Khazanah

Mengapa Kita Masih Menangis untuk Husain

Menyusuri Orbit Husaini 1.200 Triliun Kilometer Menuju Sunnah

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Bayangkan sebuah malam yang hening di Madinah, tahun 680 Masehi, ketika sinar matahari telah meninggalkan kota suci dengan lembut. Husain mengunjungi makam kakeknya, Kanjeng Nabi saw untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Ketika ia sampai, seolah malam menjadi siang. Subhanallah! Cahaya terang benderang ke luar dari makam suci tersebut. Beberapa saat kemudian cahaya itu kembali ke tempat asalnya. Ada apakah gerangan?

Malam berikutnya, kembali Husain mengunjungi makam kakeknya, mendirikan salat, dan dalam keadaan sujud, Husain tertidur sebentar. Husain melihat dirinya sudah berada di pangkuan kakeknya, di pangkuan Sayyidul Wujud Kanjeng Nabi Muhammad saw. Kakeknya menciumi bibirnya dan berkata: “ Semoga kakekmu jadi tebusanmu. Aku melihat darahmu ditumpahkan oleh orang-orang yang ingin memperoleh syafaatku, tapi mereka tidak akan pernah mendapatkannya. Wahai anakku , engkau akan segera akan bergabung dengan ayahmu, ibumu, saudaramu, yang dengan cemas menunggumu. Allah telah menyediakan tempat terhormat untukmu di Surga, yang tidak akan bisa kau capai kecuali lewat kesyahidan.” Al-Husain as segera terbangun dan menangis dengan pilu, dan ketika sampai di rumah, ia ceritakan mimpi tersebut pada keluarganya. (Amali, Ash-Shaduq, majelis 30, riwayat no. 1)

Mimpi Husain saat berziarah pada Nabi Saw itu tentu tak sekadar ramalan, melainkan undangan untuk sebuah perjalanan suci yang akan mengguncang jiwa umat hingga akhir zaman.

Husain bukan pemberontak yang haus kekuasaan. Ia adalah pewaris darah Nabi, penjaga api Sunnah Nabawiyyah, yang melihat agama kakeknya direnggut oleh ambisi politik Dinasti Umayyah. Di bawah Yazid bin Mu‘āwiyah, kekhalifahan telah kehilangan ruhnya. Ali bin Abi Thalib as, ayah Al-Husain as, dilaknat di mimbar-mimbar Jumat. Menurut penuturan Zamakhsyari, di masa bani Umayyah, dengan mengikuti tradisi sunah yang ditetapkan oleh Muawiyah, Imam Ali as dikutuk di atas 70.000 mimbar. ( Zamakhsyari, Rabi al-Abrar, jld.2, hlm.186) .

iklan

Banyak kasus penghinaan dan pelaknatan yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Imam Ali yang mana hal itu telah dimuat dalam sejarah; diantaranya, seperti yang dituturkan oleh Thabari, seorang sejarawan abad keempat Hijriah, Muawiyah ketika menunjuk Mughirah bin Syu’bah sebagai gubernur Kufah pada tahun 41 H, dia memintanya untuk bersikeras mencela Ali bin Abi Thalib dan memuji Utsman.  Dia juga menyarankan kepada Mughirah bin Syu’bah untuk mengasingkan sahabat-sahabat Ali.  ( Thabari, Tarikh al-Thabari, jld.5, hlm.253. Thabari, Tarikh al-Thabari, jld.5, hlm.253; Dzahabi, Tarikh al-Islam, jld.5, hlm.231) Menurut penuturan Dzahabi, seorang sejarawan Ahlusunah, dalam buku sejarahnya menyebutkan, Marwan bin Hakam yang menjadi penguasa Madinah pada tahun 41 H, dan selama enam tahun pemerintahannya, ia selalu mencela Ali as setiap hari Jumat di mimbarnya.( Dzahabi, Tarikh al-Islam, jld.5, hlm.23 )

Di zaman Yazid bin Mu’awiyyah, terjadi diskriminasi. Non-Arab, yang disebut mawālī, dipaksa membayar pajak ganda meski telah memeluk Islam, sebuah pengkhianatan terhadap hadis Nabi:

 يا أيُّها الناسُ إنَّ ربَّكمْ واحِدٌ ألا لا فضلَ لِعربِيٍّ على عجَمِيٍّ ولا لِعجَمِيٍّ على عربيٍّ ولا لأحمرَ على أسْودَ ولا لأسودَ على أحمرَ إلَّا بالتَّقوَى إنَّ أكرَمكمْ عند اللهِ أتْقاكُمْ الراوي : جابر بن عبدالله | المحدث : الألباني | المصدر : غاية المرام الصفحة أو الرقم: 313 | خلاصة حكم المحدث : صحيح التخريج : أخرجه أبو نعيم في ((حلية الأولياء)) (3/100)، والبيهقي في ((شعب الإيمان)) (5137)

“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, juga tidak ada keunggulan bagi non-Arab atas Arab, tidak pula bagi kulit merah atas kulit hitam, atau kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (Ghayat al-Maram, diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyat al-Awliya’ (3/100) dan Al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman (5137).

