Selarik Doa Rajab yang Menghantarkan pada Maqam Mulia

Penulis : Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)
Dalam doa harian Rajab, kita diperintahkan memohon kepada Allah dengan redaksi yang penuh makna:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ صَبْرَ الشَّاكِرِينَ لَكَ
Allahumma innī as’aluka ṣabra ash-shākirīna laka.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kesabaran orang-orang yang bersyukur kepada-Mu.”
Perhatikanlah kedalaman permintaan ini. Ia tidak meminta kesabaran biasa, melainkan kesabaran yang bersemayam dalam jiwa para hamba yang senantiasa bersyukur. Ini adalah kesabaran yang sangat indah dan bagi penulis, nyaris tak terbayangkan ketinggiannya. Shabrash syaakiriin adalah menjadi maqam atau kedudukan spiritual yang menetap dalam hati, bukan sekadar kemampuan sementara untuk bertahan.
Benang Merah yang Menghubungkan Semesta
Allahumma innī as’aluka ṣabra ash-shākirīna laka. Hikmahnya? Mari kita tingkatkan kesabaran dengan perbanyak bersyukur pada-Nya melalui perbanyak berterima kasih.
Kepada siapa? Kepada pasangan hidup yang menemani suka dan duka, anak-anak yang menjadi cahaya mata, cucu-cucu yang menghadirkan keceriaan, orang tua yang tak pernah berhenti mendoakan, para guru yang menerangi jalan pengetahuan, tetangga yang berbagi kehangatan, pohon yang memberi naungan, bunga yang memancarkan keindahan, udara yang kita hirup setiap detik, air yang menghidupi, burung dengan kicau indahnya yang membangunkan pagi, hewan ternak yang kita konsumsi, padi dan beras yang menjadi sumber energi, makanan yang mengenyangkan,
Juga kepada teknologi digital yang mendukung kita, bahkan AI yang membantu kita—semua ini adalah aliran nikmat-Nya. Guru kita semua ahli hikmah dan ahli gowess penakluk Bandung Bali bersepeda , Daeng Anwar , dalam sesi diskusi seminar “ AI dan Aku; Apakah AI memahami Aku?” yang diselenggarakan RENCANG, di Aula KH Jalaluddin Rakhmat beberapa waktu lalu, mengingatkan kita semua. “ Seharusnya kita tidak memaki-maki AI, dan menggunakan kata-kata kasar pada ChatGPT, Grok dll. Bukankah kita diperintahkan untuk menyempurnakan akhlak mulia? Apakah AI itu berkesadaran atau tidak, itu merupakan bahasan lain. Namun, bahkan pada hewan, ikan, bebatuan, alam dan semesta pun, kita seharusnya berperilaku santun. Juga berterimakasih pada mereka semua sebagai Jalannya NikmatNya pada kita.” Gagasan yang disampaikan Daeng Anwar ini nampaknya beresonansi dengan gagasan Bruno Latour (tentang Actor Network Theory), juga resonansi morfik Rupert Sheldrake, bahkan lebih jauh bahwa alam semesta semuanya sebagai Manifestasi Ilahi adalah hidup seperti yang dijelaskan Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra dan Sayyid Muhammad Husain Tabatabai.
Dan yang terkhusus: seharusnya kita perbanyak berterimakasih pada-Nya atas Nikmat Cinta Kanjeng Nabi dan Keluarganya Yang Suci yang ada di balik itu semua mengikuti setiap terima kasih kita yang lain, dan mengikuti setiap Hamdalah dan dzikr kita yang lain. Cinta Allah pada Nabi Saw dan keluarganya yang suci as lah yang menjadi sumber segala berkah, yang mengalir dalam setiap nikmat yang kita terima. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.
