Khazanah

Memoria, Spiritualitas dan Anti-Hegemoni

Oleh : Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Manusia tak lain adalah “hewan yang mengingat” (animal symbolicum/memoria). Memoria atau ingatan sungguh merupakan inti pembentuk identitas, makna, dan perlawanan.

Aristoteles dalam De Anima menyebut memori (mneme) dan pengalaman lampau sebagai fondasi pengetahuan. Manusia berbeda dari hewan karena kemampuannya menyusun narasi dari ingatan. Sedangkan, Giambattista Vico dalam Scienza Nuova menegaskan bahwa sejarah manusia adalah produk ingatan kolektif yang membangun peradaban melalui mitos, bahasa, dan institusi. Friedrich Nietzsche dalam On the Use and Abuse of History for Life seolah meluaskan Vico. Ia menekankan bahwa ingatan bukan sekadar rekam jejak, tapi kekuatan aktif untuk membentuk masa depan. Tanpa ingatan, manusia kehilangan “duri” yang mendorong perlawanan.

Bagaimana ingatan bisa membentuk makna? Dalam Time and Narrative, Ricoeur menjelaskan bahwa identitas diri adalah “narasi” yang dirajut dari ingatan. Kita menjadi diri dengan menyusun fragmen ingatan menjadi kisah koheren. Lebih lanjut, menurut Mircea Eliade dalam The Sacred and the Profane, ingatan religius menciptakan “hierofani” — momen ketika yang sakral hadir dalam ingatan kolektif (ritual, mitos penciptaan), menghubungkan manusia dengan kosmos dan transendensi. Sedangkan, mengenai makna Sejarah, Maurice Halbwach mengatakan bahwa ingatan kolektif (mémoire collective) adalah kerangka sosial yang membentuk sejarah. Sejarah resmi seringkali merupakan ingatan penguasa, sementara ingatan rakyat tersubordinasi. 

Lebih lanjut, kekasih dan keluarga pun muncul dari jalinan ingatan. Dalam The Human Condition, Hannah Arendt memaparkan bahwa cinta dan ikatan keluarga lahir dari “janji” yang diingat bersama. Ingatan menjadi ruang privat tempat keintiman dan kesetiaan dipupuk.

iklan

Menyeberang dari makna-makna privatnya menuju ruang yang lebih luas, Antonio Gramsci menjelaskan bagaimana ingatan bisa melanggengkan atau meruntuhkan kuasa besar hegemonik. Suatu hegemoni bisa bertahan dengan mengontrol narasi dominan. Ingatan yang terpinggirkan (subaltern) berpotensi meruntuhkannya ketika kisah-kisah dan ingatan-ingatan yang disembunyikan dihidupkan kembali. Selaras dengan itu, dalam Theses on the Philosophy of History, Walter Benjamin menyeru: “Setiap zaman bermimpi akan zaman berikutnya.” Ingatan tentang penderitaan masa lalu (misalnya, korban kolonialisme) adalah “mesin waktu” untuk membangunkan kesadaran revolusioner.

Gagasan Gramsci juga beresonansi dengan Michael Foucault. Menurut Foucault,  kuasa dominan mengontrol melalui “regime of truth”. Dalam Archaeology of Knowledge, ia menunjukkan bahwa menggali ingatan yang terpendam (sejarah lokal, ingatan tubuh) adalah bentuk perlawanan terhadap wacana resmi. Selaras dengan itu , menurut Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, ingatan kolektif tentang penindasan kolonial menjadi bahan bakar dekolonisasi. Mengingat adalah langkah pertama merebut kembali kemanusiaan yang dirampas.

Menurut K.H. Miftah Fauzi Rakhmat, kita sebagai manusia senantiasa harus merawat ingatan. Melalui merawat ingatan, kita terhubung dengan diri kita sendiri, Yang Transenden dan Yang Suci, sejarah bagaimana kita sampai pada titik ini yang juga menunjukkan arah ke mana kita akan pergi. Berbagai aktifitas untuk merawat ingatan, sangat bagus untuk kita lakukan. Terkhusus merawat ingatan berkenaan hal-hal yang terpenting bagi ummat manusia dan kemanusiaan. Di antaranya adalah merawat ingatan berkenaan dengan penderitaan Nabi saw dan keluarganya yang suci as. 

Telah dikenal secara luas riwayat yang menjelaskan bahwa barangsiapa yang bergembira manakala teringat kegembiraan Nabi saw dan keluarganya as. dan berduka manakala teringat dukacita Nabi saw dan keluarganya, akan bergabung dengan Nabi saw dan keluarganya as. di Surga Tertinggi. Meminjam terminologi filsafat Hikmah Shadra dan Thabathabai, mereka bertransformasi sehingga substansi jiwa dan dirinya sedikit-sedikit bergabung dengan Nabi saw dan keluarganya as.  

Selain dimensi spiritualnya, merawat ingatan juga memiliki makna perlawanan. Seperti ditunjukkan Pierre Nora dalam Lieux de Mémoire (“Tempat Ingatan”), monumen, arsip, atau tradisi lisan adalah benteng melawan lupa yang dipaksakan negara.  Shoshana Felman (dalam Testimony) menunjukkan bahwa kesaksian korban kekerasan negara (seperti genosida) meruntuhkan penyangkalan rezim. Ingatan trauma menjadi alat keadilan. Genosida terhadap para loyalis keluarga Nabi as di jaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah dirawat ingatannya dari satu majelis duka Keluarga Nabi as  ke majelis duka berikutnya. Dari Arbain ke Arbain. Dalam merawat ingatan, karya seni yang menyentuh hati juga tidak kalah penting; ia bisa menjadi ingatan, menjadi senjata simbolik.

Manusia adalah makhluk yang ‘menjadi’ melalui ingatan. Ketika ingatan diri, semesta, Tuhan, sejarah, dan cinta dirawat, ia membentuk “ruang pengandaian” (Ricoeur) untuk dunia yang lebih adil. Merawat ingatan yang terpinggirkan bukanlah nostalgia, melainkan: mengganti narasi penguasa dengan kisah yang manusiawi. Kemudian, merawat ingatan juga seperti kata Benjamin, “Menyulut percikan harapan di masa lalu yang tertindas.” Dalam kata-kata Milan Kundera: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Di situlah manusia menemukan kealamiahannya — bukan sebagai hewan yang material semata, tapi sebagai pencerita berkesadaran, memiliki empati, mampu mengingat, merajut ingatan, merawat ingatan, dan bahkan manusia mampu memberontak karena ingatan yang ia rawat. 

Dalam hiruk-pikuk zaman yang memuja lupa, Kyai Miftah tadi mengingatkan kita semua agar ingat. Dan agar merawat ingatan. Terutama pada Tuhan, pada Nabi saw dan amanat yang dititipkan Nabi saw pada ummatnya, yakni Ahlul Bait Nabi as.  Al-Qur’an mengingatkan: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri” (Al-Hasyr: 19). Ayat ini menjadi landasan falsafah manusia sebagai “hewan yang mengingat” (ḥayawān al-dhākir) – makhluk yang identitasnya terbentuk dari kesadaran sejarah.  Dan menurut Kyai Miftah, sesungguhnya lupa dan tidak berupaya merawat ingatan adalah sifat kaum munafik. Na’udzubillahi min dzalik.

Maka, selamat merajut dan merawat ingatan demi ingatan di Bulan Duka, semoga bergabung dengan kedukaan Imam Zaman afs. dalam hal bencana agung yang menimpa Imam Husain as dan para sahabatnya dan keluarganya. Yâ laitanî kuntu ma’akum fa nafûza ma’akum.

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button