Prayitna

Oleh Abdul Karim
“Ing jero geger sejarah, ana bangsa kang ora mung ngadhepi prahara, nanging uga sinau kanggo ngerti makna kedaulatan.”
Kampanye panjang melawan Iran bukan sekadar kisah politik modern; ia adalah manifestasi dari bagaimana kekuasaan global mengonstruksi musuh melalui propaganda, ketakutan, dan rencana sistematis. Dari demonisasi figur hingga strategi militer yang disiapkan dengan teliti, setiap lapisan narasi ini membongkar bukan hanya niat untuk melemahkan sebuah negara, tetapi juga upaya menghapus memori kolektifnya sebagai bangsa yang merdeka. Iran berdiri di persimpangan sejarah ini, tidak sekadar sebagai objek kebijakan luar negeri, melainkan sebagai subjek perlawanan yang menolak tunduk pada arsitektur dominasi global.
Perang propaganda yang menyelimuti Iran bekerja seperti jaring halus yang dirancang untuk mencekik wacana alternatif. Narasi tentang ancaman nuklir bukanlah refleksi kekhawatiran keamanan murni, tetapi instrumen wacana yang membentuk opini publik dunia agar menerima agresi sebagai kebutuhan moral. Ketakutan ini diproduksi melalui repetisi simbolik: Iran bukan hanya negara dengan ambisi teknologi, melainkan ancaman eksistensial. Dalam mekanisme ini, istilah “nuclear rival” diputarbalikkan menjadi dalih etis bagi isolasi, sanksi, dan persiapan perang. Di baliknya, ada bayang-bayang kekuatan yang ingin memastikan tidak ada pusat kekuasaan independen di Timur Tengah yang mampu menandingi poros hegemoni yang sudah dibentuk.
Persiapan militer Amerika Serikat bukan sekadar respons spontan terhadap “ancaman,” melainkan bagian dari rancangan yang telah dipertimbangkan lama. Doktrin serangan pre-emptive dan pergeseran kebijakan keamanan global menjadikan Iran target strategis berikutnya setelah Irak. Dalam peta besar itu, kejatuhan Baghdad bukanlah akhir, tetapi permulaan. Iran ditempatkan sebagai simpul yang harus diputus untuk memastikan struktur baru Timur Tengah yang terkendali. Narasi publik menampilkan kesiapan militer sebagai langkah pencegahan, tetapi di baliknya terdapat logika ofensif: menghancurkan sumber kemandirian politik yang menolak tunduk pada desain geopolitik Barat.
Mengembalikan Lebanon dua dekade ke belakang melalui perang menjadi bagian dari strategi tidak langsung untuk melemahkan Iran. Serangan brutal itu bukan hanya terhadap infrastruktur fisik, tetapi juga jaringan sosial-politik yang dianggap menjadi perpanjangan pengaruh Iran. Ini adalah politik kehancuran yang terencana, di mana waktu dan memori kolektif dihancurkan bersamaan dengan bangunan dan jalan. Dalam strategi ini, perang menjadi mesin yang mengatur ulang lanskap regional sesuai kehendak pihak yang berkuasa, dan Iran dijadikan simbol yang harus diputus dari setiap jejaring solidaritas.
Bukti bahwa perang ini telah direncanakan jauh sebelum narasi publik mengemuka menunjukkan bahwa ini bukan respons atas situasi dinamis, melainkan skenario yang menunggu momentum. Setiap kebocoran dokumen, setiap pengakuan pejabat, menyatukan potongan puzzle bahwa Iran telah lama menjadi sasaran. Ketika narasi resmi berbicara tentang keamanan, realitas di balik layar adalah perebutan kedaulatan dan sumber daya strategis. Iran, dengan sejarah panjang perlawanan terhadap intervensi asing, menjadi lambang ketidakpatuhan yang harus dikoreksi dengan kekerasan.
Syria, yang “seharusnya menjadi berikutnya,” memperlihatkan bagaimana kampanye ini bukan hanya tentang satu negara, tetapi proyek lebih besar membentuk ulang peta kekuatan regional. Dalam arsitektur itu, Iran menjadi pusat gravitasi yang harus diguncang agar rantai lain runtuh. Strategi domino ini menegaskan bahwa konflik bukan sekadar reaksi terhadap kebijakan domestik sebuah negara, tetapi proyek sistematis yang menginginkan Timur Tengah menjadi ruang tanpa pusat kedaulatan alternatif.
