Ketika Kemanusiaan Mati

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D, Anggota Dewan Syura IJABI
Ada sebuah kisah lama dari Timur Tengah tentang seorang lelaki tua yang menangis di pinggir reruntuhan rumahnya. Ia tidak menangisi harta bendanya yang hilang, tapi kenangan, cinta, dan suara anak-anaknya yang takkan pernah kembali. Ketika seorang tentara lewat dan bertanya mengapa ia menangis, sang lelaki hanya menjawab lirih, “Karena manusia telah lupa bagaimana menjadi manusia.”
Kalimat itu menggema seperti gema doa di padang yang sunyi. Karena manusia telah lupa bagaimana menjadi manusia.
Hari ini, di banyak sudut dunia, kita menyaksikan apa yang terjadi ketika kemanusiaan mati. Bukan karena jantung berhenti berdetak atau paru-paru berhenti menghirup udara, tapi karena hati berhenti merasa, mata berhenti peduli, dan nurani memilih bungkam.
Bayangkan anak-anak yang kehilangan keluarga karena perang yang tidak mereka pahami. Bayangkan perempuan-perempuan yang tubuhnya dijadikan medan tempur. Bayangkan lelaki yang dihukum bukan karena salah, tapi karena lahir dari kelompok yang dianggap rendah. Dan kita? Kita menggulir layar, menyukai unggahan, lalu kembali sibuk mengejar kenyamanan pribadi.
Kemanusiaan mati saat penderitaan menjadi tontonan, bukan panggilan nurani.
Di laporan berita, korban hanyalah angka: 54 orang tewas, 132 luka-luka. Namun di balik angka itu ada nama, ada cerita, ada cinta yang terputus. Tapi kita sudah terlalu sering mendengarnya, hingga hati menjadi kebal. Seperti tubuh yang sudah terlalu sering tersayat, hingga tak lagi merasa sakit.
Kemanusiaan tidak mati begitu saja. Ia mati perlahan, dibunuh oleh: apatisme yakni saat kita memilih diam karena merasa itu bukan urusan kita, fanatisme yakni saat kita membenarkan kekerasan atas nama agama, bangsa, atau ideologi, kemunafikan sosial yakni saat kita berteriak “kemanusiaan” di panggung, tapi menindas dalam diam, dan kenyamanan yakni saat kita tak mau terganggu oleh derita orang lain.
Masih Adakah Harapan?Kabar baiknya: kemanusiaan belum sepenuhnya mati. Ia hanya tertidur. Dan kita semua punya tanggung jawab untuk membangunkannya. Setiap kali kita mendengarkan tanpa menghakimi, membantu tanpa pamrih, memeluk yang terluka, membela yang tertindas — kita sedang menyalakan kembali nyala kemanusiaan itu.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia… maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.” (QS Al-Maidah: 32)
Ayat ini bukan hanya tentang membunuh secara fisik, tapi juga tentang membiarkan seseorang mati dalam kesendirian, kelaparan, ketakutan, dan ketidakadilan.
Dunia tak kekurangan orang pintar, tapi sangat kekurangan orang berhati. Dunia tak butuh lebih banyak pemimpin, tapi lebih banyak pelayan kemanusiaan. Dunia tak butuh lebih banyak opini, tapi lebih banyak aksi.
Maka hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku masih manusia? Atau lebih parah, apakah aku telah membunuh kemanusiaanku sendiri?
Jika jawabannya membuat dada sesak, itu pertanda baik. Karena berarti hati kita belum mati sepenuhnya.
