BlogKhazanah

Walid, Ayah dari Banyak Hati

Umar Al Habsyi

Namanya bukan Walid. Tapi kami semua memanggilnya begitu. Namanya sama dengan sosok yang sangat dicintainya: Muhammad.

Anak-anaknya memanggilnya Walid. Menantunya juga. Keponakan-keponakannya. Tetangga-tetangga. Para pelanggan tokonya. Pedagang-pedagang di pasar pun memanggilnya Pak Walid. Jamaah majelis pengajian, orang-orang yang datang untuk mengaji, berdzikir, dan berdoa bersama pun memanggilnya Walid.

Maka, sungguh… beliau bukan hanya ayah bagi anak-anaknya, tapi ayah dari begitu banyak hati.

Saya mengenalnya sebagai figur orang tua yang penuh ilmu dan kasih. Walid tak pernah jenuh belajar. Rak bukunya dulu penuh sesak oleh kitab-kitab sejarah, tafsir, hadis, dan buku-buku tebal lainnya yang membuat saya kagum dan malu sendiri. Tapi perlahan koleksi itu berkurang, bukan karena ia berhenti membaca, melainkan karena ia suka meminjamkan buku-bukunya kepada siapa pun yang butuh. Namun saya sangat tersanjung, di antara buku yang beliau sangat cintai dan sering diulang membacanya adalah koleksi yang saya hadiahkan dulu, berupa paket Tafsir Al-Qur’an dan kumpulan Doa Shahifah Alawiyyah.

Walid suka sekali berdiskusi. Setiap saya pulang ke Lampung, saya merasakan kehangatan sambutan wajahnya seolah berkata, “Ayo, kita duduk dan diskusi.” Topik favoritnya adalah sejarah, terutama sejarah Rasulullah SAW dan keluarga beliau yang mulia. Tapi jangan salah, sejarah kerajaan Nusantara pun ia kuasai. Omong-omong soal pewayangan pun beliau fasih. Pernah suatu saat berkunjung ke Keraton Yogyakarta, justru pemandu wisatanya yang banyak mendapatkan tambahan pengetahuan dan koreksi. Tebalik, kata almarhumah Umik. Tapi begitulah Walid, sangat percaya diri dengan pengetahuannya.

iklan

Dari pemahaman sejarah itu, tumbuh kecintaan mendalam pada Rasulullah SAW dan keluarganya. Kecintaan yang bukan hanya dalam kata, tapi dalam laku, dalam cara hidup, dalam nasihat-nasihatnya kepada kami, dalam cerita, dan bahkan teka-teki yang selalu diupayakan bersumber dari keluarga nubuwah itu.

“Kenalkan Rasulullah dan keluarganya kepada anak-anak. Jangan biarkan mereka tumbuh tanpa mengenalnya. Karena bagaimana mungkin bisa mencintai kalau tak mengenal?”

Pesan itu diulanginya berkali-kali, seolah takut kami lupa. Dan Walid benar, kami suka lupa.

Saat saya dan istri pamit hendak berhaji, beliau berkata dengan mata teduh dan lelah:
“Doakan Walid… jangan lupa, sering-sering tawassul kepada Rasulullah dan keluarganya. Minta kepada Allah, sampaikan lewat para kekasih-Nya.”

Saya tak sanggup berkata banyak waktu itu, hanya mengangguk. Tapi dalam perjalanan dari embarkasi menuju bandara, kami membaca doa tawassul bersama dengan lirih, dengan air mata. Karena wajah Walid hadir kembali dalam ingatan, seolah ikut duduk bersama kami, mengaminkan.

Walid punya ingatan yang luar biasa. Bahkan cerita masa kecilnya masih bisa ia kisahkan dengan rinci. Bagaimana ia mengurus sendiri pindah sekolah sejak SD, merantau ke Yogyakarta, kemudian nyantri di Malang, Lawang, lalu kembali ke Palembang. Semua ia ceritakan seolah baru terjadi kemarin.

Di Palembang, ia mulai berdagang. Di sanalah ia menikahi Umik, perempuan tangguh yang menjadi kekasih hidupnya, sahabat perjuangannya. Sebagian anak-anak lahir di sana, termasuk istri saya. Tapi karena satu dan lain hal, mereka kemudian hijrah ke Bandar Lampung dengan hanya membawa keyakinan, cinta, dan keberanian.

Di kota yang baru, mereka merintis dari nol. Jatuh bangun. Pernah sangat sulit. Tapi tak pernah menyerah. Sampai akhirnya, sekitar dua dekade kemudian, mereka mulai menikmati hasilnya. Walau ia hanya puas dengan untung tipis. Walau banyak orang hutang tak mengembalikan. Walau berkali-kali ditipu oleh orang. Walid ikhlas, meski kadang berat dan muncul sesekali dalam momen-momen tertentu, terutama apabila berkaitan dengan orang-orang dekat.

Hidup yang penuh peluh, tapi juga penuh berkah. Dan tak pernah lepas dari semangat berdakwah. Diam-diam, Walid menjadi penyambung tali damai antar sesama umat kakeknya Rasulullah, menjembatani hati dalam perbedaan. Walau menjadi jembatan mesti siap untuk diinjak-injak oleh sisi sana dan sini. Ia terima, walau tentu berat.

Umik wafat sepuluh tahun yang lalu, di bulan Dzulhijjah.

Dan kini, di bulan yang sama, Walid menyusulnya. Di bulan haji, sepuluh hari pertama Dzulhijjah, hari-hari yang Allah muliakan, saat kami sedang di Tanah Suci menunaikan rukun Islam kelima.

Sewaktu pamitan, kami menyampaikan akan mengunjungi beliau sepulang haji, sekeluarga. Beliau hanya diam, tidak berkomentar. Masih terngiang senyum lebarnya pada saya dalam video call terakhir ketika istri saya ke Lampung untuk pamitan haji.

Tapi rupanya Allah lebih rindu. Allah ingin Walid segera menemuinya, tidak menunggu kami selesai berhaji dulu.

Kami tidak sempat menyalami tangan tuanya, tidak sempat memeluk tubuh renta itu. Kami titipkan peluk cium melalui anak-anak kami. Tapi kami tahu, pelukan Allah jauh lebih hangat. Kami percaya, Allah menyambutnya dengan lembut, dengan panggilan yang indah:

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba yang Kucintai, masuklah ke dalam surga-Ku.”

Selamat jalan, Walidku tersayang.

Antum lana faratun, wa naḥnu in syaa Allah bikum laahiquun.
Engkau hanyalah mendahului kami, dan kami Insya Allah akan menyusul. Semoga Allah satukan kembali engkau dan Umik dalam taman surga yang kekal. Dan semoga kami masih sempat menyusul membawa amal yang cukup, membawa cinta yang utuh kepada Rasulullah dan keluarganya seperti yang selalu kau ajarkan.

Duhai Rasulullah… kami bersaksi, Walid adalah pecintamu, pecinta sejatimu. []

UA/5 Dzulhijjah 1446 H
Makkah al-Mukarramah

Website |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button