Uncategorize

Refleksi La Tuktsir Al-‘Itab: Apa Jadinya Bila Semua Terekspresikan

Oleh: Muhammad Bhagas (Anggota Departemen Dakwah dan Seni Budaya PP IJABI) 

Diriwayatkan dari Imam ‘Ali bin Abi Thalib as: La tuktsir al-‘itab, fa innal ‘itaba yuritsud dhaghinah wal baghdah wa katsratahu min su’il adab. Artinya: Jangan keseringan menegur, memarahi, menyinggung karena itu bisa menimbulkan rasa kesal dan benci. Kebiasaan bersikap seperti itu termasuk adab yang buruk (Raudhah al-‘Uqala, halaman 182). 

Imam ‘Ali as tidak bermaksud melarang kita dari amar ma’ruf dan nahi munkar. Poinnya bukan itu. Saya memaknai larangan tersebut lebih kepada tuntunan membangun dan menyempurnakan kendali diri agar kita tidak keseringan/terlalu mudah menegur, menyinggung dan marah-marah dalam urusan-urusan yang sebenarnya akan lebih maslahat jika dibiarkan lewat begitu saja, atau dalam hal-hal yang lebih tepat jika tidak dihiraukan, atau hal-hal yang tidak penting untuk dipermasalahkan. Dalam realitas kehidupan ini betapa banyak hubungan jadi renggang gara-gara keseringan mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting. Karakter keseringan/terlalu mudah menegur dan menyalahkan orang lain seketika itu juga tanpa mempertimbangkan maslahat dan konsekuensi terkait itu sangat rentan menimbulkan ketegangan, masalah, dan chaos. 

Dalam konteks hubungan sesama manusia, terkadang kita perlu membiarkan lewat begitu saja entah itu kesalahan, sikap dan cara orang lain yang mungkin tidak mengenakkan di hati kita. Kita perlu menahan diri dari langsung menegur hal-hal yang kita tidak setujui, demi kemaslahatan yang lebih besar dan penting yaitu menjaga hubungan tetap terjaga dan harmonis. Keputusan kita untuk lebih memilih mengalah, tidak jadi mengungkit apa yang tadinya ingin diungkit dan menahan diri dari menampakkan isi hati, itu tidak harus dimaknai sebagai kekalahan, apalagi dikaitkan dengan jatuhnya harga diri. Ini bukan pertandingan. Ini latihan kebijaksanaan. Latihan yang melibatkan kecerdasan emosional dan spiritual. 

Mengalah dan menahan juga bagian dari akhlak mulia. Boleh jadi sikap itu merupakan wasilah yang mengantarkan kita pada kesempurnaan diri. Di baliknya ada efek yang mampu melejitkan pencapaian diri kita secara eksistensial-spiritual. Sebab, akhlak mulia tidak hanya menyangkut apa saja yang harus ditampakkan dan tersampaikan. Akhlak mulia juga mencakup apa saja yang harus dikekang. Ia merupakan kebijaksanaan dan kecerdasan dalam memilah mana yang perlu tersampaikan dan mana yang tidak perlu tersampaikan. Mana yang perlu terekspresikan dan yang tidak perlu. Saya kira dalam banyak persoalan dan hubungan, pada apa yang “tak tersampaikan dan tertahan” itu justru terkandung maslahat dan keindahan tersendiri. 

iklan

Belajar menahan diri untuk tidak terlalu cepat mengumbar semua yang ada dalam perasaan kita. Hindarilah perangai yang terlalu mudah dan kebiasaan mengumbar semua yang sedang dirasakan. Seakan kebahagiaan bergantung pada pelampiasan. Tidak semua ketidaksetujuan harus ditunjukkan. Tidak semua yang tersimpan di dalam perasaan harus diekspresikan. Bayangkan apa jadinya hubungan sesama manusia dan urusan-urusan kehidupan ini jika semua ketidaksetujuan dan ketidaksukaan yang tersimpan di dalam hati ditampakkan satu sama lain. Bayangkan bila semua yang tersembunyi di dalam batin diekspresikan. Yang tersisa hanyalah kekacauan, semuanya berantakan. Kehidupan tak akan berjalan dengan baik. Karena tak mampu menahan, gerak kehidupan pun ikut tertahan. Di titik inilah mengorbankan keinginan diri menjadi bernilai. Untuk menggapai yang lebih berarti. Maka bijaksana dan cerdas-cerdaslah dalam mengelola semuanya. Segala sesuatu ada kadarnya.  

Dalam menentukan sikap dan keputusan pun harusnya kita tidak mengandalkan akal dan perasaan kita saja—apalagi dipersempit pada pengalaman dan selera masing-masing—, tetapi juga membutuhkan penyucian diri dan suluk taqarrub ilallah. Kita ini betul-betul sangat membutuhkan bimbingan dan pertolongan ilahi, keselamatan hakiki, serta bashirah (kepekaan dan ketajaman mata batin) serta berbagai daya spiritual agar kita dapat menentukan dan menjalani semuanya dengan baik dan terukur. Setidaknya bisa meminimalisir ketergelinciran dalam berucap dan bersikap.  

Misalnya doa. Salah satu tujuan mengapa agama mengajarkan doa agar manusia menyadari bahwa terhadap dirinya sendiri pun ia lemah. Terhadap diri sendiri saja lemah, apalagi dengan selain dirinya. Maka pikiran yang selalu “melihat” dan “mengandalkan”  bekal, kemampuan dan pencapaian diri sendiri harus disempurnakan dengan kesadaran eksistensial terdalam kita untuk tidak melihat diri, untuk terus meminta, merendah, merasa butuh dan kebergantungan mutlak kepada-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Justru dalam kesadaran akan kelemahan dan kebergantungan kita itulah tersimpan kekuatan sejati yang insya Allah dapat menghindarkan kita dari berbagai ketergelinciran. Paradoks bukan?  

Semoga bermanfaat dan diluaskan berkahnya. Shalawat 🤲🙏 

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ‘ajjil farajahum… 

Muhammad Bhagas
+ posts
  • Anggota Departemen Perkhidmatan dan Seni IJABI.
  • Direktur Kajian Kang Jalal.
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button