Di Washington sendiri, perebutan pengaruh antara faksi politik menyingkap bagaimana kebijakan luar negeri sering menjadi arena pertarungan kepentingan yang lebih besar daripada isu keamanan itu sendiri. Iran digunakan sebagai cermin ideologi: siapa yang memegang kendali, dialah yang menentukan arah dominasi. Perebutan ini memperlihatkan bahwa kampanye melawan Iran bukan hanya tentang geopolitik Timur Tengah, tetapi juga tentang identitas kekuasaan Amerika itu sendiri.
Ahmadinejad dijadikan figur utama dalam demonisasi ini, dilabeli sebagai “Hitler baru.” Analogi ini tidak hanya meminjam ingatan traumatis sejarah, tetapi juga berfungsi membungkam kompleksitas politik Iran. Dengan menempatkannya sebagai tiran absolut, seluruh bangsa direduksi menjadi ancaman monolitik. Strategi ini bekerja efektif dalam menghapus nuansa, membuat serangan apapun tampak sebagai tindakan penyelamatan moral. Namun di balik itu, kita melihat refleksi ketakutan kekuatan hegemonik terhadap bangsa yang menolak tunduk pada arsitektur global mereka.
Iran sendiri tidak tinggal diam dalam arus besar ini. Sejarah panjangnya sebagai bangsa yang mengalami kudeta, invasi, dan sanksi telah menumbuhkan kesadaran mendalam tentang kedaulatan. Dari revolusi yang menggulingkan monarki boneka hingga bertahan dalam perang panjang, ada memori kolektif yang menolak untuk dihapus. Setiap upaya propaganda justru memperkuat kesadaran itu: bahwa kemerdekaan sejati tidak diberikan, tetapi dipertahankan melalui pengorbanan. Dalam konteks inilah Iran berdiri bukan hanya sebagai negara, tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap tatanan dunia yang ingin menghapus kedaulatan bangsa-bangsa.
Propaganda yang diarahkan terhadap Iran membuka wajah telanjang kolonialisme modern: bukan lagi penjajahan langsung, melainkan perang wacana dan ekonomi yang membungkus agresi militer. Namun seperti setiap proyek dominasi, ia melahirkan tandingan. Di balik demonisasi, muncul narasi-narasi alternatif yang membongkar kebohongan, mengembalikan suara bangsa yang coba dibungkam. Iran, dalam kesendiriannya di panggung global, menemukan kekuatan bukan hanya dalam senjata, tetapi dalam narasi yang mempertahankan eksistensinya.
Esai ini menyingkap bahwa kampanye panjang melawan Iran bukan sekadar konflik negara, tetapi medan pertempuran antara kedaulatan dan hegemoni, antara memori bangsa dan mesin penghapus sejarah. Prayitna menjadi sikap yang bukan hanya relevan, tetapi mendesak: kesadaran untuk tetap waspada, menjaga ingatan, dan mempertahankan kedaulatan di tengah arus besar kekuasaan global. Iran, dalam segala kompleksitasnya, mengajarkan bahwa perlawanan bukan hanya soal senjata, tetapi tentang menjaga makna menjadi bangsa yang tidak tunduk.
Daftar Pustaka
Chomsky, Noam. Hegemony or Survival: America’s Quest for Global Dominance. New York: Metropolitan Books, 2003.
Dabashi, Hamid. Iran: A People Interrupted. New York: The New Press, 2007.
Foucault, Michel. Society Must Be Defended: Lectures at the Collège de France, 1975–1976. New York: Picador, 2009.
Kinzer, Stephen. All the Shah’s Men: An American Coup and the Roots of Middle East Terror. Hoboken: John Wiley & Sons, 2008.
Mearsheimer, John J., and Stephen M. Walt. The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007.
Said, Edward. Orientalism. London: Penguin, 1978.
Cook, Jonathan. Israel and the Clash of Civilisations: Iraq, Iran and the Plan to Remake the Middle East. London: Pluto Press, 2008.

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT