Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Kita sering mendengar kata iman. Di sekolah, di masjid, di media sosial, bahkan dalam percakapan santai sehari-hari. Tapi pernahkah kita benar-benar bertanya: Apa sebenarnya arti iman? Bukan sekadar sebagai istilah keagamaan, tapi sebagai kekuatan hidup yang mengakar dalam hati dan mendorong tindakan.
Secara bahasa, iman berarti tashdiq—percaya, membenarkan. Namun dalam Islam, iman bukan hanya percaya secara pasif, melainkan kepercayaan aktif yang mengubah cara pandang, sikap, dan tindakan seseorang. Iman adalah keyakinan yang hidup dan menghidupkan
Para ulama menyatakan bahwa iman terdiri dari:
التصديق بالقلب، والإقرار باللسان، والعمل بالجوارح
“Membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkannya dengan anggota tubuh.” (Al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman, jld. 1, hlm. 16)
Dalam masyarakat, kadang orang merasa cukup beriman hanya karena beragama secara administratif. Tapi iman sejati bukan sekadar tertulis di KTP. Iman adalah kualitas hidup, bukan sekadar status sosial.
Allah berfirman:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا…
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Kalian belum beriman, tetapi katakanlah, kami telah tunduk (Islam).’” (QS. Al-Hujurat [49]: 14)
Ayat ini menegaskan bahwa iman bukan hanya pengakuan, tetapi kedalaman hati yang dibuktikan oleh sikap.
Al-Qur’an secara konsisten menggabungkan iman dan amal saleh:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ…
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh…” (QS. Al-Baqarah [2]: 25)
Iman sejati bukan hanya tertanam di dalam hati, tetapi menampakkan buahnya dalam akhlak, keadilan, dan kasih sayang.
Iman itu memberi arah dan makna. Salah satu alasan mengapa iman penting adalah karena ia memberi arah dalam hidup. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, iman menanamkan harapan dan keteguhan. Iman membuat kita percaya bahwa: hidup ini bukan kebetulan, penderitaan tidak sia-sia, kebaikan pasti dibalas, dan kehidupan ini tidak berakhir di dunia saja.
Iman membentuk cara kita memandang kehidupan. Seorang yang beriman melihat musibah bukan sebagai hukuman, tapi sebagai ujian yang bisa meningkatkan derajat. Ia melihat kesulitan sebagai cara Tuhan mendekatkannya.
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ، وَلَا نَصَبٍ، وَلَا سَقَمٍ، وَلَا حَزَنٍ… إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهِ مِنْ خَطَايَاهُ.
“Tidak ada satu kesusahan, kelelahan, sakit, atau kesedihan yang menimpa seorang mukmin kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman adalah cahaya yang mengakar. Imam Ja‘far al-Shadiq as berkata:
الإيمان معرفة بالقلب، وإقرار باللسان، وعمل بالأركان.
“Iman adalah pengenalan dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.” (Al-Kulayni, al-Kāfī, jld. 2, hlm. 38)
Lebih lanjut, Imam Ali bin Abi Thalib as menjelaskan bahwa:
الإيمان على أربع دعائم: على الصبر، واليقين، والعدل، والجهاد.
“Iman berdiri di atas empat pilar: kesabaran, keyakinan, keadilan, dan perjuangan.” (Nahjul Balaghah, Hikmah no. 31)
Artinya, iman bukan hanya rasa percaya, tetapi struktur kehidupan yang kokoh, dengan fondasi-fondasi moral dan spiritual.
Sebagian mengira bahwa iman bertentangan dengan akal. Namun para pemikir Islam justru menekankan bahwa iman sejati didahului oleh pencarian rasional. Dalam Islam, akal dan iman adalah dua sahabat dekat. Islam mendorong manusia untuk berpikir, merenung, dan bertanya.
Allah dalam Al-Qur’an sering menyeru:
أَفَلَا تَعْقِلُونَ؟
“Tidakkah kalian berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44, dan banyak ayat serupa)
Imam Musa al-Kazhim as berkata:
يا هشام، إن لله على الناس حجتين: حجة ظاهرة، وحجة باطنة؛ فأما الظاهرة فالرسل والأنبياء والأئمة، وأما الباطنة فالعقول.
“Wahai Hisham, sesungguhnya Allah memiliki dua hujjah atas manusia: hujjah lahiriah berupa para rasul, nabi, dan imam; dan hujjah batiniah berupa akal.” (Al-Kulayni, al-Kāfī, jld. 1, hlm. 16)
Iman tidak datang dari taklid buta, tapi dari pencarian yang tulus. Namun, setelah akal bekerja, ada batas yang tak bisa dijangkau akal manusia—di sinilah iman melengkapi. Akal membawa kita ke pintu, iman membawa kita masuk.
Iman bukan pengganti akal, tetapi kelanjutan dari akal yang tunduk kepada kebenaran tertinggi.
Iman adalah pintu menuju ma‘rifah. Syeikh al-Akbar Ibn Arabi memandang iman bukan hanya sebagai tashdiq, tetapi sebagai tahapan menuju ma‘rifah (pengetahuan batiniah tentang Tuhan). Dalam Futuhat al-Makkiyyah, beliau menulis:
الإيمان تصديق مقرون بالكشف؛ فإذا حصل الكشف سُمّي يقيناً، وإذا زاد سُمّي معرفة.
“Iman adalah pembenaran yang disertai penyingkapan (kasyf); bila kasyf menguat, ia menjadi keyakinan, dan bila lebih dalam lagi, ia disebut ma‘rifah.” (Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, jld. 2, hlm. 143)
Menurut Ibn Arabi, iman yang sejati tidak statis. Ia tumbuh, berkembang, dan memperhalus jiwa hingga terbuka untuk mengenal Allah secara langsung dan personal.
Iman adalah cinta dan kehadiran. Khawjah Abdullah al-Anshari berkata dalam Manāzil al-Sā’irīn:
الإيمان شهود القلب لنور الحق في كل حال.
“Iman adalah kesaksian hati terhadap cahaya kebenaran (al-Ḥaqq) dalam setiap keadaan.” (Khawjah Abdullah al-Anshari, Manāzil al-Sā’irīn, bab al-Iman)
Bagi Khawjah, iman bukanlah konsep beku, tetapi pengalaman ruhani yang mengakar dan menyala dalam relung batin. Orang yang beriman tidak sekadar tahu bahwa Tuhan ada, tetapi merasakan kehadiran-Nya dalam tiap denyut hidup.
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din membagi iman dalam tiga tingkatan:
إيمان العوام تقليد، وإيمان الخواص تحقيق، وإيمان خواص الخواص ذوق ومشاهدة.
“Iman orang awam adalah taklid, iman orang khusus adalah pembuktian, dan iman orang khusus dari yang khusus adalah rasa dan penyaksian.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jld. 1, hlm. 103)
Ia membagi iman menjadi tiga tingkatan: iman taklidi (turunan, formal), iman tahqiqi (hasil pencarian intelektual), dan iman dzauqi (rasa langsung dan pengalaman batin)
Menurutnya, iman yang tinggi lahir dari penyucian hati, kontemplasi mendalam, dan kedekatan spiritual.
Iman itu dinamis, bisa naik dan turun. Rasulullah saw bersabda:
إن الإيمان ليَخلَق في جوف أحدكم كما يَخلَق الثوب، فاسألوا الله أن يجدد الإيمان في قلوبكم.
“Sesungguhnya iman itu bisa usang dalam diri kalian sebagaimana pakaian yang usang. Maka mintalah kepada Allah agar memperbaharui iman dalam hati kalian.” (Al-Hakim, al-Mustadrak, jld. 1, hlm. 4)
Iman memerlukan pemeliharaan melalui pelaksanaan salat, tadabbur Al-Qur’an, dan menghisab diri. Seperti tubuh yang butuh nutrisi, iman pun butuh disirami agar tetap hidup dan menyala.
