Blog

Antara Kebenaran dan Kebaikan

Oleh Mohammad Adlany Ph.D., Anggota Dewan Syura IJABI

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terjebak dalam dilema moral yang klasik: Apakah kita harus mengatakan kebenaran walau menyakitkan, atau memilih diam demi menjaga kebaikan hati orang lain? Pertanyaan ini tampaknya sederhana, tetapi memiliki akar yang dalam dalam diskursus etika, teologi, dan filsafat moral Islam.

Islam tidak melihat kebenaran (al-ḥaqq) dan kebaikan (al-khayr) sebagai dua kutub yang saling bertentangan, melainkan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama, yang keduanya harus disatukan dalam kehidupan seorang Muslim.

Konsep al-ḥaqq dalam Al-Qur’an sangat fundamental. Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai:

> ٱللَّهُ ٱلْحَقُّ

iklan

Allah adalah (Tuhan) Yang Maha Benar.” (QS. Al-Hajj: 6)

Kebenaran dalam Islam bukan sekadar kesesuaian dengan realitas faktual, tapi merupakan prinsip metafisis, moral, dan spiritual yang menopang semesta. 

Imam Ja‘far al-Shadiq as berkata:

الحقُّ أَفْوَقُ الأشياءِ، وليس وراءه شيءٌ

Kebenaran adalah puncak segala sesuatu. Tidak ada lagi setelahnya.” (Bihar al-Anwar, jilid 2, hal. 168)

Bagi para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, kebenaran adalah bentuk tertinggi dari pemahaman intelektual yang mengantar manusia kepada al-sa‘ādah (kebahagiaan sejati). Ia menulis:

Kebenaran adalah kesesuaian akal manusia dengan tatanan akal aktif yang mencerminkan hikmah ilahiyah.” (Tahsil al-Sa‘adah, hal. 37)

Islam adalah agama rahmat dan kebaikan. Tujuan dari risalah Islam bukan hanya menyebarkan kebenaran, tapi juga memastikan bahwa kebenaran itu membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Allah SWT berfirman:

> وَمَا أَرْسَلْنَـٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَـٰلَمِينَ

Kami tidak mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Imam Ali bin Abi Thalib as menegaskan pentingnya kebaikan dalam ucapan dan tindakan:

قَوْلُ الْخَيْرِ يَظْهَرُ فِي الْوَجْهِ، وَفِعْلُهُ يُزَيِّنُ الْقَلْبَ.

Ucapan baik tercermin di wajah, dan perbuatan baik memperindah hati.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 412)

Mulla Sadra menyatakan bahwa kebaikan sejati bersumber dari penyatuan antara akal dan jiwa yang suci, dan bukan semata-mata tindakan lahir:

Kebaikan sejati (al-khayr al-haqiqi) adalah kesempurnaan keberadaan (kamāl al-wujūd), bukan hanya kebaikan lahiriah.” (Al-Asfar, jilid 6, hal. 287)

Islam memandang bahwa kebenaran tanpa kebaikan bisa menjadi kejam, sedangkan kebaikan tanpa kebenaran bisa menjadi sesat. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ

Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Imam Ghazali mengingatkan bahwa berkata benar itu penting, tapi menyampaikan dengan kasih sayang adalah sunnah para nabi:

Janganlah kamu menyampaikan kebenaran kecuali dengan wajah yang penuh cinta dan niat memperbaiki, bukan niat mencela.” (Ihya’, Jilid 2, Bab Amar Ma‘ruf)

Nabi Muhammad saw adalah teladan terbaik dalam memadukan kebenaran dan kebaikan. Dalam hadis disebutkan:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Musnad Ahmad, hadis no. 8952)

Beliau tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menyampaikan dengan penuh kelembutan. Ketika orang Quraisy mencaci maki beliau, beliau justru mendoakan mereka. Ketika seorang badui kasar menarik baju beliau hingga lehernya memerah, Nabi hanya tersenyum dan memberinya nasihat dengan lembut.

Dalam kerangka filsafat Islam, kebenaran adalah sesuatu yang mengarah kepada kesempurnaan eksistensial. Mulla Sadra menekankan bahwa hakikat realitas adalah eksistensi itu sendiri yang bersifat baik:

Setiap realitas adalah baik sejauh ia berpartisipasi dalam wujud.” (Asfar, jilid 1, hal. 89)

Sementara itu, Ibn Sina menjelaskan bahwa tujuan pengetahuan adalah kebaikan yang dihasilkan dari pengetahuan itu:

Tujuan dari mengetahui adalah agar jiwa mencapai keindahan, bukan sekadar mengetahui yang abstrak.” (Al-Najat, hal. 55)

Islam tidak memisahkan antara kebenaran dan kebaikan. Kebenaran adalah kompas, kebaikan adalah jalan. Keduanya saling melengkapi dan tidak boleh dipertentangkan. Kebenaran tanpa kebaikan bisa menjadi pedang yang menyayat, sedangkan kebaikan tanpa kebenaran bisa menjadi kabut yang menyesatkan.

Dalam menghadapi dunia yang penuh kebisingan dan polarisasi, kita dipanggil untuk menyampaikan kebenaran dengan kasih, menebarkan kebaikan yang bersumber dari akal dan wahyu, dan meneladani Rasulullah saw yang menjadi puncak dari integrasi antara kebenaran dan kebaikan.

Sebagaimana doa yang sering diajarkan para imam Ahlulbait:

اللّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah kami kemampuan mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.” (Makarim al-Akhlaq, Ibn Shu‘bah al-Harrani)

Mari kita hidup dengan prinsip: kebenaran yang mengandung kasih sayang, dan kebaikan yang dilandasi oleh kebenaran. Inilah jalan para nabi, jalan para arif, dan jalan yang akan membawa kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Mohammad Adlany Ph. D.
Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button