Khazanah

JALAN YANG TERPINGGIRKAN

Oleh Ustadz Muhammad Bhagas, Anggota Departemen Dakwah dan Seni Budaya PP IJABI

Membaca, mengkaji dengan tekun, berpikir keras, berguru kepada para ulama dan ahli, terlibat dalam forum-forum ilmiah, dan mengikuti update wacana dan diskursus pemikiran memang merupakan jalan yang sangat ampuh agar kita dapat meraih percikan ilmu-ilmu-Nya yang mahaluas. Jalan ini yang sangat lazim ditempuh manusia. Namun itu bukan satu-satunya jalan. Ada banyak jalan ilmu yang terbentang di semesta ini. Terkadang seseorang mendapatkan ilmu dan pemahaman yang mendalam bukan dengan cara-cara biasa, melainkan diperoleh melalui laku spiritual (suluk dan riyadhah). 

Laku spiritual di sini bukan sebatas amalan-amalan ritual; mendawamkan wirid tertentu ratusan kali, doa-doa tertentu, shalat sunnah sekian rakaat, memperbanyak puasa dan semisalnya. Tentu amalan-amalan ini insya Allah menjadi bekal yang sangat baik dan mengandung efek ruhaniyah. Tetapi yang saya maksud di sini adalah hal-hal yang mungkin selama ini dianggap biasa-biasa saja atau sekilas terkesan tidak ada hubungannya dengan perolehan ilmu dan pemahaman padahal ia justru menjadi “jalan pintas” untuk memperolehnya di samping menyempurnakan kesejatian diri kita, contohnya : 

1. Menjaga dan memperkuat hubungan kita dengan Rasulullah Muhammad SAW dan Ahlul Bait as, yaitu dengan cara taslim dan berusaha mengamalkan ajaran-ajaran mereka, menghidupkan urusan-urusan dan syiar-syiar mereka, tawassul dan menziarahi mereka, menghadiri majelis-majelis mereka, mencintai dan berkhidmat kepada para pecinta dan pengikut mereka, menjaga adab dan ta’zhim kita pada mereka. Apa pun yang dapat meningkatkan kecintaan dan ketaatan kita pada mereka, maka lakukankah meskipun hal-hal sederhana
2. Membiasakan akhlak dan tutur kata yang baik, indah dan menyejukkan hati sesama
3. Bertemu orang lain dengan perangai yang ramah dan raut wajah yang ceria
4. Membahagiakan hati orang lain meskipun dengan cara-cara yang sangat sederhana
5. Tidak berlagak sombong, berkata kasar, dan menampakkan raut wajah yang tidak enak apalagi kepada fakir miskin, anak yatim, pembantu, bawahan dan orang-orang yang dianggap berstatus sosial rendah
6. Tidak menganggap remeh atau merendahkan orang-orang kecil walaupun sekadar membatin
7. Tidak menganggap remeh satu pun kebaikan, apa pun bentuknya. Dengan tidak menganggap remeh kebaikan maka insya Allah kita akan mudah dan terbiasa berbuat baik, berbagi atau berkhidmat (melayani dengan tulus) dalam bentuk apa pun
8. Hadir di dekat orang yang sedang diuji penderitaan. Menemani orang yang hatinya sedang hancur. Jadilah kawan bagi mereka yang terpinggirkan. Hiburlah mereka yang sedang sedih. Setidaknya menghadirkan empati dalam diri kita
9. Belajar mengalah dan menahan diri dalam urusan-urusan yang sepele/tidak penting walaupun kita di posisi yang benar
10. Tidak mempermasalahkan apalagi membesar-besarkan hal-hal yang sepele/tidak penting
1. Tidak ikut-ikutan unjuk diri, nimbrung, apalagi memanas-manasi perdebatan dan keributan yang kurang bermanfaat, apalagi yang berpotensi merusak hubungan dan hati
12. Tidak ikut-ikutan membicarakan sesuatu yang kita tidak ketahui
13. Menahan diri dari mengumbar/menyampaikan semua hal yang kita ketahui
14. Berpikir dan bersikap inshaf (adil) dalam segala urusan. Misalnya, tidak menisbatkan sesuatu yang tidak diyakini dan tidak dilakukan individu dan kelompok lain meskipun kita sangat anti terhadap pemikiran mereka. Jangan sampai kebencian dan fanatisme menjadikan seseorang berlaku zalim
15. Hidup zuhud. Menjalani hidup secara bersahaja. Jangan biarkan diri ini tertawan oleh keinginan-keinginan kita sendiri
16. Selalu mengaitkan perolehan dan pencapaian hidup kita dengan taufiq dan pertolongan-Nya. Selalu berpikir bahwa di balik setiap perolehan ada peran-peran orang lain langsung maupun tidak langsung, tampak maupun tersembunyi. Berpikir seperti ini akan menjauhkan kita dari bangga diri dan terkesima dengan kemampuan diri kita. Kurangilah memikirkan “aku”-nya kita dalam setiap perolehan itu. Ini karena kemampuanku. Ini karena kerja kerasku. Hilangkanlah perasaan itu secara bertahap
17. Selalu merasa kurang dalam beramal dan menghadirkan perasaan sangat butuh dan ketergantungan mutlak kepada Allah SWT, juga memperkuat doa 
18. Jangan menganggap diri kita lebih baik dan lebih mulia daripada orang lain
19. Menjaga zhahir dan batin kita dari dosa-dosa
20. Apa pun yang direncanakan, diucapkan dan dilakukan, niatkan semuanya untuk mendekatakan diri kepada-Nya dan meraih ridha-Nya
21. Dalam sehari, dari bangun sampai tidur, usahakan hubungkan segalanya dengan jiwa kita. Ketika kita menginginkan sesuatu, atau tertarik pada sesuatu, ingin melangkah, ingin mengambil keputusan, coba pertimbangkan seperti apa efek dan dampak yang akan muncul dalam jiwa kita

Dan masih banyak lagi laku spiritual lainnya. Semua yang disebutkan ini terkait erat dengan penyucian dan penyempurnaan jiwa kita. Semuanya bagian dari laku spiritual. Jadi laku spiritual tak sebatas dalam bentuk perbuatan lahiriah. Bahkan sikap batin dan persepsi kita pun tercakup di dalamnya. Manusia mulai menempuh suluk dan riyadhahnya masing-masing sejak dalam hati dan pikiran. Nah, karena semua ini terkait dengan penyucian dan penyempurnaan jiwa, dan jiwa itu sendiri merupakan lokus pencerapan sekaligus penyimpanan ilmu dan hadirnya hakikat sesuatu/realitas di dalamnya, maka semua ini akan memiliki pengaruh dalam perolehan ilmu. 

iklan

Memang betul, merujuk penjelasan Ustadz Mohammad Adlany, Ph.D, bahwa mengamalkan ilmu berarti membuat ilmu itu semakin mengakar dalam jiwa sehingga menjadi bagian yang tak terpisah dari jiwa. Itulah hikmahnya mengapa setiap perbuatan baik dianjurkan untuk diulang-ulang, supaya ilmu yang awalnya adalah aksiden akan menyatu dengan subtansi jiwa. Ia menjadi malakah dalam diri. Namun dalam konteks ini saya memahaminya lebih ke perolehan ilmu baru dan meningkatnya pemahaman tentang sesuatu. Maksudnya, membiasakan laku spiritual yang disebutkan itu bisa menjadi wasilah tersingkapnya ilmu, pemahaman, hakikat dan kebenaran sejati bagi kita. Beranikah kita menjamin bahwa di antara delapan milyaran penduduk bumi saat ini tak satu pun yang dianugerahkan ilmu dan pemahaman yang mendalam sebab membiasakan salah satu dari tujuh belas laku spiritual itu?

Ini bukan opini pribadi semata. Ada dalil-dalil agama yang mendukung pandangan ini. Allah berfirman: “Wattaqullah wa yu‘allimukumullah…” (Q.S. Al-Baqarah: 282). Bertakwalah kepada Allah, Allah akan memberikan kalian pengajaran (ilmu). Menarik, selama ini yang kita tahu ilmu membuahkan takwa. Ayat ini memperkenalkan konsep lain: takwa membuahkan ilmu. Paradoks bukan? Kandungan ayat ini kemudian termanifestasikan dalam hadis-hadis. 

Dalam literatur Sunni dan Syi‘ah tercatat hadis-hadis yang menunjukkan adanya relasi perolehan ilmu dengan laku spiritual, misalnya dari Rasulullah Muhammad SAW: “Siapa yang ikhlas menghamba kepada Allah selama 40 pagi, akan mengalir mata air hikmah dari hatinya menuju lisannya” (‘Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 1, halaman 74). Juga diriwayatkan dari beliau SAW: “Seandainya kalian takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa takut, niscaya kalian mengetahui ilmu yang tak diiringi dengan kebodohan” (Ta’zhim Qadr al-Shalah, jilid 2, halaman 808). Diriwayatkan dari Imam Ja’far al-Shadiq as: “Siapa yang zuhud di dunia, Allah akan menancapkan/mengokohkan hikmah di dalam hatinya, yang dengan itu lisannya berucap, juga disingkapkan baginya apa saja aib-aib dan penyakit dunia dan obat penawarnya. Ia akan keluar dari dunia dalam keadaan selamat menuju Darus Salam” (Al-Kafi, jilid 2, halaman 128). Juga ditegaskan dalam hadis Imam Muhammad al-Baqir as: “Siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah akan mengajarkan apa-apa yang belum ia ketahui” (A’lam al-Din, halaman 301). 

