Memahami Tragedi Karbala melalui Psikologi

Oleh Dr. Muhammad Ashar, Ketua Departemen Kaderisasi PP IJABI., dan M.Ali Abdurrahman, Anggota IJABI Muda PW IJABI Sulawesi Selatan
Tragedi Karbala mengguncang jantung peradaban Islam. Menorehkan nokta Hitam dalam bentangan sejarah Islam. Tragedi Karbala menjadi saksi sisi brutalitas mereka yang mengklaim diri Islam. Peninggalan Nabi pembawa agama itu dibantai dan dipenggal.
Tragedi Karbala, disisi lain, menjadi saksi kisah heroisme Al Husain dan pasukannya. Cucu sang Nabi itu menujukkan keberanian dan kesabaran tiada tara. Tak ada keraguan pada kebenaran misi yang dibawahnya.
Berdasar filosofi Spinoza, Tragedi Karbala mempertunjukkan bagaimana merealisasikan emosi aktif. Sebuah emosi yang didasarkan atas independensi dan rasionalitas pelakunya. Sebuah emosi yang tidak reaktif dan emosional. Jenis Emosi ini digerakkan melalui pertimbangan rasional yang komprehensif. Spinoza menyebutnya Claritas mentis.
Perjalanan menuju kesyahidan adalah Claritas mentis. Tindakan berbasis pengetahuan murni. Perencanaan Dan eksekusinya sangat matang. Rencana yang diwujudkan dalam bentuk Kemenangan dalam ketertindasan. Emosi aktif sifatnya sustainable (berkelanjutan). Melampaui zamannya, menjadi inspirasi generasi berikutnya.
Sejarah mencatat tindakan Muslim bin Aqil yang mengurungkan niatnya menikan dari belakang Gubernur Kufah Ubaydillan Ibn Ziyad di rumah Hani bin Urwah, karena bertentangan dengan nilai moral kekesatriaan. Andaikan Muslim digerakkan dengan emosi pasif maka ia akan melanggar nilai-nilai moral utama. Pertimbangan rasional dan moral baginya diatas Hawa nafsu untuk membunuh.
Muslim bin Aqil mengikuti jejak Imamnya sekaligus pamannya, Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib. Mengurungkan niat membunuh musuh yang meludahinya karena tak ingin emosi rendah menjadi dasar tindakannya. Seluruh pejuang Karbala mempertontonkan pada kita akhlak yang mulia meski dengannya mereka terbunuh. Kematian yang mulia dilihat dari segala dimensinya.
Kemampuan para syuhada ini, hanya lahir dari manusia-manusia yang telah mencapai tahap puncak perkembangan kepribadian Maslow, peak experience. Bentuk kepribadian yang mentransendensikan ego. Maslow menyatakan : “It is just this person, in whom ego strength is at its height, who most easily forgets or transcends the ego, becomes unselfish, self-forgetting, egoless. The person in that situation is object-oriented, impersonal, unmotivated, detached” (Papaleontiou–Louca, Esmailnia & Thoma, 2021)
Peak experience adalah puncak perkembangan diri, dimana seseorang berhasil mentransendensikan egonya. Tidak mementingkan diri sendiri (unselfish), Mengabaikan kepentingan diri (self-forgetting &egoless). Manusia yang mencapai tingkat ini ditandai dengan tindakan berorientasi pada tujuan demi sebuah ego universal (Divine Ego).
Sebuah pengalaman tertinggi yang mutlak didasarkan pada pencapaian kehidupan spritual ultima. Wilber memandang Sejatinya proses perkembangan psikologi adalah proses aktualisasi potensi, yang pada dasarnya juga proses perjalanan spiritual (Wilber, 2000). Wilber menegaskan bahwa proses perkembangan manusia pada awalnya berada difase berturut-turut (1) aspek sensorimotor, (2) seksual-emosional, (3) mental-pikiran (4) nurani-spiritual, (5) the Self.
Wilber menyebutkan bahwa penyatuan dengan The Self (I-I) adalah evolusi puncak kepribadian manusia. The Self adalah sumber energi yang menghidupkan manusia, yang digunakan untuk berpikir, merasa, mensensasikaan stimulus, berintuisi, berbicara serta berperilaku. Wilber menyebutnya I-I, “akunya aku”, subjek besar di balik kesadaran yang mengarahkan ego, inti kesadaran. Ego adalah emanasi the-Self yang pada perkembangan tertinggi kembali menyatu / melebur sebagai the-Self sebelum diantarkan pada penyatuan ke dalam Tuhan (Wilber, 2000).
