Islam dan Rasionalitas

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Sering kali agama dianggap berseberangan dengan rasionalitas: agama berbicara tentang iman, sementara akal berbicara tentang logika. Pandangan ini lahir dari dikotomi yang terlalu sederhana. Dalam Islam, akal justru menempati kedudukan yang sangat tinggi. Ia adalah anugerah Ilahi untuk memahami wahyu, membedakan antara benar dan salah, serta menuntun manusia menuju kesempurnaan.
Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk menggunakan akalnya melalui istilah tafakkur (merenung mendalam), ta‘aqqul (berakal), tadabbur (menelaah), dan tadzakkur (mengambil pelajaran). Kata tafakkur dan derivasinya muncul 18 kali dalam Al-Qur’an. Kata ta‘aqqul dan derivasinya muncul 49 kali. Kata tadabbur muncul 4 kali. Dan kata tadzakkur muncul 39 kali.
Dalam al-Quran surah Ali ‘Imran ayat 191 menggambarkan orang beriman yang senantiasa mengingat Allah dalam segala keadaan (berdiri, duduk, berbaring) dan merenungkan ciptaan-Nya. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”
Tafakkur di sini berarti merenung secara mendalam atas tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta sehingga melahirkan kesadaran bahwa ciptaan-Nya tidak sia-sia. Hasil dari tafakkur adalah tumbuhnya iman, rasa syukur, dan doa agar dijauhkan dari neraka.
Al-Quran mengecam Bani Israil yang menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi melupakan diri mereka sendiri. Allah menegur dengan pertanyaan retoris: “Apakah kalian tidak berakal?” Dalam surah al-Baqarah ayat 44 diungkapkan:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”
Ta‘aqqul berarti menggunakan akal secara konsisten dalam berpikir dan bertindak. Orang yang benar-benar berakal tidak akan bersikap munafik: memerintahkan kebaikan tetapi meninggalkan kewajiban sendiri. Jadi, pesan utama ayat ini adalah konsistensi akal dengan amal.
Di tempat lain al-Quran mengajak manusia untuk tidak sekadar membaca, tetapi merenungkan kandungan al-Qur’an secara mendalam. Jika benar-benar ditadabburi, akan jelas bahwa al-Qur’an konsisten, tanpa kontradiksi, sehingga pasti berasal dari Allah. Allah Swt berfirman dalam surah an-Nisa’ ayat 82:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat banyak pertentangan di dalamnya.”
Jadi, tadabbur menekankan pemahaman mendalam dan kritis atas wahyu, bukan hanya bacaan lahiriah. Tadabbur bermakna mendalami, memperhatikan, dan melihat akibat dari sesuatu.
Allah menyebut bahwa Al-Qur’an penuh dengan perumpamaan, agar manusia bisa mengambil hikmah darinya. Hal ini terungkap dalam surah az-Zumar ayat 27:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِن كُلِّ مَثَلٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Sungguh, dalam Al-Qur’an ini telah Kami buatkan bagi manusia segala macam perumpamaan agar mereka mendapat pelajaran.”
Tadzakkur bermakna mengambil pelajaran, mengingat, dan menjadikan sesuatu sebagai peringatan. Jadi, tadzakkur adalah proses mengingat kebenaran dan menjadikannya bekal hidup, bukan hanya pengetahuan intelektual.
Ayat-ayat suci al-Quran tersebut menegaskan bahwa iman bukan sekadar dogma, melainkan harus lahir dari kesadaran intelektual dan refleksi rasional.
