Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Menyingkap Cahaya yang Membuka Kebenaran
Dalam hidup, ada dua jalan: berjalan dalam gelap atau melangkah dengan cahaya. Ilmu adalah cahaya itu. Dengan ilmu, kita bisa membedakan yang benar dari yang salah, yang bermanfaat dari yang berbahaya, dan yang hak dari yang batil. Namun, apakah ilmu itu sekadar kumpulan informasi? Atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Al-Qur’an memandang ilmu sebagai anugerah Allah yang mengangkat derajat manusia:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah tangga spiritual, bukan sekadar modal ekonomi.
Rasulullah saw bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (Al-Kulaini, Al-Kafi, jilid 1, hlm. 30)
Imam Ali as berkata:
الْعِلْمُ سُلْطَانٌ مَن وَجَدَهُ صَالَ وَمَن لَمْ يَجِدْهُ صِيلَ عَلَيْهِ
“Ilmu itu adalah kekuasaan; siapa yang memilikinya akan memimpin, dan siapa yang tidak memilikinya akan dipimpin.” (Al-Amudi, Gharar al-Hikam wa Durar al-Kalim, hadis no. 2872)
Bagi Ibn ‘Arabi, ilmu sejati adalah ma‘rifah — pengetahuan yang membuka tabir hakikat.
العلمُ نورٌ يقذفه الله في القلب، فلا يُنالُ بكثرة التعلُّم، بل بصفاء القلب واتصالِه بالله
“Ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati; ia tidak diperoleh hanya dengan banyak belajar, tetapi dengan kebeningan hati dan keterhubungan kepada Allah.” (Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyyah, jilid 1, hlm. 65)
Khāwajah ‘Abdullah Al-Anshari membagi ilmu menjadi tiga: ilmu lisan — ada di ucapan, ilmu akal — menguatkan argumentasi, dan ilmu hati — menghidupkan ruh.
Dalam Ihya’, Al-Ghazali berkata:
العلمُ بلا عملٍ جنون، والعملُ بلا علمٍ لا يكون
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan terwujud.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid 1, hlm. 22)
Dalam Ihsa’ al-‘Ulum, Al-Farabi mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang wujud sebagaimana adanya:
العلم هو إدراك الشيء بحقيقته
“Ilmu adalah pemahaman terhadap sesuatu sesuai hakikatnya.” (Al-Farabi, Ihsa’ al-‘Ulum, hlm. 15)
Baginya, ilmu tertinggi adalah filsafat, karena ia mempelajari sebab-sebab terdalam dari segala yang ada.
Ibn Sina dalam Al-Najāt menegaskan bahwa ilmu adalah tasawwur (pemahaman konsep) dan tashdiq (pembenaran) yang sesuai dengan realitas:
> العلم هو حصول صورة الشيء في العقل
“Ilmu adalah terwujudnya gambaran sesuatu di dalam akal.” (Ibn Sina, Al-Najāt, hlm. 23)
Suhrawardi, pendiri filsafat Isyraq, memandang ilmu sebagai penyinaran (illumination) jiwa oleh cahaya hakikat. Dalam Hikmat al-Isyraq, ia berkata:
العلم حضور المعلوم عند العاقل بلا واسطة
“Ilmu adalah hadirnya yang diketahui di hadapan subjek yang mengetahui tanpa perantara.” (Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, hlm. 105)
Mulla Sadra menyatakan:
العلم نوع من الوجود وهو اتحاد العاقل والمعقول
“Ilmu adalah salah satu bentuk wujud, dan ia merupakan kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui.” (Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, jilid 3, hlm. 315.)
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Seseorang Meraih Ilmu
1. Niat yang ikhlas. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِلَّهِ أَثْبَتَ اللَّهُ عِلْمَهُ فِي قَلْبِهِ
“Barang siapa mempelajari ilmu karena Allah, maka Allah akan meneguhkan ilmu itu di dalam hatinya.” (Al-Baihaqi, Syu‘ab al-Iman, hadis no. 1763)
Maknanya, ilmu yang diniatkan karena Allah akan menjadi cahaya yang menetap di hati, bukan sekadar informasi yang lewat.
2. Kesungguhan dan kesabaran. Al-Qur’an memuji mereka yang sabar dalam ketaatan, termasuk dalam menuntut ilmu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 200)
Kesabaran adalah kunci membuka pintu ilmu, sebab pencarian kebenaran tidak selalu instan.
3. Berkumpul dengan orang berilmu. Imam Ja‘far al-Shadiq as berkata:
تَزَاوَرُوا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِكُمْ إِحْيَاءً لِقُلُوبِكُمْ وَذِكْرًا لِأَحَادِيثِنَا
“Saling berkunjunglah kalian, karena kunjungan itu menghidupkan hati kalian dan mengingatkan pada ajaran-ajaran kami.” (Al-Kulaini, Al-Kafi, jilid 2, hlm. 182)
Bersahabat dengan orang berilmu membuat hati menjadi hidup dan pengetahuan semakin kokoh.
4. Membaca dan merenung. Imam Al-Ghazali berkata: “Membaca tanpa merenung ibarat makan tanpa mencerna.”
Artinya, ilmu tidak cukup hanya dikumpulkan, tetapi harus direnungkan dan diinternalisasi agar menjadi hikmah.
5. Membersihkan hati dari dosa. Ibn ‘Arabi mengingatkan: “Dosa adalah kabut yang menutupi cahaya ilmu.”
Hati yang kotor akan sulit menerima cahaya pengetahuan, sedangkan hati yang bersih akan memantulkan kebenaran.
Ilmu bukan hanya tentang buku, kuliah, atau gelar. Ia adalah cahaya yang menghubungkan manusia dengan kebenaran. Ibn ‘Arabi mengajarkan bahwa ilmu sejati lahir dari hati yang bersih. Khawjah Al-Anshari mengingatkan bahwa puncak ilmu adalah mengenal Allah. Dan Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu harus membuahkan amal.
Bagi Al-Farabi, ia adalah pemahaman hakikat. Bagi Ibn Sina, ia adalah hadirnya konsep dalam akal. Bagi Suhrawardi, ia adalah cahaya yang menyinari jiwa. Dan bagi Mulla Sadra, ia adalah wujud itu sendiri. Jika ilmu adalah cahaya, maka hati yang bersih, niat yang ikhlas, dan akal yang tajam adalah lampunya.
Maka, menuntut ilmu adalah perjalanan seumur hidup — perjalanan menuju cahaya yang tak pernah padam.
