Arbain Imam Husain as: Mata Rantai Penghubung Asyura dan Mahdawiyah

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Di tengah samudera manusia yang memenuhi jalan menuju Karbala setiap bulan Safar, terhampar sebuah fenomena spiritual yang tak tertandingi: Arbain Imam Husain as. Ini bukan sekadar peringatan 40 hari setelah syahadah beliau di Karbala. Arbain adalah momentum penyatuan antara sejarah, keyakinan, dan cita-cita besar umat Islam yang menembus batas waktu dan geografi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan Asyura—tragedi pengorbanan suci—dengan Mahdawiyah—janji kemenangan mutlak kebenaran.
Asyura adalah awal gelombang kebangkitan. Asyura adalah puncak dari konfrontasi moral dan spiritual antara kebenaran yang diwakili Imam Husain as dan kebatilan yang diwakili Yazid bin Muawiyah. Tragedi ini adalah momen di mana prinsip “tidak tunduk pada tirani” menemukan bentuk paling murni. Dengan mengorbankan keluarga, sahabat, dan dirinya, Imam Husain menegaskan bahwa kebenaran lebih berharga dari kehidupan itu sendiri.
Al-Qur’an mengabadikan prinsip ini:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim, sehingga kalian disentuh api neraka.” (QS. Hud: 113)
Secara filosofis, Asyura menjadi simbol kebangkitan etis (ethical awakening). Ia mengajarkan bahwa di tengah hegemoni politik dan moral yang korup, kebenaran tetap memiliki “hak hidup” dan bahkan mampu membalikkan arah sejarah.
Arbain adalah mengabadikan pesan Asyura. Empat puluh hari setelah tragedi Karbala, keluarga yang selamat, termasuk Sayyidah Zainab as dan Imam Ali Zainal Abidin as, kembali ke Karbala dari Syam. Momen ini adalah rekonstruksi narasi perlawanan—dari luka sejarah menjadi memori kolektif. Arbain bukan sekadar mengenang; ia adalah strategi pengawetan pesan.
Imam Hasan Askari as menjadikan ziarah Arbain sebagai identitas spiritual:
عَلامَاتُ الْمُؤْمِنِ خَمْسٌ … وَ زِيَارَةُ الأَرْبَعِينَ
“Tanda-tanda orang beriman ada lima… dan salah satunya adalah ziarah Arbain.” (Bihar al-Anwar, jld. 98, hlm. 331)
Dalam perspektif sosiologis, Arbain adalah ritual resistensi—membentuk kesadaran kolektif yang mampu menggerakkan masyarakat lintas generasi untuk tetap setia pada nilai-nilai Karbala.
Berbeda dengan Arbain, Mahdawiyah adalah puncak janji Iahi. Mahdawiyah adalah keyakinan akan hadirnya Imam Mahdi as, penerus misi para nabi dan washi mereka, yang akan mengisi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi kezaliman. Riwayat menegaskan:
يَمْلَأُ الأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا
“Beliau akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi dengan kezaliman dan penindasan.” (Kamal al-Din, hlm. 377)
Hubungan antara Asyura, Arbain, dan Mahdawiyah adalah linier dan organik: Asyura (titik awal perlawanan moral), Arbain (penjaga nyala api perlawanan di hati umat), dan Mahdawiyah (klimaks kemenangan universal).
Dari perspektif teologi sejarah, Mahdawiyah adalah eschatological fulfillment dari pesan Asyura, sementara Arbain menjadi transmission belt yang memastikan energi Asyura sampai ke era kehadiran sang Imam.
Apa pesan spiritual Arbain? Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ لِقَتْلِ الْحُسَيْنِ حَرَارَةً فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَبْرُدُ أَبَدًا
“Sesungguhnya untuk terbunuhnya Husain ada panas di hati orang beriman yang tidak akan pernah padam.” (Mustadrak al-Wasail, jld. 10, hlm. 318)
Arbain mengajarkan tiga peran spiritual: menjadi penumpang bahtera Imam Husain as (mengikat diri pada nilai keberanian dan ketulusan), menjadi penjaga api kebenaran (tidak berkompromi dengan kezaliman modern), menjadi penyambut Imam Mahdi as (menyiapkan diri melalui akhlak, kesadaran, dan kesiapan berkorban).
