Kebebasan Berpikir dan Hakikat Manusia

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Salah satu ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain adalah kemampuan untuk berpikir. Hewan bisa merasakan lapar, takut, atau senang, tapi mereka tidak merenung tentang arti hidup, tidak bertanya mengapa mereka ada, dan tidak memikirkan masa depan dengan kesadaran penuh. Manusia berbeda. Kita diberi anugerah akal untuk mencari makna, menimbang, dan memilih.
Namun, kemampuan berpikir itu baru berarti jika ia bebas. Kebebasan berpikir adalah hakikat kemanusiaan. Jika manusia dipaksa untuk menerima sesuatu tanpa kesempatan berpikir, maka ia kehilangan martabatnya. Sama seperti burung yang sayapnya dipotong, manusia tanpa kebebasan berpikir tidak bisa terbang menuju potensi sejatinya.
Kebebasan berpikir sebagai jalan menjadi manusia seutuhnya. Kebebasan berpikir bukan berarti berpikir semaunya tanpa arah. Justru kebebasan berpikir adalah kesempatan untuk mengkritisi, menimbang, dan memilih yang terbaik. Dari sinilah lahir pengetahuan, ilmu, seni, filsafat, dan bahkan iman yang matang.
Manusia bisa saja menerima warisan tradisi, agama, atau budaya dari lingkungan. Tapi kalau ia tidak berpikir, ia hanya sekadar meniru, bukan memilih dengan sadar. Padahal yang membuat manusia benar-benar manusia adalah kemampuan untuk menimbang dan mengafirmasi pilihan hidupnya dengan sadar.
Sejarah menunjukkan, ketika kebebasan berpikir dibungkam, maka lahirlah tirani. Ide-ide besar mati sebelum berkembang. Masyarakat pun terjebak dalam kegelapan, hanya mengikuti tanpa memahami. Dalam kondisi seperti itu, manusia tidak lagi diperlakukan sebagai subjek yang merdeka, tetapi sebagai objek yang dikendalikan.
Bahkan dalam konteks spiritual, iman tanpa kebebasan berpikir bisa rapuh. Keimanan yang hanya lahir karena dipaksa atau ditakut-takuti akan mudah runtuh ketika diuji. Sebaliknya, iman yang lahir dari kebebasan berpikir—dari renungan dan pencarian tulus—akan lebih kuat, mendalam, dan hidup.
Kalau ditanya apa hakikat manusia, jawaban sederhana adalah: manusia adalah makhluk pencari makna. Kita tidak puas hanya dengan rutinitas makan, bekerja, dan tidur. Kita selalu bertanya: mengapa aku di sini? apa tujuan hidup ini? bagaimana caranya hidup lebih baik?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena manusia punya akal yang bebas. Inilah yang membuat manusia mampu berkembang, menemukan ilmu, menciptakan peradaban, hingga merumuskan nilai-nilai moral.
Kebebasan berpikir bukan sesuatu yang datang begitu saja. Ia harus dijaga dan dirawat. Pertama, dengan keberanian untuk bertanya. Kedua, dengan kerendahan hati untuk menerima kebenaran meskipun datang dari orang lain. Ketiga, dengan kesadaran bahwa berpikir itu bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menemukan cahaya yang bisa memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Kebebasan berpikir adalah napas kemanusiaan. Tanpa itu, manusia hanya menjalani hidup sebagai mesin yang diprogram. Dengan itu, manusia bisa menjadi pribadi yang utuh, sadar, merdeka, dan bermartabat. Karena itu, menjaga kebebasan berpikir berarti menjaga hakikat manusia itu sendiri.
