✍ Oleh: Muhammad Shalawat
Dalam kitab-kitab Sunni yang menjadi sumber primer di kalangan mereka seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar dan Syu‘ab al-Iman li al-Baihaqi, terdapat hadis shahih berikut ini:
من أطاعني فقد أطاع الله، ومن يعصني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني
Siapa yang mentaatiku, maka ia telah mentaati Allah. Siapa yang membangkang padaku, maka ia telah membangkang pada Allah. Siapa yang mentaati amir (pemimpin), maka ia telah mentaatiku. Siapa yang membangkang pada amir, maka ia telah membangkang padaku
Menarik. Hadis tersebut mengafirmasi adanya sosok amir (pemimpin) yang mana ketaatan dan pembangkangan kepadanya disandingkan nilai/bobotnya dengan ketaatan dan pembangkangan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW. Siapakah amir yang memiliki kedudukan seperti ini? Selain itu, apakah masuk akal kalau amir yang dimaksud itu tidak ma’shum (yakni tidak terjaga dari segala macam dosa dan kesalahan), padahal ketaatan dan pembangkangan kepadanya disandingkan dengan ketaatan dan pembangkangan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya? Bukankah ini menunjukkan kedudukan sang amir yang dimaksud memang sangat istimewa, teramat tinggi dan mulia?
Ternyata di kitab Sunni ada hadis lain yang redaksinya mirip, dan memperjelas siapa sosok amir yang dimaksud. Dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya al-Hakim jilid 3, halaman 334, tercatat hadis dengan sanad (jalur periwayatan) yang sampai kepada Abu Dzar bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصى الله، ومن أطاع عليا فقد أطاعني، ومن عصى عليا فقد عصاني
Siapa yang mentaatiku, maka ia telah mentaati Allah. Siapa yang membangkang padaku, maka ia telah membangkang pada Allah. Siapa yang mentaati ‘Ali, maka ia telah mentaatiku. Siapa yang membangkang pada ‘Ali, maka ia telah membangkang padaku
Hadis ini statusnya shahih.
Dari hadis tersebut kita mendapat rumus dan kesimpulan berikut :
1. Mentaati Imam ‘Ali as = mentaati Rasulullah Muhammad SAW = mentaati Allah SWT
2. Membangkang kepada Imam ‘Ali as = membangkang kepada Rasulullah Muhammad SAW = membangkang kepada Allah SWT
3. Tidak benar kalau prinsip Muslim Syi‘ah dalam mentaati para imam Ahlul Bait as itu diposisikan berhadap-hadapan dengan ketaatan pada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW. Sebab—berdasarkan hadis shahih di kitab Sunni sendiri—pada hakikatnya ketaatan pada Tuhan, nabi dan imam merupakan satu kesatuan ketaatan yang tak dapat dipisahkan
4. Tidak tepat juga kalau masih butuh dijelaskan bahwa ketaatan pada para imam Ahlul Bait as itu bersyarat yakni harus sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebab dalam hadis tersebut sudah terjelaskan secara implisit (tersimpulkan dengan sendirinya, tersirat atau terkandung halus di dalamnya) bahwa imam pasti dan mutlak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, alias dengan sendirinya sudah mencakup jaminan akan kesesuaiannya sehingga tidak butuh lagi penjelasan bahwa ketaatan itu bersyarat dan syaratnya harus begini dan begitu. Karena kalau tidak dipahami demikian, lantas untuk apa ketaatan dan pembangkangan kepada sang imam (amir) disandingkan dengan ketaatan dan pembangkangan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW?