Arbain hari ini merupakan fenomena global. Pawai jutaan manusia dari berbagai negara ke Karbala adalah manifestasi nyata ummah transnasional. Perbedaan bahasa, etnis, bahkan mazhab, larut dalam satu ikrar: “Kami bersama Husain, kini dan selamanya.”
Secara politik, ini adalah soft power yang memperlihatkan kekuatan budaya dan spiritual umat. Secara spiritual, ini adalah ritual unifikasi yang melampaui sekat-sekat geopolitik.
Dari perspektif Filsafat Sejarah, Arbain adalah mekanisme historical memory preservation—menghubungkan generasi sekarang dengan narasi heroik masa lalu agar visi masa depan tetap terjaga. Jika dipandang dari perspektif Antropologi Ritual, Arbain membentuk liminal space di mana identitas individu melebur menjadi identitas kolektif yang berporos pada Husain. Dan kalua dilihat dari perspektif gerakan Sosial Modern, fenomena Arbain menjadi model mobilisasi massa yang damai namun memiliki muatan ideologis kuat untuk menolak ketidakadilan global.
Fenomena Arbain bukan hanya unik dalam Islam Syiah, tetapi juga dapat dibaca dalam kerangka comparative religion sebagai bagian dari tradisi peringatan kolektif umat beragama atas figur suci dan peristiwa heroik. Namun, yang membedakan Arbain adalah skala, kontinuitas, dan daya mobilisasinya.
Umat Kristen memperingati penyaliban Yesus sebagai simbol pengorbanan demi penebusan dosa. Pawai, misa, dan drama passion di banyak negara menjadi sarana menghidupkan kembali kisah tersebut. Namun, berbeda dengan Arbain yang berorientasi pada kesinambungan perjuangan (dari Asyura ke Mahdawiyah), peringatan ini lebih menekankan pada penggenapan keselamatan rohani di masa lampau.
Umat Yahudi memperingati pembebasan Bani Israel dari Mesir. Narasi ini dihidupkan dengan ritual tahunan yang meneguhkan identitas kolektif. Mirip dengan Arbain, Paskah mengikat generasi sekarang dengan sejarah penderitaan dan pembebasan. Namun, Arbain memiliki dimensi eskatologis yang sangat kuat—ia tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi memproyeksikan visi masa depan.
Di India, dalam Hindu, Ram Lila (drama epik Ramayana) dan Diwali (kemenangan kebaikan atas kejahatan) adalah momen tahunan yang memobilisasi masyarakat secara massal. Ada kemiripan dalam aspek public performance dan collective memory. Namun, Arbain menonjol dalam bentuk ziarah fisik massal ke satu titik pusat, yang menjadi simbol persatuan spiritual dan politik.
Waisak, dalam Buddha, memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafat Buddha Gautama. Ritualnya melibatkan perenungan, perjalanan ziarah, dan amal. Seperti Arbain, ia menekankan transformasi spiritual individu. Bedanya, Arbain menempatkan perlawanan terhadap kezaliman sebagai elemen kunci, sedangkan Waisak fokus pada pencapaian pencerahan batin.
Semua peringatan tersebut, termasuk Arbain Imam Husain as, berfungsi memperkuat identitas kolektif, menjaga memori sejarah, dan membentuk orientasi moral masyarakat.
Namun Arbain memiliki ciri tersendiri yang membedakannya dengan semua peringatan itu. Arbain memadukan tiga dimensi yang tidak ada dalam tradisi lain: memori sejarah tragis (Asyura), mobilisasi kolektif lintas bangsa (pawai jutaan orang), dan orientasi eskatologis (Mahdawiyah). Arbain bukan hanya “mengenang” tetapi juga “menggerakkan” menuju masa depan yang dijanjikan.
Arbain Imam Husain as adalah mata rantai penghubung antara sejarah pengorbanan dan masa depan kemenangan. Dari darah Karbala mengalir energi yang menyalakan obor Mahdawiyah. Arbain memastikan pesan Imam Husain as tetap menghidupkan hati, membentuk kesadaran, dan mempersiapkan umat untuk menyambut janji Ilahi.
“Setiap langkah menuju Karbala adalah langkah menuju kehadiran Imam Mahdi.”
