Khazanah

Kutukan atas Netralitas

Oleh Abdul Karim

“Identitas spiritual Syiah dibentuk bukan hanya oleh siapa yang mereka dukung, tetapi oleh siapa yang mereka tolak untuk diam hadapi: mereka yang tetap netral saat kebenaran sedang ditindas.” — Maria Massi Dakake

Dalam Ziarah Agung yang dibacakan oleh para pecinta Ahlulbait, terdapat dua lapisan kutukan yang mengguncang: pertama, kutukan atas mereka yang secara langsung memerangi Imam Husain a.s.; kedua, dan lebih mengerikan secara spiritual, kutukan terhadap umat yang mempersiapkan pelana dan kekang kuda mereka untuk menghadapi Imam tanpa harus menyentuhkan pedang. Ini adalah kutukan bagi mereka yang tidak menumpahkan darah, tapi mengizinkan darah itu tumpah; yang tidak meneriakkan perintah pembunuhan, tapi menyediakan senyapnya suasana agar perintah itu bisa bergema. Mereka adalah para penyaksi yang pasif, para penikmat netralitas, dan para pengkhianat yang tidak terasa. Hari ini, ketika kita menyaksikan agresi besar terhadap Republik Islam Iran, satu-satunya entitas negara yang masih menegakkan panji Wilayah dalam wajah dominasi imperialis dunia, kutukan yang sama kembali menganga untuk menelan siapa pun yang memilih diam, takut, netral, atau mengejek.

Imam Ali a.s., sebagaimana dijelaskan dalam The Sacred Foundations of Justice in Islam, memandang keadilan bukan sekadar produk hukum, tetapi sebagai dimensi spiritual dari keberadaan manusia. Keadilan adalah wujud dari menempatkan segala sesuatu di tempatnya—dan menolak menempatkan diri bersama kebenaran dalam momen kritis adalah bentuk paling dalam dari pengkhianatan terhadap tatanan kosmik itu sendiri. Dalam suratnya kepada Malik al-Ashtar, Imam Ali tidak hanya memerintahkan untuk berlaku adil kepada rakyat yang mendukung, tetapi juga kepada musuh-musuh yang lemah sekalipun. Namun yang paling dikecam adalah para penguasa dan elite yang membiarkan kezaliman hidup karena kepentingan atau karena keengganan untuk mengorbankan kenyamanan pribadi demi kebenaran. Di sinilah letak keberpihakan spiritual yang tak bisa ditawar: keadilan menuntut keberanian, dan keberanian menuntut pilihan. Diam adalah bentuk pengecut yang telah terkutuk sejak Karbala.

sumber gambar : https://pin.it/50JjcU4md

Dalam The Charismatic Community, Maria Massi Dakake mengurai dengan sangat jernih bahwa identitas Syiah bukan dibangun hanya oleh konsep teologis tentang imamah, tetapi oleh sikap historis terhadap peristiwa kezaliman. Syiah muncul bukan hanya karena Ali adalah pewaris Nabi, tapi karena ia dan para pengikutnya menolak berkompromi dengan kebatilan walau hanya dengan diam. Mereka membentuk komunitas yang bersumpah untuk tidak ikut serta dalam siklus kezaliman, bahkan dengan pasivitas. Dalam bingkai ini, mereka yang memasang pelana dan kekang dalam Ziarah Agung—yang menjadi simbol persiapan struktural untuk kejahatan—bukan hanya terdiri dari tentara Yazid, tetapi seluruh struktur sosial yang memungkinkan kejahatan itu berjalan. Termasuk para ulama yang memilih membisu, para pemikir yang menyibukkan diri dengan apatisme akademik, serta rakyat yang memilih diam dengan dalih netralitas atau perdamaian palsu.

iklan

Dan dalam kerangka filsafat kontemporer, Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals menyatakan bahwa tanggung jawab moral bukanlah pilihan melainkan kewajiban eksistensial. Intelektual, dalam definisi Chomsky, bukan semata orang yang terdidik, tetapi siapa pun yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk berbicara. Ketika ia memilih diam dalam menghadapi kejahatan yang nyata—seperti genosida, invasi, atau pencaplokan kedaulatan bangsa—maka ia secara langsung terlibat dalam kejahatan tersebut. Persis seperti umat yang dikutuk karena mempersiapkan perang terhadap Husain, tanpa perlu mengayunkan pedang. Diam mereka adalah suara yang paling bergema dalam keberpihakan terhadap kebatilan.