Oh ya, hemat kami, hadis di atas tidak hanya mengenai ketaatan pada satu sosok amir (pemimpin) yaitu Imam ‘Ali as, melainkan lebih dari satu sosok. Tentunya ini bukan klaim tanpa dasar yang kuat. Karena dalam hadis-hadis lain yang statusnya kuat disebutkan amir itu berjumlah 12 sosok. Berikut ini di antara hadis-hadis yang dimaksud—masih bersumber dari kitab-kitab Sunni—:
Dalam Sunan al-Tirmidzi jilid 4, halaman 80:
قال رسول الله (صلى الله عليه وآله وسلم): يكون من بعدي اثنا عشر أميرا
Rasulullah SAW bersabda: Sepeninggalku ada 12 amir
Hadis tentang adanya 12 amir bahkan disampaikan Nabi Muhammad SAW ketika haji wada’ sebagaimana tercatat di kitab Musnad Ahmad jilid 34, halaman 413 berikut ini:
عن جابر بن سمرة السوائي قال سمعت رسول الله (صلى الله عليه وآله وسلم) يقول في حجة الوداع لا يزال هذا الدين ظاهراً على من ناوأه ولا يضره مخالف ولا مفارق حتى يمضي من امتي إثنا عشر أميراً
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah al-Suwaiy, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda saat haji wada’: Agama ini akan senantiasa jelas/tampak terhadap pihak yang memusuhinya, agama ini tidak tercancam bahaya oleh pihak yang menyelisihnya dan memisahkan diri darinya hingga berlalu dari umatku 12 amir
Dalam al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabrani jilid 2, halaman 253:
عن جابر بن سمرة قال: كنت مع أبي ورسول الله (صلى الله عليه وآله وسلم) يخطب فقال: لا تبرحون بخير ما قام عليكم اثنا عشر أميرا
Dari Jabir bin Samurah yang berkata: aku pernah bersama ayahku di mana saat itu Rasulullah SAW sedang berkhutbah, beliau bersabda: Kalian (yaitu umat ini) tidak akan pernah berpisah dengan kebaikan selama 12 amir masih tegak atas kalian
Perhatikan dalam hadis-hadis ini juga digunakan kata “amir” sebagaimana hadis pertama yang dikutip dalam tulisan ini. Berdasarkan hadis-hadis tersebut jelaslah bahwa 12 sosok amir ini yang menjadi perantara sehingga eksistensi dan kebenaran agama ini senantiasa berada dalam keselamatan. Berkat mereka pula umat ini senantiasa dalam kebaikan. Merekalah penjaga dan yang paling mengetahui amr Tuhan. Merekalah ulil amri yang sebenarnya. Rasulullah Muhammad SAW menyebut 12 sosok ini sebagai “amir” (pemimpin) tentu bukan tanpa makna, bukan tanpa maksud dan tujuan.
Bagaimana mungkin Rasululllah SAW mengucapkan kata-kata yang tidak berfaedah (dalam konteks ini kata “amir”)? Untuk apa 12 sosok ini disebut sebagai “amir” kalau bukan untuk ditaati? Dan mungkinkah diisyaratkan untuk ditaati kalau mereka sendiri tidak senantiasa berada dalam kebenaran? Untuk apa dalam hadis-hadis itu mereka disebut “amir” dan dikaitkan dengan urusan agama dan umat kalau bukan untuk menunjukkan dan menegaskan kedudukan mereka yang sangat teramat utama, penting, tinggi dan mulia. Belum lagi jika ditambah dan dikaitkan dengan hadis-hadis kuat lainnya yang menjelaskan kedudukan dan peran mereka secara eksplisit dan implisit.
Bagi kami, justru dengan adanya hierarki ketaatan itulah—yang mencakup wilayah-imamah 12 amir itu—keakuan atau ego intelektual dan spiritual manusia akan diuji. Diuji dengan sebenar-sebenarnya. Hierarki ketaatan itu hadir untuk meluruhkan keakuan atau ego manusia dalam berpengetahuan, berkesadaran dan dalam menghamba kepada-Nya. Penghambaan yang dituntut bukan pengambaan menurut yang “aku” inginkan, tetapi penghambaan sesuai yang “Dia” inginkan.
Yang dituntut dari manusia bagaimana agar dapat taslim dan ridha pada amr Tuhan. Tingkatan taslim dan ridha pada amr Tuhan itu ditentukan dengan seperti apa manusia terhadap amirnya. Sebab ada gradasi/tingkatan dalam berpengetahuan, berkesadaran dan penghambaan. Ketaatan pada 12 sosok amir itu membantu manusia menembus gradasi/tingkatan itu. Kehadiran mereka adalah karunia agung tak terkira agar manusia dapat menyempurna setinggi-tingginya.
Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan diluaskan berkahnya senantiasa. Shalawat dan mohon doanya.
MARKAZ ABNA AHLUL BAIT (AS)

Muhammad Bhagas
- Anggota Departemen Perkhidmatan dan Seni IJABI.
- Direktur Kajian Kang Jalal.




