Uncategorize

Rumah Yang Dirampas Dan Jalan Lain Untuk Palestina

Solusi Dua Negara Bukanlah Solusi

Bayangkan Anda tinggal di sebuah rumah yang diwariskan turun-temurun selama berabad-abad. Anda hidup tenteram di sana, mengenal setiap sudutnya, menanam di tanahnya, dan menulis sejarah di dindingnya. Hingga suatu hari, seseorang datang. Ia meminta perlindungan. Anda menyambutnya karena Anda manusia.

Tapi tamu itu, pelan-pelan, mulai mengambil alih ruang tamu. Lalu kamar tidur. Lalu dapur. Lalu ruang keluarga. Hingga Anda didorong ke sudut rumah, diberi ruang sempit dan dinding tinggi.

Anda protes, Anda dibungkam. Anda menangis, dunia menyuruh Anda diam. Kini, sang perampas menawarkan “damai”: Anda boleh tetap di kamar kecil itu, asal Anda relakan rumah Anda selebihnya – yakni bagian terbesarnya – untuk sang perampas. 

Kisah itu bukan fiksi. Itu kisah bangsa Palestina.

Perampasan yang Dilegalkan

iklan

Sejak 1948, setelah terjadinya arus masuknya ratusan ribu orang Yahudi ke Palestina atas dukungan Inggris, lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari tanahnya. Ratusan desa dihancurkan, identitas mereka dihapus dari peta. Tahun 1967, sisa wilayah Palestina—Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur—kembali diduduki. Kini, lebih dari 700.000 pemukim Yahudi tinggal di permukiman ilegal yang tersebar di tanah yang seharusnya menjadi milik bangsa Palestina.

Dunia, yang dulu begitu peka terhadap kolonialisme telanjang seperti ini, kini justru menyarankan kompromi: solusi dua negara. Meski itu artinya hanya mempertahankan status quo perampasan dan penindasan. “Realistis,” katanya. Padahal dalam peta nyata, Palestina telah tercerai-berai, dipagari, dan diblokade. Palestina yang ditawarkan bukan negara berdaulat, melainkan “bantustan” modern—yakni, seperti kantong-kantong kulit hitam di masa Apartheid Afrika Selatan.

Israel dan Ketidaktaatan yang Dibiarkan

Kenyataannya, selama lebih dari 75 tahun sejak itu, Israel telah mengabaikan puluhan resolusi PBB—termasuk Resolusi 242 dan 338 yang mewajibkan penarikan pasukan dari wilayah pendudukan, serta Resolusi 194 yang menjamin hak kembali pengungsi Palestina. Permukiman di Tepi Barat, blokade atas Gaza, pencaplokan Yerusalem Timur, dan pemboman terhadap warga sipil semuanya melanggar hukum internasional. Tapi hingga kini, tak satu pun sanksi serius dijatuhkan.  

Sebaliknya, Israel diberi impunitas de facto oleh kekuatan besar dunia, terutama Amerika Serikat. Berulang kali, veto di Dewan Keamanan PBB dijatuhkan demi melindungi Israel dari kecaman internasional. Dunia seolah menutup mata terhadap kekebalan yang membuat negara ini bisa bertindak semaunya, tanpa takut konsekuensi.

Bagaimana bisa sebuah solusi adil lahir, jika satu pihak diberi kekuasaan tanpa akuntabilitas?

Tak Ada Jaminan bagi Solusi Dua Negara

Bahkan jika solusi dua negara disepakati hari ini, apa ada jaminan bahwa penindasan Israel atas bangsa Palestina akan berhenti?

Israel tidak pernah menunjukkan kesiapan untuk mengembalikan Yerusalem Timur. Mereka menuntut Palestina tidak memiliki tentara. Mereka ingin tetap mengontrol udara dan laut Palestina. Mereka tidak bersedia mengizinkan pengungsi Palestina kembali.