Pada peristiwa Karbala, Imam Husein menunjukkan proses perkembangan psikologis; proses perjalanan spiritual; proses aktualitas potensi tertinggi. Imam Husein as bukan hanya menyesuaikan (regulasi), tetapi juga menggunakan semua aspek dan urusan-urusan dirinya (transmutasi) yang lebih rendah demi penyatuan di dalam Tuhan.
“Tuhanku, aku tinggalkan seluruh makhluk karena cinta kepada-Mu,
Dan aku jadikan anak-anakku yatim demi melihat-Mu.
Jika Engkau mencincangku karena cinta ini,
Takkan hati ini berpaling pada selain-Mu.”
– Sebut Al-Husein bin Ali as.
aku tinggalkan seluruh makhluk” menggambarkan pembedaan-diri Al-Husein dari semua aspek selain The-Self; selain Tuhan. “Dan aku jadikan anak-anakku yatim demi melihat-Mu” menunjukkan penyertaan-diri aspek-aspek lebih rendah yang terwakili oleh asepk seksual-emosional Al-Husein dalam penyamaan-diri / peleburan di dalam Tuhan. “Jika Engkau mencincangku karena cinta ini, takkan hati berpaling pada selain-Mu” menunjukkan penyamaan-diri yang begitu kuat dilakukan Al-Husein terhadap aspek tertinggi, the-Self; Tuhan.
Murid Freud, Jung, memiliki pandangan akan pertumbuhan pribadi yang Ultima, yg berasal pada pemaduan Dan penyatuan dengan The Collective Uncounciousness dalam diri manusia. Dititik inilah manusia menempuh perjalanan panjang menuju kedalaman ruhnya (inner spirit). Ketika Jung masih meraba sejauh mana kedalaman inner spirit itu, Maslow menjawab : Peak Experience!!. Maslow memproklamirkan peak experience sebagai pengalaman transhuman, transpersonal, sebuah pengalaman yg bersumber Dan berpusat pada kosmos. Melampaui kedirian sempit manusia, melampaui kemanusiaan, identitas, aktualisasi diri Dan sejenisnya (Rakhmat, 2025).
Para Syuhadah Karbala adalah mereka dalam tingkatan paripurna spritualitas. Berada ditataran peak experience yang melampaui kedirian Dan kepentingan sempit kemanusiaan mereka. Viktor Frankl menegaskan syarat kesyahidan adalah ketika seseorang sepenuhnya mengabaikan diri pada satu tujuan Agung bukan hanya bagi dirinya tapi juga masyarakat. Kepentingan pribadi para syuhada menyusut hingga ketitik dimana tujuan itulah yang menjadi Pilar utama eksistensi mereka. Frankl menyebut keadaan itu”self-effacement” (pengabdian diri) yang juga sebagai syarat self transcendence manusia (Belanger, Caouette, Sharvit & Dugas, 2014)
Apa tujuan agung perjuangan Imam Husain? Pemurnian kembali Agama Muhammad!. Mereka terserap kedalam “Agama Muhammad” yang murni yang secara psikologis adalah The Self (Wilber), The Collective Uncounciousness Dan Arketif (Jung) ,Peak Experience (Maslow & Transpersonal Psychology) Dan self transcendence (Viktor Frankl) itu sendiri.
Sumber bacaan
- Belanger, Jocelyn J. Caouette, Julie. Sharvit, Keren & Dugas, Michelle. 2014. The Psychology of Martyrdom : Making The Ultimate Sacrifice in The Name of a Cause. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 107. No 3 : pp.494-515
- Louca, Eleonora Papaleontiou. Esmailnia, Saeed & Thoma, Niki. 2021. A Critical Review of Maslow’s Theory of Spirituality. Journal of Spirituality in Mental Health. 24 (1) : pp.1-17
- Rakhmat, Jalaluddin. 2025. Manusia dalam Sorotan Pengetahuan. BERNAS Ilmu Utama. Jombang.
- Wilber, K. (2000). Integral psychology: Consciousness, spirit, psychology, therapy. Shambhala Publications

Dr. Muhammad Ashar
Ketua Departemen Kaderisasi PP IJABI