Karena Dunia Ini Tidak Memiliki Tepi

Selasa, 24 Juni 2025 – oleh Abdul Karim
“Hidup itu sendiri bukanlah sesuatu yang baik atau buruk. Ia adalah tempat terjadinya kebaikan dan keburukan, tergantung apa yang engkau lakukan dengannya.”— Simone de Beauvoir
Apa yang membuat seseorang peduli terhadap penindasan yang terjadi ribuan kilometer jauhnya? Mengapa ada yang menangis melihat reruntuhan di Gaza, merasa bersalah menyaksikan kemiskinan di Kongo, atau geram atas kamp konsentrasi di Tiongkok padahal hidupnya nyaman dan aman di kota lain yang tak terguncang satu pun peluru? Banyak yang mungkin bertanya dengan sinis: bukankah lebih baik mengurus hidup sendiri? Bukankah lebih realistis fokus pada lingkungan terdekat kita saja? Namun, justru di sanalah batas antara nalar yang picik dan etika yang universal. Filsafat, yang pada dasarnya adalah usaha memahami arti menjadi manusia, telah sejak lama memberi kita fondasi untuk menyadari bahwa penderitaan tidak pernah benar-benar jauh, bahwa kejahatan yang dibiarkan tumbuh di tempat lain cepat atau lambat akan menelusup ke ruang hidup kita sendiri, dan bahwa kebebasan adalah ilusi jika tidak kita perjuangkan juga untuk orang lain.
Simone de Beauvoir menulis The Ethics of Ambiguity sebagai penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang dilemparkan ke dalam dunia dengan kebebasan yang tidak pernah absolut, tetapi selalu berada dalam ketegangan antara keinginan dan batas. Ia menolak etika yang menutup mata terhadap kompleksitas eksistensi manusia. Bagi Beauvoir, kebebasan manusia sejati justru ditemukan dalam tindakan, dalam memilih untuk menjadi. Dan pilihan itu menjadi bermakna hanya ketika dilakukan dengan kesadaran bahwa orang lain juga sedang berjuang menemukan kebebasannya sendiri. Maka, jika ada orang lain yang ditindas, dan kita tidak melakukan apapun, kebebasan kita sendiri menjadi cacat. Sebab, kebebasan tidak bisa egois. Ia adalah proyek kolektif yang menuntut solidaritas, bukan karena belas kasihan, melainkan karena kesadaran ontologis bahwa aku tidak bisa menjadi bebas jika kamu masih dalam belenggu.
Beauvoir tidak percaya pada nilai-nilai yang datang dari langit tanpa perantara manusia. Ia percaya bahwa nilai harus diciptakan oleh manusia yang sadar akan kebebasannya. Tetapi menciptakan nilai tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, melainkan justru menanggung tanggung jawab lebih besar. Ketika aku mengakui diriku sebagai makhluk bebas, maka aku juga harus mengakui kebebasan orang lain. Dalam konteks itu, membiarkan orang lain tertindas adalah bentuk sabotase terhadap makna eksistensi itu sendiri. Peduli terhadap penindasan di tempat lain bukanlah pilihan tambahan, tapi konsekuensi logis dari memilih untuk hidup secara etis dan eksistensial.

