Khazanah

LIMA MUHARRAM

Spirit Anti-Penindasan dan Penjajahan

Oleh: Mohammad Adlany, Ph.D, Anggota Dewan Syura IJABI

Di tengah zaman yang terus menyaksikan bentuk-bentuk baru penindasan dan penjajahan—baik fisik, ekonomi, budaya, maupun spiritual—kisah Karbala tampil sebagai obor abadi. Karbala bukan hanya kisah heroik, melainkan manifestasi keberanian melawan dominasi dan ketidakadilan. Imam Husain bin Ali as, cucu Nabi Muhammad saw, berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap tirani dan kekuasaan zalim. Dari padang Karbala, lahirlah spirit anti-penindasan dan penjajahan yang menjadi warisan umat manusia.

Penindasan dan penjajahan bukan sekadar pelanggaran sosial, melainkan bentuk pengingkaran terhadap prinsip tauhid. Dalam Al-Qur’an, Allah sangat menentang kezaliman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ…

“Janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim…” (QS. Ibrahim: 42)

iklan

Penindas dan penjajah, sebagaimana Yazid dan rezimnya, adalah pihak yang mencabik keadilan dan mencemari kehormatan manusia. Imam Husain tidak bisa tinggal diam ketika umat Muhammad saw diracuni oleh ketakutan, manipulasi, dan kekuasaan mutlak yang tak bermoral.

Imam Husain bangkit bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena kepeduliannya terhadap umat. Beliau berkata:

إنّي لم أخرج أشِرًا ولا بطرًا، ولا مفسدًا ولا ظالمًا، وإنّما خرجت لطلب الإصلاح في أمة جدّي.

“Aku tidak bangkit karena kesombongan atau kerusakan. Aku bangkit untuk memperbaiki umat kakekku.” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 329)

Kalimat ini menegaskan bahwa perlawanan Husaini adalah gerakan anti-penindasan yang dilandasi moral dan spiritualitas. Ketika Yazid memaksakan kekuasaan absolut dan menindas suara kebenaran, Imam Husain memilih kematian yang bermartabat daripada hidup dalam kehinaan.

Al-Qur’an menyeru umat untuk membela yang lemah dan tertindas, serta menolak dominasi dzalim:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ…

“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas…?” (QS. An-Nisa: 75)

Ayat ini seakan menjawab zaman: di mana pun ada penindasan, di sanalah tempatnya keberpihakan seorang mukmin. Karbala menjadi puncak implementasi ayat ini—melawan walau kalah secara jumlah, karena membela hak kaum mustadh‘afin adalah bagian dari iman.

Imam Ali bin Abi Thalib as, dalam Nahjul Balaghah berkata:

ما أخذ بالقوّة لا يُسترجع إلا بالقوّة.

“Apa yang diambil dengan kekerasan tidak akan kembali kecuali dengan kekuatan.”

Ini bukan seruan kekerasan, tapi seruan untuk tidak tunduk pada sistem penjajahan—baik fisik, politik, atau ideologis. Karbala adalah bukti bahwa Islam tidak pernah merestui ketundukan pada kekuasaan tiran.

Karbala mengajarkan bahwa menjadi pengikut Ahlulbait berarti berpihak pada yang tertindas dan melawan ketidakadilan, kapan pun dan di mana pun.

Karbala bukan hanya inspirasi spiritual, tapi juga bahan bakar perlawanan terhadap imperialisme dan dominasi global. Tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi bahkan mengakui:

I learned from Husain how to be victorious while being oppressed.

“Aku belajar dari Husain bagaimana menjadi pemenang dalam kondisi tertindas.”

Artinya, spirit anti-penindasan dalam Karbala melampaui batas agama dan negara. Ia menjadi simbol global keberanian melawan hegemoni kekuasaan yang sewenang-wenang.

Kita hari ini hidup dalam dunia yang masih penuh penjajahan—baik oleh sistem ekonomi global, rezim otoriter, atau bahkan penjajahan terhadap akal dan hati kita sendiri. Maka menjadi pengikut Husain berarti tidak diam, tidak netral, dan tidak tunduk pada bentuk-bentuk baru tirani.

Karbala adalah panggilan sejarah, dan pertanyaannya jelas: Apakah kita akan menjadi bagian dari mereka yang membela kebenaran, atau diam di tengah penindasan?

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button