Iman ada perjalanan, bukan titik akhir. Iman bukanlah status tetap. Ia adalah perjalanan jiwa yang naik turun, tapi terus mendekat kepada Tuhan. Kadang terang, kadang redup. Tapi selama kita terus mencari, bertanya, berdoa, dan mencintai kebenaran, kita berada dalam jalan iman.
Iman bukan sekadar tidak meragukan, tapi juga tetap bertahan dalam kepercayaan meskipun diuji oleh hidup. Rasulullah saw berdoa:
اللهم ثبت قلبي على دينك.”
“Ya Allah, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 2140.)

Hal-hal lain yang dapat menguatkan iman:
1. Tafakkur
يَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا
“Mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi: ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.'” (QS. Ali Imran: 191)
Imam Ali as berkata:
لَيْسَ شَيْءٌ أَنْفَعَ لِلْقَلْبِ مِنْ زِيَادَةِ الْإِيمَانِ وَالتَّفَكُّرِ فِيهِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada bertambahnya iman dan tafakkur tentangnya.” (Nahj al-Balaghah, hikmah 79)
2. Amal Saleh
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dan dia beriman, maka pasti Kami akan beri dia kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)
Imam Ja‘far Shadiq as berkata:
الْإِيمَانُ عَمَلٌ كُلُّهُ
“Iman itu adalah amal seluruhnya.” (Al-Kāfī, jilid 2, hlm. 38)
3. Dzikir dan Mengingat Allah
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Imam Ali Zainal Abidin as berkata:
ذِكْرُ اللَّهِ دَوَاءٌ وَ شِفَاءٌ لِكُلِّ مَرَضٍ
“Mengingat Allah adalah obat dan penyembuh bagi setiap penyakit.” (Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 282)
4. Ilmu dan Pemahaman yang Mendalam
Iman yang kokoh bersandar pada pengetahuan yang benar. Semakin dalam seseorang mengenal Allah, semakin kuat imannya.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir: 28)
Imam Ja‘far al-Shadiq as bersabda:
“Sesungguhnya iman tidak akan tetap kecuali bersama dengan ilmu, dan tidak ada ilmu tanpa amal.” (Al-Kulayni, al-Kāfī, jil. 1, hlm. 44)
Imam Baqir as berkata:
الْإِيمَانُ لَيْسَ بِالتَّحَلِّي وَلَا بِالتَّمَنِّي، وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَهُ الْعَمَلُ
“Iman itu bukanlah dengan berhias atau sekadar berharap, tetapi sesuatu yang menetap di dalam hati dan dibenarkan oleh amal.” (Bihār al-Anwār, jilid 69, hlm. 208)
5. Cinta kepada Ahlulbait
Nabi Muhammad saw bersabda:
حُبُّ عَلِيٍّ إِيمَانٌ، وَبُغْضُهُ نِفَاقٌ
“Cinta kepada Ali adalah iman, dan membencinya adalah nifaq (kemunafikan).” (Sunan al-Tirmidzī, no. 3736; Mustadrak al-Hākim, 3/130)
Imam Shadiq as berkata:
مَنْ أَحَبَّنَا كَانَ مَعَنَا فِي الْجَنَّةِ
“Siapa yang mencintai kami (Ahlulbait), ia akan bersama kami di surga.” (Al-Kāfī, jilid 2, hlm. 77)
6. Ujian dan Kesabaran
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ
“Kami benar-benar akan menguji kalian hingga Kami mengetahui siapa di antara kalian yang berjihad dan bersabar.” (QS. Muhammad: 31)
Imam Musa al-Kazhim as berkata:
الْمُؤْمِنُ كَالْمِيزَانِ، كُلَّمَا زِيدَ فِي إِيمَانِهِ زِيدَ فِي بَلَائِهِ
“Mukmin itu seperti timbangan, semakin bertambah imannya, semakin bertambah pula ujiannya.” (Al-Kāfī, jilid 1, hlm. 183)
Iman dalam Islam bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan dapat diperkuat melalui berbagai cara: tafakkur, amal saleh, dzikir, ilmu, cinta kepada Ahlulbait, dan ketabahan dalam menghadapi ujian.