Noam Chomsky, dalam The Responsibility of Intellectuals, membongkar kedok netralitas dan kebisuan para intelektual yang merasa bahwa urusan dunia bisa dipilah-pilah sesuai batas geografis dan kenyamanan. Ia menunjukkan bahwa kebohongan dan kekejaman seringkali terjadi bukan karena kebrutalan langsung, tetapi karena persetujuan diam-diam dari mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Chomsky menantang kaum intelektual—dan setiap orang yang memiliki akses pada kebenaran—untuk tidak hanya melihat, tetapi juga berbicara, mengungkap, dan bertindak. Ketika bom jatuh di negara yang jauh dan kita memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, dan menyampaikan fakta yang sebenarnya, maka diam adalah bentuk partisipasi dalam penindasan.
Chomsky menekankan bahwa pengetahuan membawa tanggung jawab. Dalam dunia yang terkoneksi ini, ketika berita bisa diakses dalam hitungan detik dan foto-foto penderitaan tersebar cepat melalui jaringan sosial, maka alasan untuk tidak tahu menjadi lemah. Ketidaktahuan hari ini bukanlah keterbatasan informasi, tetapi hasil pilihan untuk menutup mata. Maka, siapa pun yang memilih untuk melihat, tahu bahwa melihat pun adalah tindakan politik. Mengetahui dan tetap diam, menurut Chomsky, bukan netralitas, tetapi kepengecutan. Maka, bahkan jika penindasan itu terjadi di tempat yang tidak kita kenal, dan kita tidak bisa pergi ke sana, kita masih bisa—dan harus—berbuat sesuatu. Menyuarakan, mendidik, mendukung, bahkan sekadar menolak ikut dalam kebohongan, semuanya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
Susan Sontag, dalam Regarding the Pain of Others, mengupas bagaimana gambar-gambar penderitaan bisa menyentuh hati, tetapi juga bisa membuat kita mati rasa. Ia tidak menolak kekuatan visual, tetapi mengkritisi cara kita mengonsumsinya. Sontag bertanya: apakah kita benar-benar peduli saat melihat gambar seorang anak terluka? Ataukah kita hanya mengonfirmasi rasa aman kita sendiri karena bukan kita yang ada dalam foto itu? Sontag tidak menuntut air mata, tapi menantang kita untuk keluar dari posisi sebagai penonton. Ia mengingatkan bahwa melihat penderitaan orang lain seharusnya tidak berhenti pada rasa iba, melainkan berlanjut pada pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan?
Dalam dunia yang terkoneksi ini, ketika berita bisa diakses dalam hitungan detik dan foto-foto penderitaan tersebar cepat melalui jaringan sosial, maka alasan untuk tidak tahu menjadi lemah.
Dalam dunia yang dibanjiri gambar dan narasi, penderitaan bisa menjadi konsumsi seperti berita cuaca. Tetapi Sontag mengingatkan bahwa setiap gambar adalah panggilan. Dan respons kita terhadap panggilan itu menunjukkan siapa kita. Jika kita merasa terganggu, itu baik. Jika kita terus merasa terganggu, itu lebih baik. Tapi yang paling penting adalah apakah gangguan itu menggerakkan kita untuk menolak dunia yang menjadikan penderitaan sebagai hal biasa. Maka, ketika kita melihat kota yang hancur di Ukraina, kamp pengungsi di Palestina, atau perempuan-perempuan yang dipaksa bungkam di Iran, itu bukan hanya tentang mereka—itu tentang kita, tentang keberanian kita untuk tidak larut dalam kekebalan emosional yang nyaman.
Ketiga pemikir ini—Beauvoir, Chomsky, dan Sontag—berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi mereka menyuarakan satu hal yang sama: bahwa menjadi manusia adalah tentang bertanggung jawab, tidak hanya atas diri sendiri, tetapi juga terhadap dunia. Dunia ini memang luas, tetapi penderitaan tidak pernah jauh. Ia menyelinap lewat layar ponsel kita, lewat percakapan, lewat wacana publik. Ia hadir di antara keputusan politik, produk-produk yang kita beli, dan kebijakan luar negeri yang kita abaikan. Maka, jika kita tidak peduli karena merasa itu bukan urusan kita, kita sedang menciptakan dunia yang memungkinkan penindasan terus terjadi. Dunia yang dibuat oleh orang-orang yang memilih nyaman daripada adil, aman daripada jujur.
Kepedulian bukanlah soal romantisme, melainkan etika. Membantu bukan berarti harus menyelesaikan semuanya, tetapi berarti berdiri di sisi yang benar, meskipun sunyi. Ketika seseorang menyumbang untuk korban perang, berbicara menentang pembantaian, atau sekadar menolak ikut menyebar hoaks yang membenarkan kekerasan, itu adalah tindakan filsafat. Ia menyatakan bahwa manusia masih bisa memilih untuk tidak tunduk pada logika kekuasaan yang membenarkan segalanya demi stabilitas, investasi, atau identitas nasional.
Beauvoir menulis bahwa hidup adalah tempat berlangsungnya baik dan buruk, tergantung apa yang kita buat darinya. Maka, jika hari ini kita hidup di dunia di mana penindasan masih terjadi, tanggung jawab kita bukan hanya mengutuk, tetapi menciptakan kondisi di mana kebaikan bisa tumbuh. Dunia tidak akan berubah karena satu tindakan, tetapi ia akan membusuk jika tidak ada satu pun tindakan. Maka, peduli terhadap yang tertindas—bahkan jika mereka jauh—adalah cara kita menyatakan bahwa dunia ini masih layak untuk diperjuangkan. Bahwa kemanusiaan belum mati. Bahwa di tengah kebisingan propaganda dan ketidakpedulian, masih ada suara yang berkata: tidak, ini tidak benar. Dan saya tidak akan diam.
Jika kita merasa dunia ini terlalu besar, ingatlah bahwa kebaikan selalu dimulai dari keputusan paling kecil: mendengar jeritan yang bukan berasal dari rumah sendiri, lalu memilih untuk tidak memalingkan muka. Sebab dunia ini tidak memiliki tepi—penderitaan yang jauh hari ini, bisa jadi mendekat esok hari. Dan ketika itu terjadi, kita akan berharap ada yang peduli, bahkan jika kita berada di ujung dunia yang sepi.
Daftar Pustaka
Beauvoir, Simone de. The Ethics of Ambiguity. Translated by Bernard Frechtman. Citadel Press, 2000.
Chomsky, Noam. The Responsibility of Intellectuals. The New Press, 2017.
Sontag, Susan. Regarding the Pain of Others. Picador/Farrar, Straus and Giroux, 2004

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT