Filsafat-IrfanKhazanah

Filosofi Kehidupan: Antara Pencarian Makna dan Tujuan Keberadaan

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D., Anggota Dewan Syura IJABI

Setiap orang hidup. Tapi tidak semua orang sadar mengapa dan untuk apa ia hidup. Filosofi kehidupan adalah upaya manusia untuk memahami makna, tujuan, dan arah dari keberadaannya sendiri. Ia bukan sekadar wacana akademik, tetapi cermin dari kegelisahan paling dalam manusia:

“Siapa aku? Dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi?”

Pertanyaan ini menuntun manusia pada perenungan, dari masa ke masa, dari Timur ke Barat, dari Plato hingga Mulla Sadra.
Banyak pemikir sepakat bahwa hidup bukan sekadar rutinitas biologis. Hidup berarti menemukan makna. Viktor Frankl, seorang psikiater Austria yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menulis:
“Makna hidup tidak bisa diberikan begitu saja oleh orang lain. Ia harus ditemukan oleh masing-masing individu, melalui pengalaman, cinta, penderitaan, dan tanggung jawab.”¹

Frankl menunjukkan bahwa manusia bisa melewati penderitaan luar biasa jika ia tahu bahwa hidupnya berarti.

iklan

Bagi Plato, dunia ini hanyalah bayangan dari dunia sejati: alam ide. Jiwa manusia berasal dari dunia itu, dan kehidupan adalah perjalanan pulang melalui penyucian diri. Pendidikan dan filsafat adalah sarana utama untuk mengingat kembali hakikat sejati jiwa.

Aristoteles menyebut kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan akhir kehidupan. Tapi bukan kebahagiaan instan, melainkan hidup yang penuh kebajikan moral dan aktualisasi diri. Ia menulis:
“Kebahagiaan adalah aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebajikan, dalam kehidupan yang lengkap.”²

Bagi eksistensialis seperti Sartre, tidak ada makna objektif dalam hidup ini. Tapi justru karena itu, manusialah yang bertanggung jawab menciptakan makna. Camus menambahkan, walau hidup absurd, kita bisa tetap “memberontak” dengan menjalani hidup secara jujur dan bermartabat.

Dalam Islam, hidup adalah amanah dan ujian. Al-Qur’an berkata: 
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ini menegaskan bahwa kehidupan punya tujuan spiritual: mengenal dan mendekat kepada Tuhan.

Imam Ali As berkata:
“Manusia diciptakan bukan untuk sia-sia, dan tidak dibiarkan begitu saja. Diri mereka adalah kendaraan yang akan membawa mereka ke keabadian.”³

Dalam Tahsil al-Sa’adah, Al-Farabi memandang hidup sebagai proses menuju sa’adah (kebahagiaan intelektual dan spiritual). Ia menekankan pentingnya akal dan masyarakat adil agar manusia bisa meraih potensi penuhnya.⁴
“Kebahagiaan adalah kondisi tertinggi manusia, dan hanya dicapai dengan penyempurnaan akal serta hidup dalam masyarakat yang adil.”

Ibn Sina mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah fase awal. Jiwa manusia adalah entitas rasional dan abadi. Dalam al-Najat, ia menyatakan bahwa orang bijak adalah mereka yang sadar bahwa hidup bukan semata-mata tentang jasad, tapi tentang penyempurnaan jiwa.⁵

Filsuf iluminasi ini melihat realitas sebagai hirarki cahaya. Kehidupan adalah gerak batin manusia dari kegelapan menuju cahaya Tuhan. Suhrawardi menekankan bahwa hidup bukan hanya fisik, tapi spiritual.⁶

Mulla Sadra membawa terobosan besar: ia melihat kehidupan sebagai gerak substansial. Jiwa manusia bergerak dari potensial menuju aktual secara eksistensial. Dengan kata lain, hidup bukan sekadar “berjalan”, tapi “bertumbuh secara ontologis”.

“Hidup adalah proses kesempurnaan eksistensi, bukan hanya keberadaan.”⁷

Dalam kehidupan modern, banyak orang menjadi “objek” dari sistem: ekonomi, sosial, atau teknologi. Filosofi kehidupan mengingatkan kita untuk kembali menjadi subjek—makhluk sadar yang menjalani hidup dengan arah dan nilai.

Kata Rumi:

“Jangan puas hanya hidup seperti api lilin yang kecil. Jadilah cahaya yang membakar hati untuk kembali kepada asalnya.”

Hidup bukanlah misteri yang harus ditakuti, tapi rahasia yang harus ditemukan.
Filosofi kehidupan bukan soal menjawab semua teka-teki. Ia adalah ajakan untuk terus bertanya, merenung, dan menyadari bahwa setiap langkah kita membawa arti.

Dalam tradisi Barat, kita belajar keberanian memberi makna. Dalam tradisi Islam, kita diingatkan bahwa hidup adalah amanah menuju kesempurnaan. Dalam keduanya, kita menemukan bahwa hidup adalah proses yang layak dijalani dengan sadar, jujur, dan bijak.

Catatan Kaki:
1. Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, Beacon Press, 2006.
2. Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, Hackett Publishing, 1999.
3. Nahjul Balaghah, Khutbah 86.
4. Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far al-Yasiri, Beirut: Dar al-Andalus, 1986.
5. Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry, Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985.
6. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Henry Corbin, Tehran: Institute for Islamic Studies, 1993.
7. Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 8, Tehran: Dar al-Mashriq, 1981.

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Satu Komen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button