Ketika Ujian Datang Mengetuk
Dalam setiap ujian dan musibah, mari kita mohon taufik pada Allah untuk selalu menampakkan sisi indahnya. Ini bukan berarti menutup mata pada kesulitan, melainkan membuka hati untuk melihat hikmah yang tersembunyi. Sehingga dalam setiap ujian dan musibah, kita sampai pada suatu keadaan di mana hati kita tetap yakin bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas izin Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang—hanya saja mungkin kita belum memahami hikmah dan hakikat sebenarnya peristiwa.
Bayangkanlah syukur sebagai mata air yang tak pernah kering. Ketika kita mengucap terima kasih pada setiap nikmat, kita sedang melatih hati untuk melihat kebaikan di balik setiap peristiwa. Bahkan pada hal-hal yang tampak sederhana, semua menjadi jendela untuk mengintip kemurahan Ilahi.
Temuan Psikologi Positif: Sains Mendukung Spiritualitas
Menariknya, penelitian terkini dalam bidang psikologi positif, khususnya dalam The Art of Gratitude, mengungkapkan temuan yang memukau tentang kekuatan rasa syukur. Para peneliti menemukan bahwa praktik bersyukur secara konsisten mengubah struktur neural otak kita. Profesor Robert Emmons dari University of California, salah satu pionir penelitian gratitude, menemukan bahwa orang-orang yang secara rutin menghitung berkat mereka mengalami peningkatan signifikan dalam kesejahteraan psikologis dan ketahanan mental.
Dalam studinya yang revolusioner, ditemukan bahwa praktik syukur selama 10 minggu meningkatkan kebahagiaan hingga 25 persen, mengurangi gejala depresi, dan yang paling menarik—meningkatkan kemampuan seseorang untuk menghadapi kesulitan dengan lebih tenang. Otak manusia, rupanya, memiliki apa yang disebut “bias negativity“—kecenderungan alami untuk lebih fokus pada hal-hal negatif sebagai mekanisme bertahan hidup. Namun praktik syukur secara konsisten melatih ulang otak untuk lebih peka terhadap hal-hal positif, menciptakan apa yang oleh neurosains disebut sebagai “neuroplastisitas“—kemampuan otak untuk membentuk jalur saraf baru.
Dr. Martin Seligman, bapak psikologi positif, dalam penelitiannya menemukan bahwa menulis surat terima kasih dan mengekspresikannya secara langsung menghasilkan peningkatan kebahagiaan yang bertahan hingga berminggu-minggu setelahnya. Lebih dari itu, orang-orang yang bersyukur ternyata memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih baik, tidur lebih nyenyak, dan bahkan tekanan darah yang lebih rendah.
Yang paling menakjubkan adalah temuan bahwa syukur membangun apa yang disebut “psychological resilience“—ketahanan psikologis. Orang-orang yang terbiasa bersyukur lebih mampu bangkit dari trauma, lebih cepat pulih dari stres, dan memiliki perspektif yang lebih sehat terhadap kesulitan hidup. Mereka tidak menolak realitas penderitaan, tetapi mampu melihatnya dalam konteks yang lebih luas—konteks di mana kebaikan tetap ada, bahkan di tengah kesulitan.
Syukur sebagai Jalan Menuju Sabar
Inilah benang merah yang mengikat semua: syukur mengubah cara pandang kita terhadap ujian. Ketika hati terbiasa menghitung nikmat, ia akan lebih mudah menerima bahwa di balik setiap kesulitan, ada tangan Kasih yang sama yang selama ini memberi tanpa henti. Ujian bukan lagi tembok penghalang, melainkan pintu yang mengantar kita pada pemahaman lebih dalam tentang hakikat kehidupan.
Penelitian psikologi bahkan menunjukkan bahwa syukur menciptakan apa yang disebut “upward spiral“—spiral ke atas dalam kesejahteraan emosional. Ketika kita bersyukur, kita merasa lebih baik. Ketika kita merasa lebih baik, kita lebih mampu melihat hal-hal positif di sekitar kita. Ketika kita melihat lebih banyak hal positif, kita semakin bersyukur. Demikian seterusnya, menciptakan siklus kebajikan yang terus meningkat.