Terdapat hadis-hadis lain yang meskipun tidak eksplisit menunjukkan relasi ilmu dengan laku spiritual, namun kandungannya mengisyaratkan apa yang sedang kita bicarakan. Misalnya dari Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin as: “Al-khair kulluhu shiyanatul insan nafsah”. Seluruh kebaikan terletak pada penjagaan dan pemeliharaan seseorang terhadap dirinya sendiri (Tuhaf al-‘Uqul, halaman 199). Begini penjelasan singkatnya. Di situ kan disebutkan “seluruh kebaikan”, dan karena meningkatkan ilmu dan pemahaman merupakan kebaikan, maka dengan menjaga dan memelihara diri secara ketat kita bisa meraih ilmu dan pemahaman. Contoh lain, diriwayatkan dari Imam ‘Ali bin Abi Thalib as: “Thahhiru qulubakum min daranis sayyi’at, thudha‘af lakum al-hasanat”. Sucikan hati kalian dari noda-noda keburukan/kotoran batin, dilipatgandakan kebaikan bagi kalian (Ghurar al-Hikam no. 6021). Kata hasanat di sini umum, mencakup banyak kebaikan. Ilmu dan pemahaman yang benar termasuk di dalamnya. Maka ia akan dilipatgandakan bagi siapa saja yang membersihkan hatinya.

Saya kira dalil-dalil ini cukup mewakili apa yang kita bicarakan. Dalil-dalilnya sangat jelas dan tegas. Maknanya sangat gamblang. Tanpa harus jadi filsuf atau cendekiawan kita sudah bisa mengangkap maksudnya. Tanpa perlu tafsiran yang bermacam-macam lagi. Tak butuh teori-teori rumit untuk memahaminya. Semuanya meneguhkan relasi antara ilmu dengan laku spiritual. Karena itulah saya percaya untuk memahami sebuah teks, gagasan, peristiwa, atau realitas dalam makna yang universal, juga dalam mengkaji sesuatu, menyingkap makna, memperoleh pengetahuan, dan lain-lain, tak cukup dengan mengandalkan data empiris, segudang buku dan jurnal, teks-teks, indera fisik, penalaran filosofis, dan prosedur penelitian ilmiah ala kampus. Ia harus diiringi dengan takwa, kesalehan, bashirah (mata batin), ma’rifatun nafs, penyucian diri, riyadhah, pengambaan dan perkhidmatan yang tulus, dan tawadhu di hadapan-Nya dalam melewati dan menghadapi semua itu (ingin memahami, mengkaji, menyingkap dan lain-lain). 

Inilah jalan yang terpinggirkan. Jalannya para bijak bestari. Jalannya orang-orang yang terjaga. Jalan hening kaum yang tercerahkan. Jalan yang terpinggirkan ini tidak menegasikan jalan lazim yang ditempuh manusia. Keduanya saling memperkaya. 

Patut kiranya kita renungkan pesan dari dua guru agung ini yang kehadirannya—kalau dalam ungkapan Allahyarham K.H. Jalaluddin Rakhmat—bukan sekadar mengajarkan pelajaran, juga menyalakan pelita kehidupan. Dalam Tafsir Ibnu ‘Arabi, jilid 2, halaman 296-297, ada pesan sangat indah yang disandarkan pada Nabi ‘Isa as: “Jangan katakan pengetahuan itu di langit sehingga perlu diturunkan, juga bukan di jantung bumi sehingga perlu dinaikkan ke permukaan, juga bukan di kedalaman laut sehingga perlu diarungi. Akan tetapi ilmu itu ada dalam hati kalian. Beradablah kalian di sisi Allah dengan adab rohaniawan (para sufi), maka akan tampak pada kalian ilmu itu”

Kata Maulana Rumi :

Ilmuwan lahir dari perjuangan pena

Sufi lahir dari perjuangan “melangkah”

Demikian. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan diluaskan berkahnya. Silahkan disebarkan seluas-luasnya. Mohon menyertakan kami dan saudara-saudara kita dalam amalan kebaikan dan doa-doa. Terima kasih banyak. Shalawat.

Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum..

Muhammad Bhagas
+ posts
  • Anggota Departemen Perkhidmatan dan Seni IJABI.
  • Direktur Kajian Kang Jalal.
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button