanya. Tawāḍhu‘ lebih mengacu pada sikap rendah hati yang tampak dalam tindakan sosial — tidak menyombongkan diri, menghormati sesama, dan menghindari kesombongan lahiriah. Sedangkan ikhbāt adalah keadaan hati yang tidak memiliki keakuan sama sekali. Mutawāḍhi‘ bisa menunduk dengan tubuh, tapi mukhbit menunduk dengan seluruh jiwanya. Mutawāḍhi‘ adalah bunga dari etika, sedangkan mukhbit adalah buah dari cinta yang telah masak dan meledak di dalam dada.

Allah memuji orang-orang seperti ini dalam firman-Nya:

وَلِيَعْلَمَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلْعِلْمَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُواْ بِهِۦ فَتُخْبِتَ لَهُۥ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَهَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ

Agar orang-orang yang diberi ilmu mengetahui bahwa (Al-Qur’an) itu benar dari Tuhanmu lalu mereka beriman kepadanya, dan hati mereka menjadi tunduk (mukhbit) kepadanya. Dan sungguh, Allah akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.
(QS Al-Hajj: 54)

Dan juga dalam ayat:

وَبَشِّرِ ٱلْمُخْبِتِينَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَٱلصَّـٰبِرِينَ عَلَىٰ مَآ أَصَابَهُمْ وَٱلْمُقِيمِى ٱلصَّلَوٰةِ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ

Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk kepada Allah (mukhbitīn), yaitu mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, yang sabar atas musibah yang menimpa mereka, yang mendirikan salat, dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS Al-Hajj: 34)

Dari dua ayat di atas,  nampaknya mukhbitīn muncul bukan sebagai awal perjalanan ruhani, melainkan sebagai puncak dari iman dan taslim. Iman membuat seseorang yakin, taslim membuatnya patuh, tapi hanya ikhbāt yang membuat seseorang melebur dalam kehendak-Nya — sebagaimana tanah melebur hujan dan tak lagi menyisakan apa-apa kecuali kesuburan dan kehidupan.

Lalu, bagaimana seseorang dapat mencapai maqam mukhbitin?

Perjalanan ini tidak singkat, namun telah dijelaskan oleh para arifin melalui tahapan sayr wa suluk — jalan spiritual penyucian diri:

1. Al-Mabda’ (Titik Awal): Kesadaran akan kelemahan diri dan kebutuhan akan bimbingan Ilahi. Ini adalah tempat seorang hamba mulai merasa kecil dan menunduk.

2. Al-Manzil (Tahapan Perjalanan): Proses pembersihan hati dari sifat-sifat buruk seperti kesombongan, iri hati, dan cinta dunia. Setiap noda batin harus diangkat agar cahaya bisa masuk.

3. Al-Wusul (Pencapaian): Mencapai kedekatan dengan Allah melalui cinta dan pengabdian. Di sini seorang hamba mulai mengenali Tuhan sebagai satu-satunya kekasih sejati.

4. Al-Fana’ (Peluputan Diri): Keadaan di mana ego lenyap, dan jiwa menyatu dengan kehendak Allah. Ia tidak lagi berkata “aku ingin”, tetapi hanya “apa yang Kau kehendaki, wahai Rabbku”.

Barangkali al-fana’ ini adalah maqam mukhbitin. Di mana manusia tidak hanya merendah di hadapan Allah, tapi benar-benar melebur dan lenyap di dalam-Nya. Dan Abbas telah menapaki maqam itu, hingga ziarahnya pun menutup dengan doa agar kelak kita dikumpulkan bersamanya — di tempat tinggal para jiwa yang hancur dan luluh dalam cinta kepada Tuhan.

Abal Fadhl Abbas menunjukkan tiga kilas dari karakter ini dengan gemilang.

Pertama, ketika ia memohon izin kepada Imam Husain untuk turun ke medan tempur. Ia tidak datang dengan semangat membara atau tuntutan darah, tapi dengan permohonan lembut penuh adab. Ia berkata, Wahai saudaraku, izinkan aku berperang, jiwaku tak tahan melihat mereka menghina dirimu. Itu adalah permintaan dari jiwa yang tidak terikat pada ego. Ia tidak merasa layak bertindak sebelum ada izin dari kekasih yang diridhoi Allah.