Jadi, apa artinya “negara” jika tak punya wilayah utuh, tak bisa mempertahankan diri, dan tak bebas mengatur perbatasan? Apa artinya kemerdekaan tanpa kedaulatan?

Satu Negara Demokratis: Jalan yang Lebih Adil

Jika solusi dua negara tak menghadirkan keadilan, mengapa tidak mempertimbangkan solusi satu negara demokratis—seperti yang terjadi di Afrika Selatan pasca-Apartheid?

Bukan berarti menghapus hakikat sebuah negara yang bisa menampung warga Yahudi, tetapi mengusulkan satu negara sekuler dan multietnis untuk semua warga—Yahudi dan Arab, Muslim dan Kristen, religius dan sekuler—dengan hak politik yang setara. Negara dengan satu konstitusi, satu hukum, dan satu pemerintahan yang menjamin kesetaraan sipil penuh.

Afrika Selatan paska-Apartheid telah membuktikan hal ini.

Masalahnya “hanya”, apakah Zionisme Israel mau? 

Bukanlah inti ideologi Zionisme adalah adanya negara Israel bagi bangsa Yahudi?

Satu negara untuk semua akan memupuskan cita-cita eksklusif kaum Zionis. Tapi apakah dunia harus mengikuti mau mereka? Hanya karena mereka kuat? Lalu membiarkan begitu saja sikap adigang, adigung, adiguna mereka? 

Referendum dan Pemilu untuk Masa Depan Bersama

Langkah pertama menuju keadilan adalah memulangkan semua pengungsi Palestina—mereka yang sejak 1948 terusir dari rumah-rumah mereka. Setelah semua warga kembali, dunia internasional harus mendorong diadakannya referendum terbuka:

Yakni, untuk menentukan apakah rakyat—Yahudi maupun Arab—menginginkan satu negara demokratis dengan hak setara. Atau memilih bentuk lain dari pemerintahan bersama?

Jika mayoritas rakyat setuju, maka pemilu bebas dan demokratis bisa digelar untuk memilih pemerintahan baru, yang mewakili semua warga tanpa diskriminasi etnis atau agama.

Inilah jalan yang benar-benar demokratis: keputusan masa depan di tangan rakyat, bukan ditentukan oleh veto senjata atau tekanan internasional yang bias.

Keadilan Lebih Penting dari Realisme

Solusi satu negara bukan hanya lebih adil—ia lebih berkelanjutan. Ia tak butuh pagar, tentara, atau zona militer. Ia butuh pengakuan bahwa tidak ada manusia yang boleh hidup sebagai warga kelas dua di tanahnya sendiri.

Dunia harus berhenti berkata “tidak ada pilihan lain.” “Pilihan itu tidak realistis.” “Israel pasti tidak mau”. “Kalau Israel tidak mau, kita tidak bisa berbuat apa-apa. “Militer dan lobby Israel terlalu kuat untuk dilawan. “

Tapi, yang kita butuhkan bukan hanya solusi politik, melainkan keberanian moral untuk membayangkan masa depan yang lebih manusiawi.

Jika dunia benar-benar serius ingin damai di Timur Tengah, maka ia harus berani memperjuangkan keadilan.

Karena – selain persoalan moral itu – tanpa keadilan, damai hanya jadi jeda berumur pendek sebelum luka lama kembali berdarah. Kalau tidak malah lebih parah.

Ya. Selain melawan prinsip moral keadilan, solusi dua negara bisa jadi hanya akan menjadikan konflik makin berkepanjangan, dan penindasan terhadap bangsa Palestina akan berlangsung terus. Bahkan bukan tidak mungkin makin menjadi-menjadi dan lebih biadab.

Akhirnya, sebaliknya dari terpecahkan, persoalan Palestina akan justru menjadi kuburan bagi peradaban dan kemanusiaan, bagi cita-cita  perdamaian dan kedamaian hidup  bagi umat manusia seluruhnya. (HB)

Admin IJABI
Reporter |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button