Kegiatan

NGOBRAS Seri 3: “Apakah AI Bisa Mencalonkan Diri Sebagai Presiden 2029? – Tentang Kesadaran AI” 

Jakarta, 24 Oktober 2025 — Di tengah percepatan kemajuan teknologi, khususnya pada bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), NGOBRAS (Ngobrolin Agama & Sains) Seri-3 yang diselenggarakan oleh IJABI, ICC Jakarta, dan PUSKABI menghadirkan sebuah tema yang unik sekaligus menantang: 
“Apakah AI Bisa Mencalonkan Diri Sebagai Presiden 2029? – Tentang Kesadaran AI.” 

Diskusi yang berlangsung di Aula Imam Khomeini, ICC Jakarta ini menghadirkan dua narasumber utama: 

  • Dr. Budi Sulistyo, ST, MT, CISA, CDSM, penulis buku “Apakah Silikon Bisa Menangis?” sekaligus praktisi dan pakar AI serta IT; dan 
  • Ir. Sayyid Hasan Shahab, MA, Ketua Asosiasi Data Sains dan AI Indonesia (ASDASI). 

Acara dipandu secara interaktif oleh Dr. Akmal Kamil, MA sebagai moderator. 

Dr. Budi Sulistyo, ST, MT, CISA, CDSM, Ir. Sayyid Hasan Shahab, MA, dan Dr. Akmal Kamil, MA

AI: Antara Kemampuan dan Kesadaran 

Dalam pemaparannya, Dr. Budi Sulistyo menyoroti kemajuan AI yang kini telah mampu meniru cara berpikir dan berbahasa manusia melalui model besar bahasa (Large Language Models) serta sistem multimodal. Namun, menurutnya kemampuan imitasi itu belum berarti bahwa AI memiliki kesadaran sejati. 

iklan

“Kesadaran tidak bisa diprogram. AI hanyalah alat statistik, bukan makhluk yang sadar akan dirinya,” 
tegas Dr. Budi dalam penjelasannya. 

Ia menambahkan bahwa meskipun AI dapat meniru ekspresi, menulis puisi, atau merespons percakapan secara alami, semua itu hanyalah hasil kalkulasi matematis tanpa unsur kesadaran atau niat. 

Perspektif Filsafat dan Agama 

Sementara itu, Ir. Sayyid Hasan Shahab mengangkat dimensi yang lebih filosofis dan spiritual. Ia menjelaskan bagaimana tradisi pemikiran agama—terutama filsafat klasik Islam seperti yang digagas oleh Ibnu Sina dan Mulla Sadra—memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa, akal, dan tanggung jawab moral. 

Dalam konteks ini, AI, meskipun mampu “berpikir” secara komputasional, tetaplah ciptaan manusia dan tidak memiliki dimensi ruhani atau moral sebagaimana manusia. Oleh karena itu, wacana tentang AI yang memiliki kesadaran atau hak politik masih jauh dari kenyataan. 

“Kecerdasan buatan tidak memiliki tanggung jawab moral. Karena itu, konsep ‘AI mencalonkan diri sebagai Presiden’ lebih tepat dipandang sebagai refleksi etis dan filosofis, bukan kemungkinan politik yang nyata,” ujar Ir. Hasan Shahab. 

AI dalam Ruang Publik dan Etika Kepemimpinan 

Diskusi juga menyinggung fakta bahwa di beberapa negara, AI telah mulai digunakan dalam fungsi-fungsi pemerintahan seperti sistem analisis kebijakan atau AI advisory. Namun hingga kini, belum ada preseden di mana AI benar-benar mencalonkan diri sebagai pemimpin politik. 

Pertanyaan pun muncul dari peserta: 
“Seandainya AI benar-benar mencalonkan diri menjadi Presiden, apakah ia bisa memahami penderitaan manusia, memiliki empati, dan menanggung beban moral keputusan politik?” 

Pertanyaan tersebut menggambarkan dilema besar di era digital — ketika batas antara kemampuan mesin dan kesadaran manusia mulai kabur. Namun para narasumber sepakat bahwa hingga kini, AI masih berada pada posisi sebagai alat bantu manusia, bukan pengganti manusia itu sendiri. 

Melalui NGOBRAS Seri-3 ini, IJABI bersama ICC Jakarta dan PUSKABI menegaskan pentingnya dialog lintas ilmu antara agama, sains, dan etika dalam menyikapi perkembangan teknologi modern. Kemajuan AI memang luar biasa, tetapi pada akhirnya, kesadaran, tanggung jawab moral, dan nilai kemanusiaan tetap menjadi ciri khas manusia yang tak tergantikan oleh mesin. 

Admin IJABI
Reporter |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button