Kedua, ketika ia sampai di tepi Eufrat. Tangannya bisa mengambil air, matanya menatap beningnya. Dahaganya mendesak. Tapi ia berbisik dalam hati: Apakah aku akan meminum ini, sementara saudaraku Husain kehausan? Ia menumpahkan air itu. Itu bukan hanya kesetiaan — itu adalah ikrar cinta, bahwa bahkan nikmat Allah pun tidak akan ia sentuh jika itu berarti mendahului kekasihnya.

Ketiga, saat kedua tangannya tertebas dan ia jatuh ke tanah, kalimat yang keluar bukan seruan perang atau jeritan dendam. Ia hanya memanggil: Wahai saudaraku Husain, aku telah gagal menjaga panjimu. Ia tidak marah, tidak kecewa, tidak menyalahkan takdir. Ia hanya merasa belum cukup berarti. Ini bukan kelemahan, tapi kelembutan jiwa yang telah melampaui kemarahan dan keluhan.

Itulah Abbas. Ia bukan hanya singa Karbala, tapi juga tanah yang lapang, jiwa yang remuk dalam ridha, dan hati yang telah menjadi mukhbit. Maka tidak heran bila Imam menyebut namanya dalam ziarah, dan mendoakan kita semua kelak berkumpul bersamanya, fi manāzili al-mukhbitīn — di tempat tinggal orang-orang yang telah merobohkan keakuan mereka di hadapan Tuhan, dan yang dari kerendahan itulah, Allah angkat mereka setinggi langit. Dan, sesungguhnya, ini mengisyaratkan bahwa kita semua seharusnya mengikuti jejak ‘Abbas, dan berupaya dengan sekuat tenaga untuk menjadi mukhbitin yang rela mengorbankan segalanya untuk Kebenaran. 

ZIARAH MUKHBITIN : UNTUK TANGAN YANG TAK PERNAH MUNDUR

Wahai jiwa-jiwa yang gemetar dalam sujud,
Ketahuilah: dua tanganmu menyentuh tanah fana.
Namun Abbas—bulan malam Asyura—
menyerahkan dua tangannya pada takdir Ilahi,
tanpa keluhan, tanpa gentar,
dan dari luka itu menyala nyala jihad sejati!
Tangan demi tangan terpotong,
namun semangatnya tidak cacat barang secuil.
Abbas tetap Abbas:
gagah seperti janji Allah dalam dada para kekasih.
Singa dari Bani Hasyim,
yang menyimpan nyala Asma-Nya dalam urat-urat baja.
Ia tak berkata mundur saat tangan demi tangan tanggal,
Ia tak berpaling meski semesta membalik wajahnya.
Ketika dunia mencatat luka sebagai kehinaan,
Abbas menjadikannya jembatan menuju kefanaan.
Fana… ya, fana sempurna!
Abbas adalah bayang dari Yang Tak Terbatas,
berjalan bukan untuk menang,
tapi untuk menegakkan kemuliaan yang tak pernah dimasuki kekalahan lagi
Ia tak hanya membawa air—
tapi membawa air maknawi:
air cinta yang mengalir dari Qalbu Tuhan
menuju kemah Fatimah dan anak-anak langit.
Ketika anak-anak ketakutan dan malam dingin,
Abbas menanggung dunia pada kedua lengannya
—lalu satu—
—lalu tak bersisa—
Namun yang tak pernah pergi: keberanian dan cahaya!
Ia tidak bertempur karena benci,
Ia bertempur karena cinta.
Ia tidak melawan karena dendam,
Ia melindungi karena adab.
Abbas adalah Suluk dalam kilatan pedang.
Abbas adalah Fana dalam bising panah.
Abbas adalah tangis rahasia para arifin
yang tahu bahwa perlindungan terhadap Cucu Nabi
lebih suci dari seluruh kerajaan dunia!
Wahai semesta!
Catatlah: tangan Abbas tak lagi ada,
namun dari kedua kucurannya tumbuh pohon keberanian
yang tak pernah layu oleh sejarah.
Ia adalah nasihat nyaring bagi para pencinta:
Serahkan tubuhmu pada luka,
dan jiwamu akan dibebaskan oleh Cahaya.
Ia adalah peringatan bagi umat lalai:
titik darah terakhir adalah persembahan agung
bagi Insan Kamil dari keturunan Nabi.
Bangkitlah, wahai umat yang tertidur!
Abbas telah tinggalkan jejaknya di Karbala.
Kini giliranmu menyeret tubuh luka
untuk membawa air
bagi zaman yang kehausan akan kebenaran.

Wa mâ taufîqî illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unîb

Bandung, 19 Muharram 1467 H

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button