
Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Istilah kebahagiaan (sa‘ādah) dalam khazanah keilmuan Islam sering dipahami sebagai “keberuntungan” atau “keberhasilan”. Para ulama mendefinisikannya sebagai tercapainya kesempurnaan yang mungkin diraih oleh manusia, sesuai dengan potensi dan kelayakan yang dimilikinya. Dengan demikian, kebahagiaan dapat dimaknai sebagai pemanfaatan yang benar, sehat, dan sah terhadap berbagai potensi material maupun spiritual yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Al-Qur’an memberikan landasan teologis atas pemahaman ini melalui firman-Nya:
وَ نَفْسٍ وَ ما سَوَّاها فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَ تَقْواها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها وَ قَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
“Demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7–10)
Ayat ini menegaskan bahwa kebahagiaan manusia sangat terkait dengan proses penyucian jiwa. Istilah keberuntungan (falah) yang digunakan Al-Qur’an menunjuk pada keberhasilan dan keselamatan jiwa, yang sekaligus merupakan bentuk kebahagiaan. Dari sisi keselamatan, kebahagiaan bermakna pembebasan dari kesulitan; dari sisi pencapaian, ia disebut ‘fauz‘; sedangkan dari sisi tujuan akhir, ia dikenal sebagai kebahagiaan sejati.
Jika ditinjau dari perspektif filsafat penciptaan, tujuan eksistensi manusia adalah mencapai kesempurnaan insani. Manusia, secara fitrah, merupakan makhluk pencari kesempurnaan sekaligus pencari kebahagiaan. Karenanya, setiap manusia terdorong untuk mencari kebahagiaan, meskipun jalan yang ditempuh berbeda-beda. Sebagian menempatkan kebahagiaan pada kenikmatan lahiriah, sementara sebagian lain melihat kebahagiaan pada kenikmatan batiniah. Ibn Sina, misalnya, menafsirkan kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi manusia secara harmonis dan seimbang sehingga mengantarkan pada kesempurnaan insani.
Para ulama juga membedakan antara kebahagiaan (sa‘ādah) dan kesengsaraan (syaqāwah). Baik ruh maupun jasad memiliki bentuk kebahagiaan dan kesengsaraannya masing-masing. Namun, karena manusia terdiri dari tubuh yang fana dan jiwa yang abadi, maka hakikat kebahagiaan sejati sesungguhnya terletak pada jiwa. Ilmu, ketakwaan, dan sejenisnya termasuk ke dalam kebahagiaan ruhani. Adapun nikmat duniawi seperti harta dan anak juga bisa menjadi sarana kebahagiaan sejauh tidak melalaikan manusia dari Allah dan tidak menimbulkan keterikatan berlebihan pada dunia.
Dalam perspektif Islam, terdapat pula kebahagiaan yang bersifat paradoks: penderitaan jasmani yang justru melahirkan kebahagiaan ruhani. Contohnya adalah pengorbanan di jalan Allah atau infak harta di jalan kebaikan. Sebaliknya, kenikmatan jasmani yang tidak sah dan melalaikan justru merupakan bentuk kesengsaraan ruhani, meskipun tampak menyenangkan secara lahiriah. Kenikmatan semacam itu bahkan dipandang Al-Qur’an sebagai azab terselubung.
Dengan demikian, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir. Kehidupan sejati adalah kehidupan abadi di akhirat, yang kenikmatan dan penderitaannya bergantung pada amal manusia. Oleh karena itu, manusia diberikan kebebasan memilih antara kehidupan fana yang sementara atau kebahagiaan abadi yang kekal. Islam menempuh jalan tengah dengan menetapkan batasan luhur dalam pemanfaatan nikmat materi maupun spiritual, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraih secara bersamaan.
Kebahagiaan sejati, pada akhirnya, tidak terletak pada harta, kekayaan, maupun kekuasaan. Semua itu dapat mempermudah kehidupan, tetapi tidak menjamin ketenangan jiwa. Kebahagiaan hakiki adalah milik manusia dan masyarakat yang berhasil meraih ketenangan hati serta kedamaian batin melalui penyucian jiwa dan pengabdian kepada Allah.