Hidup manusia berdiri di atas akal; agama dan moral tak akan tegak tanpa akal sebagai dasarnya. Akal adalah pondasi agama, dan agama bukan sekadar ritual, melainkan harus dijalani dengan pemahaman rasional. Tanpa akal, seseorang tidak bisa memahami tauhid, etika, maupun tujuan ibadah. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
لَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ
“Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 11)
قِوَامُ الْمَرْءِ عَقْلُهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ
“Penopang hidup seseorang adalah akalnya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.” (Rawḍat al-Wa‘iẓin, hal. 4)
Akal adalah alat untuk mengenal Allah dan melaksanakan ibadah dengan benar serta meraih puncak kesempurnaan dan kebahagiaan. Ibadah tanpa akal hanya menjadi rutinitas kosong tanpa makna. Imam Ali as berkata:
العقلُ ما عُبِدَ به الرَّحمنُ واكتُسِبَ به الجِنان
“Akal adalah sarana dengan mana Tuhan Yang Maha Pengasih disembah dan surga diperoleh.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 11)
Seorang mukmin tidak boleh berjalan dalam kegelapan taklid buta; akal menjadi kompas moral dan spiritual yang menuntunnya pada kebenaran. Perkara ini ditegaskan dalam ungkapan Imam Ja‘far al-Shadiq as:
العقلُ دليلُ المؤمنِ
“Akal adalah penunjuk jalan bagi orang beriman.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 25)
Agama berdiri di atas dua otoritas: wahyu (luar) dan akal (dalam). Keduanya saling melengkapi: akal menuntun pada penerimaan wahyu, wahyu menyempurnakan akal. Imam Musa al-Kazhim as berkata kepada Hisham:
إنّ لله على الناس حجّتَين: حجّةً ظاهرةً وحجّةً باطنةً. فأمّا الظاهرةُ فالرسلُ والأنبياءُ والأئمةُ، وأمّا الباطنةُ فالعقولُ
“Sesungguhnya Allah memiliki dua hujjah atas manusia: hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Adapun hujjah lahiriah adalah para rasul, nabi, dan imam; sementara hujjah batiniah adalah akal.” (Al-Kulaini, al-Kafi, jilid 1, hal. 16)
Perenungan mendalam tentang Allah, kehidupan, dan akhirat dapat melahirkan perubahan besar dalam diri, melebihi sekadar ritual panjang tanpa pemahaman. Rasulullah saw bersabda:
فِكْرَةُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ
“Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah setahun.” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 78, hal. 115)
Tentang keutamaan berpikir, Imam Ali as menegaskan pula:
فكر ساعة قصيرة خير من عبادة طويلة
“Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah yang panjang.” (Ghurar al-Hikam: 6537)
Kualitas ibadah terletak pada kesadaran, bukan pada kuantitasnya. Tafakkur menumbuhkan hikmah, sementara ibadah tanpa tadabbur bisa kering makna.
Tafakkur sejati adalah merenungi kefanaan dunia: bangunan hancur, penghuni yang telah tiada. Hal ini menggugah hati untuk menyadari hakikat hidup dan kembali kepada Allah. Tafakkur semacam ini lebih mendidik jiwa daripada ibadah malam tanpa kesadaran. Imam Ja‘far al-Ṣhadiq as bersabda:
لما سأله الحسن الصيقل: تفكر ساعة خير من قيام ليلة؟ -: نعم، قال رسول الله (صلى الله عليه وآله): تفكر ساعة خير من قيام ليلة، قلت: كيف يتفكر؟ قال: يمر بالدور الخربة فيقول: أين بانوك؟ أين ساكنوك؟ مالك لا تتكلمين؟
Ketika ditanya oleh al-Ḥasan al-Ṣayqal: “Apakah berpikir sejenak lebih baik daripada shalat malam semalam suntuk?” – beliau menjawab: “Ya. Rasulullah saw bersabda: ‘Berpikir sejenak lebih baik daripada shalat malam semalam suntuk.’” Aku (al-Ḥasan) bertanya: “Bagaimana cara berpikir itu?” Beliau (al-Ṣhadiq) menjawab: “Seseorang melewati rumah-rumah yang telah hancur, lalu ia berkata: ‘Di manakah para pembangunnya? Di manakah para penghuninya? Mengapa engkau (wahai bangunan) tidak berbicara?’” (Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 71, hal. 324)
Imam al-Baqir as berkata bahwa misi utama kenabian adalah membangkitkan dan menyempurnakan akal manusia, agar mereka mengenal Allah, memahami wahyu, dan bertindak dengan penuh bijak. Derajat manusia diukur dari kesempurnaan akalnya.
مَا بَعَثَ اللَّهُ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ إِلَىٰ عِبَادِهِ إِلَّا لِيَعْقِلُوا عَنِ اللَّهِ، فَأَحْسَنُهُمْ اسْتِجَابَةً أَحْسَنُهُمْ مَعْرِفَةً، وَأَعْلَمُهُمْ بِأَمْرِ اللَّهِ أَحْسَنُهُمْ عَقْلًا، وَأَكْمَلُهُمْ عَقْلًا أَرْفَعُهُمْ دَرَجَةً فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Allah tidak mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya kecuali agar mereka menggunakan akalnya untuk memahami Allah. Yang terbaik penerimaannya adalah yang terbaik pengetahuannya, yang paling mengetahui urusan Allah adalah yang paling baik akalnya, dan yang paling sempurna akalnya adalah yang paling tinggi derajatnya di dunia dan akhirat.” (Al-Kafī, jilid 1, hal. 16, hadis no. 12.)
Imam al-Baqir as mengungkapkan bahwa kehilangan harta atau kesehatan bukan musibah terbesar; yang terburuk adalah hilangnya akal, sebab tanpa akal, manusia kehilangan arah hidup. Akal adalah modal utama manusia; jika hilang, maka hilanglah segalanya.
