
Oleh : Mohammad Adlany, Ph.D, Anggota Dewan Syura IJABI
Karbala bukan sekadar tempat pertempuran; ia adalah panggung pengujian kesetiaan sejati. Di sana, manusia dipisahkan antara yang setia pada kepemimpinan Ilahi (al-wilāyah) dan yang tunduk pada kekuasaan duniawi yang zalim. Imam Husain as, cucu Rasulullah saw, menjadi wakil sah dari kepemimpinan yang bersumber dari Allah. Sementara Yazid bin Muawiyah mewakili kekuasaan yang rusak oleh ambisi dan penyimpangan. Kisah Karbala adalah panggilan sejarah: apakah kita akan setia kepada pemimpin Ilahi, atau tunduk kepada penguasa duniawi?
Al-Qur’an dengan jelas membimbing umat kepada kepemimpinan yang bersumber dari Allah, bukan dari hawa nafsu manusia. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya wali (pemimpin) kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang menegakkan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku’.” (QS. Al-Ma’idah: 55)
Ayat ini turun tentang Imam Ali bin Abi Thalib as, dan menjadi dasar penting bahwa kepemimpinan (wilayah) bukan hasil konsensus politik semata, tapi ketetapan Ilahi.
Imam Husain adalah penerus kepemimpinan Ilahiyyah setelah ayahnya (Imam Ali) dan saudaranya (Imam Hasan). Ia bukan hanya pemimpin politik, tetapi pemimpin ruhani dan moral umat. Ketika Yazid yang fasiq dan zalim merebut kekuasaan dan meminta baiat dari Husain, Imam menjawab dengan tegas:
مثلي لا يبايع مثله
“Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti dia.” (Tarikh al-Tabari, jil. 5)
Baiat bukan sekadar formalitas. Ia adalah bentuk pengakuan terhadap kepemimpinan. Dan Imam Husain menunjukkan bahwa kesetiaan kepada kepemimpinan Ilahi lebih utama daripada keselamatan pribadi.
Para sahabat Imam Husain di Karbala adalah para pecinta pemimpin Ilahi, yang setia hingga hembusan napas terakhir. Di malam Asyura, Imam memadamkan lampu dan membebaskan mereka untuk pergi. Tapi mereka justru berkata:
يا أبا عبد الله، لو قُتِلنا ثم نُشرنا سبعين مرة ما فارقناك أبداً!
“Wahai Aba Abdillah, andai kami dibunuh lalu dihidupkan kembali 70 kali pun, kami takkan meninggalkanmu selamanya!” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 298)
Kesetiaan ini bukan karena hubungan darah atau kepentingan dunia. Tapi karena mereka yakin bahwa Imam Husain adalah representasi kehendak Tuhan di muka bumi dan manusia sempurna yang mesti ditaati dan diteladani
Ziarah ‘Asyura adalah deklarasi spiritual tentang kesetiaan kepada kepemimpinan ilahi. Dalam ziarah itu, kita bersaksi:
إني سلمٌ لمن سالمكم، وحربٌ لمن حاربكم إلى يوم القيامة.
“Aku damai kepada siapa yang berdamai dengan kalian, dan memerangi siapa yang memerangi kalian hingga Hari Kiamat.”
Kalimat ini menegaskan bahwa kesetiaan kepada Ahlulbait dan pemimpin Ilahi bukan hanya cinta emosional, tapi komitmen aktif terhadap kebenaran yang mereka wakili.
Imam Ja‘far Shadiq as berkata:
من عرفنا كان مؤمناً، ومن أنكرنا كان كافراً، ومن جهلنا كان ضالاً حتى يرجع إلى هدى الله الذي افترض عليه من طاعتنا.
“Siapa yang mengenal kami, dia mukmin. Siapa yang mengingkari kami, dia kafir. Dan siapa yang jahil terhadap kami, dia sesat hingga ia kembali kepada hidayah Allah yang mewajibkan ketaatan kepada kami.” (Bihar al-Anwar, jil. 25, hal. 267)
Keselamatan spiritual dan sosial, menurut Ahlulbait, bergantung pada ketaatan kepada imam yang ditunjuk oleh Allah. Penolakan terhadap kepemimpinan ilahi adalah bentuk pembelotan terhadap agama.
Karbala bukan kisah masa lalu. Ia adalah cermin hari ini. Kita hidup di zaman di mana banyak bentuk kekuasaan mencoba menggantikan nilai-nilai ilahiah dengan ambisi kekuasaan. Dalam kondisi seperti itu, kesetiaan kepada prinsip-prinsip kepemimpinan Ilahi menjadi sangat penting: menolak pemimpin yang zalim dan manipulatif, mendukung pemimpin yang adil, bertakwa, dan membela kebenaran, mengenali pemimpin sejati bukan dari jabatannya, tapi dari hubungannya dengan nilai-nilai langit.
Menjadi pecinta Imam Husain bukan hanya menangis saat Muharram, tapi menyambung kesetiaan kepada kepemimpinan ilahi dalam kehidupan nyata. Kita harus belajar membedakan antara pemimpin duniawi yang mencari tahta, dengan pemimpin spiritual yang membawa cahaya.
Karbala mengajarkan: keselamatan bukan pada jumlah, tapi pada kesetiaan kepada kebenaran. Maka mari menjadi bagian dari barisan Husain, barisan kebenaran, yang setia kepada wilayah Allah, bahkan bila harus berkorban segalanya.