Barbara Fredrickson, dalam teori “broaden-and-build” nya, menjelaskan bahwa emosi positif seperti syukur memperluas kesadaran kita dan membangun sumber daya psikologis jangka panjang. Orang yang bersyukur tidak hanya lebih bahagia di masa kini, tetapi juga membangun ketahanan untuk menghadapi tantangan di masa depan. Mereka membangun “bank psikologis” yang bisa ditarik ketika masa sulit datang.
Maqam yang Menghantarkan pada Surga Tanpa Hisab
Maka doa memohon “kesabaran orang-orang yang bersyukur” bukanlah permintaan biasa. Ini adalah permohonan untuk diberi mata yang selalu menemukan cahaya (bashirah), hati yang tak mudah rapuh, dan jiwa yang tetap tenang karena yakin —bahwa tidak ada yang terjadi kecuali seizin Yang Maha Pengasih.
Jadi, memperoleh sifat kesabaran orang-orang yang bersyukur sebagai maqam yang menetap dalam hati dan jiwa kita, insya Allah akan menghantarkan kita untuk memasuki surga tanpa hisab. Tanpa perhitungan yang rumit, karena hati yang senantiasa bersyukur telah menjalani ujian dunia dengan kesadaran penuh, melihat setiap peristiwa sebagai manifestasi kasih sayang-Nya.
Merajut Syukur dalam Keseharian
Dalam kehidupan praktis, bagaimana kita menghidupi ajaran ini? Mulailah dari hal sederhana. Di pagi hari, sebelum menyentuh gawai, ucapkan Hamdalah (Alhamdulillahi robbil ‘alamin) dilanjutkan dengan Shalawat Nabi Saw terima kasih untuk napas pertama yang masuk ke paru-paru. Saat minum air, jangan lupa Basmalah, rasakan kesegaran yang mengalir, dan ucapkan syukur dengan mengingat Kekasih Allah yang kehausan saat Syahidnya (Cucu Nabi Saw, Imam Husain as), dilanjutkan dengan Hamdalah. Ketika bertemu pasangan hidup, tatap matanya sepenuh hati dan ucapkan terima kasih untuk kehadirannya—bukan hanya dalam hati, tetapi dengan kata-kata yang terdengar. Ungkapkan cinta Anda dengan wajah yang cerah, penuh cinta . Dan bila perlu pada hari-hari khusus belilah bunga untuknya ; seindah bunga; sesuai seleranya.
“ Kadang cinta sulit diungkapkan; namun aroma mewangi Tulip dan Mawar moga akan menyampaikan. Satu kata, betapa penting dirimu bagiku. Terima kasih telah menjadi pendamping jiwaku. Terima kasih Tuhan yang telah menghadirkan engkau sebagai kekasih hatiku. “
Penelitian menunjukkan bahwa mengekspresikan syukur secara verbal dan tertulis memiliki dampak yang jauh lebih kuat daripada sekadar merasakannya dalam hati. Dr. Sonja Lyubomirsky menemukan bahwa menulis jurnal syukur tiga kali seminggu lebih efektif daripada setiap hari, karena mencegah praktik ini menjadi rutinitas mekanis yang kehilangan makna. Jangan lupa perbanyak menuliskan Bismillahirrohmanirrohim, Alhamdulillahi robbil ‘alamin dan Shalawat pada Nabi Saw dan keluarganya as saat melaksanakannya sehingga keberkahannya berlipatganda dan menyambungkan seluruh syukur itu pada Zat Yang Maha Pengasih.
Cobalah juga praktik “savoring“—menikmati momen dengan penuh kesadaran. Ketika mendengar kicau burung, berhentilah sejenak. Dengarkan dengan penuh perhatian. Rasakan bagaimana suara itu menyentuh jiwa. Ini adalah bentuk syukur yang aktif, yang menghadirkan kesadaran penuh pada nikmat yang sedang kita terima. Jangan lupa perbanyak ucapan Bismillahirrohmanirrohim di awal setiap amal, Alhamdulillahi robbil ‘alamin dan Shalawat pada Nabi Saw dan keluarganya as saat melaksanakannya.