لَا مُصِيبَةَ كَعَدَمِ الْعَقْلِ
“Tidak ada musibah yang lebih besar daripada hilangnya akal.” (Tuḥaf al-‘Uqul, hal. 286.)
Akal adalah nikmat terbesar. Ketika akal dicabut, maka nikmat lain—agama, harta, dan kedudukan—akan kehilangan nilainya. Imam al-Ṣhadiq as bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُزِيلَ مِنْ عَبْدٍ نِعْمَةً كَانَ أَوَّلَ مَا يُغَيِّرُ مِنْهُ عَقْلَهُ
“Apabila Allah hendak mencabut nikmat dari seorang hamba, yang pertama kali diubah darinya adalah akalnya.” (Al-Ikhtiṣaṣ, hal. 245)
Akal adalah teman sejati yang menuntun pada keselamatan, sementara kebodohan menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan. Akal adalah pendamping sejati manusia; kebodohan adalah musuh yang paling berbahaya. Imam al-Riḍha as berkata:
صَدِيقُ كُلِّ امْرِئٍ عَقْلُهُ، وَعَدُوُّهُ جَهْلُهُ
“Sahabat setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya.” (Al-Kafī, jilid 1, hal. 11, hadis no. 4)
Imam Ali as mengungkapkan bahwa akal setia selamanya, tapi sering diabaikan. Nafsu justru musuh, tetapi kebanyakan manusia menaatinya.
الْعَقْلُ صَدِيقٌ مَقْطُوعٌ، وَالْهَوَى عَدُوٌّ مَتْبُوعٌ
“Akal adalah sahabat yang tak pernah terputus, sedangkan hawa nafsu adalah musuh yang selalu diikuti.” (Ghurar al-Ḥikam, ha. 324–325)
Imam Ali as menekankan bahwa bekal sejati bukan harta atau kekuasaan, melainkan akal. Sebaliknya, kebodohan adalah musuh yang paling merusak kehidupan.
لَا عُدَّةَ أَنْفَعُ مِنَ الْعَقْلِ، وَلَا عَدُوَّ أَضَرُّ مِنَ الْجَهْلِ
“Tidak ada bekal yang lebih bermanfaat daripada akal, dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan.” (Biḥar al-Anwar, jilid 1, hal. 95, hadis no. 35)
Di tempat lain, Imam Ali as berkata bahwa akal yang sehat adalah penasihat yang jujur. Orang yang mengandalkan akalnya dalam mengambil keputusan tidak akan mudah terjerumus.
لَا يَغُشُّ الْعَقْلَ مَنِ اسْتَنْصَحَهُ
“Barang siapa meminta nasihat kepada akalnya, ia tidak akan pernah tertipu.” (Nahj al-Balaghah, no. 281)
Hadis-hadis tersebut secara umum memperlihatkan betapa akal dan berpikir kritis dianggap sebagai inti keberagamaan dalam Islam.
Para filosof Muslim menolak anggapan bahwa wahyu dan akal saling bertentangan. Mereka melihat keduanya sebagai dua jalan menuju kebenaran yang sama.
Al-Farabi memandang agama sebagai “perwujudan filsafat dalam bentuk simbol” agar dapat dipahami oleh masyarakat luas. (Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, hal. 90)
Ibn Sina (Avicenna) menegaskan bahwa iman sejati perlu diperkuat oleh argumen rasional. (Al-Najat, hal. 315)
Mulla Sadra merumuskan filsafat al-Hikmah al-Muta‘aliyyah, sebuah sintesis antara akal, wahyu, dan intuisi spiritual. (Al-Asfar al-Arba‘ah, jilid 1, hal. 10)
Mengapa Islam membutuhkan Rasionalitas?
Pertama, rasionalitas melindungi manusia dari taklid buta. Islam mendorong umatnya memahami kebenaran secara sadar, bukan sekadar mengikuti tradisi tanpa argumen.
Kedua, rasionalitas membuat agama selalu relevan dengan tantangan zaman. Perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan teknologi menuntut interpretasi kreatif dengan panduan akal.
Ketiga, iman yang berpijak pada dalil rasional lebih kokoh dibandingkan iman yang hanya diwarisi. Rasionalitas memperkuat keyakinan, bukan melemahkannya.
Kesimpulannya, Islam dan rasionalitas bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Wahyu dapat diibaratkan sebagai cahaya, dan akal sebagai mata: tanpa cahaya, mata tidak berguna; tanpa mata, cahaya tak terlihat.
Seorang Muslim sejati adalah dia yang menyatukan kekuatan hati, akal, dan amal. Dengan demikian, iman tidak berhenti sebagai keyakinan buta, tetapi menjadi kesadaran yang hidup, mendalam, dan bermanfaat bagi kehidupan.