Hari ini, ketika dunia menyaksikan kampanye global yang menghantam Republik Islam Iran—baik lewat sanksi ekonomi, infiltrasi budaya, hingga operasi militer rahasia—sikap kita diuji. Bukan sekadar diuji tentang kita di pihak siapa, tapi apakah kita telah memahami arti spiritual dari kutukan itu sendiri. Tidak ada lagi zona abu-abu. Netralitas adalah pilihan yang sudah bernoda. Tertawa atas penderitaan Iran karena alasan politik mazhab, atau membiarkan narasi-narasi musuh tumbuh di sekitar kita tanpa perlawanan, adalah bentuk dari mempersiapkan kekang dan pelana yang dimaksud Ziarah Agung.

Ziarah Agung bukan sekadar teks liturgis; ia adalah deklarasi ideologis terhadap posisi spiritual kita di tengah sejarah. Doa itu tidak ditulis untuk masa lalu semata, tetapi untuk kita yang hidup hari ini. Di tengah kampanye militer terhadap Palestina, Yaman, Irak, dan kini Iran—satu-satunya negara yang secara terbuka menyatakan bahwa mereka tidak akan menyerah kepada kezaliman global—maka setiap pilihan kita memiliki makna eskatologis. Tak cukup lagi bersembunyi di balik dalih “bukan urusan saya”, “saya bukan orang politik”, atau “saya hanya ingin damai.” Semua itu, dalam terang doa Ziarah, adalah bentuk keterlibatan aktif dalam barisan musuh, hanya saja dengan wajah yang lebih sopan.

Imam Ali dalam kitab The Sacred Foundations of Justice in Islam telah mengingatkan bahwa kebenaran tidak akan pernah menjadi mayoritas. Ia selalu terpinggirkan, ditertawakan, dan dijauhi. Maka, jika hari ini anda menyaksikan Iran dihina, diisolasi, dipersalahkan, lalu anda ikut mengangguk setuju atau bahkan hanya diam agar tidak repot, maka sadarilah bahwa anda tidak netral. Anda telah memilih posisi, dan posisi itu bukanlah posisi Husaini.

Kehidupan spiritual Imam Husain tidak bisa dipisahkan dari konteks politiknya, demikian pula dengan kita hari ini. Learning Spirituality from Imam Husayn (a) menggambarkan bagaimana Ashura bukan sekadar tragedi sejarah, tetapi laboratorium etika dan keberanian. Husain tidak hanya memberi kita alasan untuk menangis, tapi untuk mengambil sikap. Sebagaimana Lady Zaynab berkata, “Aku tidak melihat apapun kecuali keindahan”, kita juga harus belajar untuk melihat makna keberpihakan sebagai bentuk keindahan spiritual: keberanian untuk menyatakan posisi, bahkan saat semua orang memilih netral.

Maka jika engkau mendengar Iran disebut sebagai ancaman, tanyakan siapa yang sebenarnya terancam. Jika engkau menyaksikan rudal-rudal diluncurkan ke wilayahnya, ingat bahwa itulah Karbala hari ini. Jika engkau mendengar hujatan terhadap para pemimpin dan ulama mereka, periksa siapa yang memegang panji Husain di zaman ini. Dan jika engkau merasa takut, merasa itu bukan urusanmu, atau merasa bahwa netralitas akan menyelamatkanmu dari api konflik, maka ingatlah kutukan itu: kutukan bagi mereka yang menyiapkan pelana, yang mengendalikan kekang, yang tak menghunus pedang, tetapi berdiri dalam barisan musuh dengan senyap sebagai pakaian.

Keadilan Ilahi tidak pernah keliru. Al-Quran tidak mencatat partai politikmu, mazhabmu, atau asal daerahmu. Ia mencatat keberpihakanmu di tengah kezaliman. Maka jangan berharap akan diselamatkan hanya karena engkau tak ikut menghunus pedang, sebab diam dan netralitas dalam kezaliman adalah bagian dari dosa yang tak tampak, tapi teramat nyata di sisi Allah.

Kita sedang diuji. Dan seperti Karbala, ujian ini tidak akan lama. Yang kekal adalah catatan: engkau berdiri di sisi siapa?

Daftar Pustaka:

Dakake, Maria Massi. The Charismatic Community: Shiʿite Identity in Early Islam. State University of New York Press, 2007.

Lakhani, M. Ali, Reza Shah-Kazemi, dan Leonard Lewisohn. The Sacred Foundations of Justice in Islam: The Teachings of ʿAlī ibn Abī Ṭālib. World Wisdom, 2006.
Allott, Nicholas, Chris Knight, dan Neil Smith (Ed.). The Responsibility of Intellectuals: Reflections by Noam Chomsky and Others after 50 Years. UCL Press, 2019.

Abdul Karim
+ posts

Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button