Jalaluddin Rakhmat, dalam disertasinya, menjelaskan bahwa Bani Umayyah mengganti  dan mendistorsi Sunnah Nabawiyyah—ajaran suci Nabi yang berpijar pada keadilan dan kasih sayang. Agama menjadi alat, bukan cahaya petunjuk.

Di Madinah, di depan gubernur Madinah, Husain menolak membaiat Yazid, yang ia pandang sebagai perusak agama. 

شَارِبُ ٱلْخَمْرِ، وَقَاتِلُ ٱلنَّفْسِ ٱلْمُحْتَرَمَةِ، مُعْلِنٌ بِٱلْفِسْقِ، وَمِثْلِي لَا يُبَايِعُ مِثْلَهُ

“Wahai Amir! Sesungguhnya kami adalah Ahlul Bait kenabian, tempat asal risalah (kerasulan), tempat lalu lalangnya para malaikat, dan tempat turunnya rahmat! Melalui kamilah Allah memulai (urusan ini), dan dengan kamilah Allah menyudahinya! Sedangkan Yazid adalah seorang laki-laki peminum khamr, pembunuh jiwa yang dihormati, terang-terangan dalam kefasikan! Orang seperti aku tidak akan membaiat orang seperti dia…. “ (Al-Khatib al-Khawarizmi, Maqtal al-Husayn). 

Untuk menghindari pertumpahan darah di tanah suci, ia berangkat ke Makkah. Di sana, surat-surat dari Kufah datang bagaikan angin harapan, mengundangnya memimpin perlawanan. Husain mengirim sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk menyelidiki. Muslim melaporkan antusiasme rakyat Kufa, namun pengkhianatan menanti. Ia dieksekusi oleh Ubaydullah bin Ziyad, gubernur Umayyah. (Munfarid & Alamdar, Karbala)

Husain tahu bahaya di depannya, namun hatinya tak pernah goyah. Dengan hanya tak banyak pengikut—keluarga, sahabat, hingga anak-anak—ia berjalan menuju Kufa. Di Karbala, padang pasir yang sunyi, pasukan Umayyah di bawah Umar bin Sa‘d mencegatnya. Pada 10 Muharram 61 Hijriah, Husain dan pengikutnya menghadapi puluhan ribu tentara. 

Husain tak bergeser, ia ke luar dan berjuang untuk menegakkan agama kakeknya. 

“Innī lam akhruj asyīran wa batharan, wa lā mufsidān wa lā ẓāliman, innamā kharajtu li-ṭalabi al islāḥi fī ummati jaddī.”

إِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَ شِرًا وَبَطْرًا، وَلَا مُفْسِدًا وَلَا ظَالِمًا، إِنَّمَا خَرَجْتُ لِطَلَبِ الإِصْلَاحِ فِي أُمَّةِ جَدِّي

Aku tidak keluar untuk kesia-siaan atau kezaliman; aku keluar semata-mata untuk menuntut perbaikan dalam umat kakekku. (Sumber: Sayyid Muhammad Husayn Husayni Tehrani, Lama’aat al-Husain)

Satu per satu, mereka syahid. Husain, terakhir, gugur dengan luka pedang, tetapi cahaya pengorbanannya menyala abadi.

Kepala Husain dipancang di atas tombak dan diarak-arak ke Kufa, lalu ke Damaskus, sebagai trofi kemenangan Yazid. Namun, di Kufa, tangisan rakyat bergema. Zainab, saudari Husain, dan Ali Zainal Abidin, putranya, menyebarkan kisah Karbala, menyalakan bara perlawanan. 

Zainab berdiri di istana Yazid, berucap, “Demi Allah, kau tak akan pernah bisa menghilangkan kami dari ingatan orang-orang, kau juga tak akan mampu menghancurkan wahyu kami…. Kekuasaanmu tak akan bertahan lama, orang-orang di majlismu akan segera tercerai berai.” (Bihar al-Anwar Juz 45) . Pemberontakan Tawabin di Kufah pada 685 M adalah buah dari luka Karbala. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 1408 H,jld 8, hlm. 276-280).  Berita itu menyebar ke Madinah, mengguncang hati umat, menjadikan Karbala simbol keadilan yang tak lekang.

Bumi berputar mengitari matahari. Zaman berganti. Sejak peristiwa Asyuro hingga hari ini , bumi sudah  mengitari Mentari menempuh lebih dari 1.200 trilyum km. Bagaimana kita menggabungkan diri kita dengan perjuangan Husain dan Zainab dan keluarga dan sahabat mereka yang suci dalam mempertahankan Islam Muhammadi dan melawan Islam Yazidi? Bagaimana kita menggabungkan diri dengan kafilah Husain dalam islah ummat Muhammad dan kembali pada Sunnah Nabawiyyah?

