
Oleh: Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)
Penjelasan Metoda Abduksi Charles Sanders Peirce Dalam Metode Historis Analisis Hadis Jalaluddin Rakhmat
Dalam disertasi sekaligus magnum opus Guru Bangsa Allahyarham KH Dr. Jalaluddin Rakhmat, Beliau memperkenalkan metoda abduksi. Metoda abduksi menurut Charles Sanders Peirce adalah proses penalaran untuk menemukan hipotesis terbaik yang menjelaskan suatu fakta atau fenomena yang mengejutkan, berdasarkan informasi yang tersedia . Dalam disertasinya Allahyarham KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat menyebutnya, the best explanation. Berbeda dengan deduksi (menarik kesimpulan pasti dari premis) atau induksi (menyimpulkan aturan umum dari kasus spesifik), abduksi berfokus pada mencari penjelasan paling masuk akal meski tidak pasti, dengan langkah:
* Mengamati fakta atau fenomena yang perlu dijelaskan
* Menemukan hipotesis yang mungkin menjelaskan fakta tersebut
* Memilih hipotesis yang paling masuk akal berdasarkan konteks dan bukti yang ada.
Contoh Sederhana Dalam Wasiat Nabi Saw
Berikut adalah contoh penerapan metoda abduksi untuk meneliti apakah Ali bin Abi Thalib kw adalah pemimpin umat pasca wafat Nabi Saw yang ditunjuk Allah melalui lisan Nabi Muhammad SAW? Yakni, apakah benar Nabi Muhammad Saw berwasiat bahwa kepemimpinan ummat pasca wafat Beliau Saw adalah ada di tangan Ali bin Abi Thalib kw?
Langkah 1: Fakta atau Fenomena Ghadir Khumm
Fakta: Dalam sejarah Islam, terdapat peristiwa di Ghadir Khumm (10 H/632 M) di mana Nabi Muhammad SAW menyampaikan pidato di hadapan ribuan umat Islam setelah haji wada. Dalam pidato tersebut, Nabi SAW mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib kw dan berkata, “Man kuntu mawlaahu fa ‘Aliyyun mawlaahu” (Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka Ali adalah mawlanya). Hadis tentang peristiwa Ghadir Khumm ini mencapai derajat mutawatir. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa Nabi SAW membuat pernyataan ini di hadapan massa besar secara terbuka, dan apa maknanya dalam konteks kepemimpinan umat?
Langkah 2: Mencari Hipotesis yang Mungkin
Berdasarkan fakta tersebut, beberapa hipotesis mungkin muncul:
Hipotesis A: Nabi SAW hanya bermaksud menunjuk Ali sebagai sahabat atau sekutu yang harus dihormati, bukan pemimpin resmi umat.
Hipotesis B: Nabi SAW menunjuk Ali sebagai pemimpin spiritual dan politik umat Islam setelah beliau wafat, atas perintah Allah SWT.
Hipotesis C: Pernyataan itu hanyalah pujian biasa tanpa implikasi kepemimpinan, hanya untuk menunjukkan kedekatan Ali dengan Nabi SAW.
Langkah 3: Memilih Hipotesis Terbaik Berdasarkan Konteks dan Bukti
Untuk menentukan hipotesis terbaik, kita mempertimbangkan konteks dan bukti tambahan:
Konteks Sejarah: Peristiwa Ghadir Khumm terjadi menjelang wafatnya Nabi SAW, saat umat Islam memerlukan kejelasan tentang suksesi kepemimpinan. Nabi SAW memilih momen publik dengan ribuan saksi, yang menunjukkan pentingnya pernyataan tersebut.
Makna “Mawla”: Dalam bahasa Arab, “mawla” dapat berarti tuan, pemilik, pelindung, pemimpin, majikan, penolong . Tetapi dalam konteks pidato Nabi SAW yang penuh otoritas, banyak ulama menafsirkan “mawla” sebagai pemimpin, bukan sekadar sahabat.
Bukti Tambahan:
Hadis lain, seperti Hadis Thaqalayn (“Aku tinggalkan dua pusaka: Al-Qur’an dan keluargaku”), mendukung peran khusus Ahlul Bait, termasuk Ali, kw dalam kepemimpinan umat. Selain itu, Ali kw dikenal sebagai salah satu sahabat terdekat Nabi Saw, berperan besar dalam perjuangan Islam, seperti di Perang Khandaq dan Khaybar, yang memperkuat kredibilitasnya sebagai pemimpin.
Pertimbangan Lain:
Jika “mawla” hanya berarti sahabat atau penolong, mengapa Nabi SAW membuat pernyataan ini secara terbuka dengan penuh penekanan, bukan secara privat? Ini menunjukkan bahwa pernyataan itu memiliki makna lebih dari sekadar pujian biasa.
Berdasarkan konteks ini, Hipotesis B (Nabi SAW menunjuk Ali sebagai pemimpin spiritual dan politik umat atas perintah Allah SWT) adalah penjelasan paling masuk akal. Hipotesis ini menjelaskan mengapa Nabi SAW memilih momen penting, menggunakan bahasa yang kuat, dan melibatkan massa besar, serta konsisten dengan peran Ali dalam sejarah Islam awal.
Contoh Argumen Abduktif yang Disusun
“Fakta bahwa Nabi Muhammad SAW secara terbuka mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khumm dan menyatakan ‘Man kuntu mawlaahu fa ‘Aliyyun mawlaahu’ menunjukkan adanya maksud khusus. Mengingat konteks haji wada, kebutuhan akan suksesi kepemimpinan, dan makna ‘mawla’ yang sering diartikan sebagai pemimpin dalam tradisi Islam, serta didukung oleh hadis lain seperti Hadis Thaqalayn, hipotesis terbaik adalah bahwa Allah SWT melalui lisan Nabi SAW menunjuk Ali sebagai pemimpin umat setelah Nabi wafat.”
Menimbang Keunggulan Abduksi
Abduksi tidak menghasilkan kepastian seperti deduksi, tetapi memberikan penjelasan paling logis berdasarkan bukti yang ada. Dalam hal ini, hipotesis bahwa Ali ditunjuk sebagai pemimpin lebih menjelaskan fakta Ghadir Khumm daripada hipotesis lain, meskipun penjelasan ini bisa jadi masih menjadi subjek debat dengan sebagian orang.
Allahyarham UJR dalam diskusi personalnya, sering menekankan pentingnya red line dalam memahami sesuatu. Dan abduksi merupakan salah satu metoda untuk menemukenali red line dalam suatu masalah.
Dan di antara red line yang terpenting adalah bahwa Nabi Saw benar-benar berwasiat, dan pengemban wasiat Nabi Saw pasca wafat Beliau Saw adalah Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. Red line ini akan berpengaruh pada keseluruhan pemahaman dan praktik keberagamaan seorang muslim. Karena, telah masyhur bahwa Nabi Saw telah bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya.”
Relevansi Kekinian
Di Indonesia 2025, isu ini relevan dalam diskusi antar-mazhab terutama dalam dialog keagamaan yang dipromosikan oleh organisasi seperti IJABI, NU dan Muhammadiyah untuk memperkuat harmoni. Abduksi membantu memahami perbedaan interpretasi sejarah tanpa memaksakan kepastian dogmatis, mendorong diskusi yang lebih terbuka dan berbasis bukti di tengah pluralitas keagamaan Indonesia.
Al Faatihah tasbiquhaa Sholawaat bagi Allahyarham UJR beserta keluarga
Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib
Bandung, setelah Marhalah Ula Ciwidey, 5 September 2025