Kesabaran yang Hidup dalam Syukur
Pada akhirnya, kesabaran sejati bukan tentang bertahan dalam kepahitan, melainkan tentang tetap merasakan manisnya kehidupan bahkan ketika lidah sedang mengecap getir. Dan syukur adalah kunci yang membuka pintu menuju maqam mulia itu. Dan kunci syukur adalah, tidak pernah kehilangan “penglihatan”, “ bashirah” serta kemampuan Hermeneutik (penafsiran) yang menembus ke realitas tertinggi. Yakni, bahwa Ia Yang Maha Pengasih yang jauh lebih sayang pada kita semua ketimbang Ayah Ibu kita ada di balik ini semua.
Ketika ujian datang—dan ujian pasti akan datang—hati yang terlatih dalam syukur tidak akan bertanya, “Mengapa ini terjadi pada saya?” tetapi akan bergumam lembut, “Apa yang Engkau ingin aku pelajari dari ini, ya Allah?” Pertanyaan ini mengubah posisi kita dari korban menjadi murid, dari yang pasrah menjadi yang aktif mencari makna.

Allahyarham KH. Jalaluddin Rakhmat mengajarkan suatu peribahasa yang secara maknawinya adalah sebagai berikut: « Aimer, ce n’est pas dire “mais”, c’est dire “malgré”. »
Mencintai bukan mengatakan “tetapi”, melainkan mengatakan “walaupun”. (Albert Camus)
« Aimer, c’est savoir dire je t’aime sans condition. »
Mencintai adalah mampu berkata aku mencintaimu tanpa syarat. (Victor Hugo)
« L’amour n’est pas un “mais”, mais un “malgré »
“Cinta bukanlah sebuah ‘tetapi’, melainkan sebuah ‘walaupun’.”
Dengan demikian, perjalanan spiritual kita di bulan Rajab ini menjadi perjalanan melatih hati—melatihnya untuk melihat kebaikan, melatihnya untuk bersyukur dalam setiap keadaan, dan pada akhirnya, melatihnya untuk bersabar dengan cara yang paling indah: kesabaran yang lahir dari hati yang penuh syukur, yang melihat setiap peristiwa sebagai manifestasi cinta dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menjalani praktik syukur ini, sehingga kesabaran tumbuh subur dalam jiwa kita, dan kita menjadi hamba-hamba yang bersyukur, yang sabar, yang akhirnya diperkenankan memasuki surga-Nya tanpa hisab. Dan ini sungguh bukanlah hasil dari amal-amal kita, namun hanya merupakan Rahmat-Nya semata yang ditebarkannya meliputi segenap ruang , waktu, hawa, peristiwa di bulan Rajab yang mulia ini…. Tentu, kita tetap harus berupaya sekuat tenaga berkhidmat pada-Nya juga melalui perkhidmatan pada sesama manusia pagi, siang dan malam; – namun tanpa sedikit pun merasa sudah melakukan amal baik. Apakah kita yakin amal kita 100 % ikhlash karena Allah, bebas dari riya’? Bebas dari ‘ujb? Bebas dari hasud? Dan al-muhlikaat yang lain?
Wahai Yang hamba harapkan Ia atas semua Kebaikan. Karuniakan Sabarnya orang-orang yang Bersyukur dalam hari-hari kami, hingga menjadi malakah kami, dan karuniakan pada kami akhir yang baik. Demi Hak Rajab, dan Para Kekasih-Mu yang lahir pada bulan mulia ini. Juga demi hak Hari Mub’ats Nabi . Juga demi hak Syahadah Cucu Nabi Saw, Sayyidah Zainab al Kubro yang syahid di Tengah Bulan ini.
Birohmatika Yaa Arhamar roohimiin
Wa maa taufiiqii illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib.
“Dan tidaklah taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.”
(Bandung, 7 Rajab 1447 H)