Psikologi modern menawarkan jawaban. Martin Hoffman, dalam Empathy and Moral Development (2000), menyebut air mata sebagai jembatan empati, menghubungkan kita dengan penderitaan Husain. Jean Decety dan Philip Jackson (2004) menunjukkan bahwa empati mendorong tindakan altruistik, seperti pemberontakan pasca-Karbala. Martin Heidegger, dalam Being and Time (1927), menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menuju kematian. Syahadah Husain mengajarkan kita memilih hidup dengan nilai, bukan mati tanpa makna. Ali Shariati, dalam The Sociology of Islam (1977), melihat tangisan ini sebagai revolusi spiritual, membangkitkan kesadaran melawan penindasan. Murtadha Muthahhari, dalam Islamic Thought (1982), menyebutnya ekspresi moral yang rasional, simbol keteguhan jiwa. 

Guru Bangsa KH. Jalaluddin Rakhmat, mengingatkan kita, seharusnya tangisan pada majelis duka Husain mengubah jiwa. Tangisan Husain seharusnya menghasilkan tahawwul. Tahawwul menurut ar-Rāghib al-Isfahānī berasal dari akar kata ح-و-ل yang berarti perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain, bukan hanya secara fisik, tetapi juga maknawi dan eksistensial. Dalam kitab al-Mufradāt, ia menjelaskan bahwa tahawwul mengandung unsur gerak dinamis, kesadaran, dan kekuatan untuk berpindah dari kondisi lama menuju realitas baru, sebagaimana tercermin dalam ungkapan “laa ḥawla wa laa quwwata illa billāh”. Maka, tahawwul tidak bersifat pasif, melainkan aktif dan spiritual, melibatkan kehendak dan tujuan luhur.

Dalam konteks Karbala, tahawwul menjadi simbol transformasi total umat manusia melalui peristiwa tragis namun agung. Tragedi itu bukan sekadar perlawanan politik, melainkan perubahan arah sejarah, kesadaran, dan nilai. Karbala mengubah penderitaan menjadi makna, kesedihan menjadi kekuatan, dan kematian menjadi kehidupan yang lebih tinggi. Imam Husain dan Ahlulbait tidak hanya mengalami perubahan keadaan, tapi mentransformasikan sejarah menjadi kesaksian ilahi. Tahawwul Karbala adalah pergantian ruhani umat dari kelumpuhan menjadi perlawanan, dari diam menjadi syahādah, dari dunia menjadi Tuhan.

Dari lensa post-strukturalis, Husain adalah tanda hidup. Husain benar-benar akan menjadi suar dalam kegelapan hegemoni kuasa, bila seseorang mengambilnya dengan sepenuh hati sebagai pelita dan tanda. 

Dalam kacamata Ferdinand de Saussure, Husain adalah signifier baru yang menunjuk pada signified Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyyah. Roland Barthes (Mythologies, 1957) akan melihat Karbala sebagai penghancuran mitos modern Umayyah, yang menormalkan pelaknatan Ali. Michel Foucault (Discipline and Punish, 1975) akan menyebut perjuangan Husain sebagai penolakan terhadap wacana hegemonik Umayyah, yang memaksakan Sunnah Sahabat. Jacques Derrida (Of Grammatology, 1967) akan memandang Karbala sebagai dekonstruksi narasi Umayyah, membuka ruang untuk kebenaran profetik. Jean-François Lyotard (The Postmodern Condition, 1979) akan melihatnya sebagai narasi lokal yang menantang metanarasi, sebuah transformasi postmodern yang plural.

Bayangkan kafilah Karbala sebagai musyawarah burung dalam puisi Fariduddin Attar, Mantiq-ut-Tayr. Seperti burung-burung yang mencari Simurgh, kafilah Husain berjalan menembus padang derita menuju kebenaran sejati. Dalam perjalanan itu, Husain adalah Hudhud, sang pemandu, yang mengajak umat Islam dan manusia menuju eksistensi sejati mereka melalui Sunnah Nabawiyyah. Di Karbala, ia dan pengikutnya tak menemui Simurgh dalam wujud duniawi, tetapi menembus langit tertinggi, mencapai hakikat ketuhanan. Tangisan kita untuk mereka adalah panggilan jiwa untuk mengikuti jalan itu, menuju cahaya Al-Qur’an dan Sunnah yang asli, yang tak pernah redup.

Tangisan untuk Husain bukan tanda lemah. Ia adalah bara yang tak pernah padam, sebagaimana sabda Nabi, “إِنَّ الْحُسَيْنَ مِصْبَاحُ الْهُدَى وَسَفِينَةُ النَّجَاةِ” — “Husain adalah pelita petunjuk dan perahu keselamatan” (Bihar al-Anwar, Al-Majlisi). Dari Madinah ke Karbala, dari Kufa ke Damaskus, kisah Husain mengalir, menyalakan hati umat. Ia mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan tak tertutup oleh derita, tetapi diterangi oleh pengorbanan. Setiap air mata untuk Husain adalah doa, perlawanan, dan harapan akan keadilan abadi. Setiap air mata untuk Husain adalah perjuangan untuk islah (reformasi) untuk bertransformasi dan bergerak dalam suar Sunnah Nabawiyyah. “ Bila agama Muhammad tak tegak kecuali dengan terbunuhnya aku, maka wahai pedang-pedang , ambillah aku.”  Akankah kita bergabung dengan Husain?

Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib
Arumsari , 12 Muharram 1447 H

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button