Sukainah Menulis dengan Air Mata Darah, Mengajarkan dengan Cahaya

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI
Dalam sejarah umat manusia, terdapat sosok-sosok yang kehadirannya tidak hanya mencerminkan penderitaan, tetapi justru menjadikan penderitaan itu sebagai jalan menuju kemuliaan dan petunjuk. Di antara mereka, nama Sukainah binti al-Ḥusain menempati tempat yang istimewa—bukan semata karena nasabnya, melainkan karena keteguhan akal, keluhuran rasa, dan kejernihan imannya.
Sahl bin Sa‘d, seorang sahabat Rasulullah ﷺ, meriwayatkan peristiwa yang sarat makna. Ketika kafilah keluarga Nabi digiring ke Damaskus sebagai tawanan, ia menemui seorang gadis yang tampak memikul kesedihan mendalam. “Siapa engkau?” tanyanya. Gadis itu menjawab, “Sukainah binti al-Ḥusain.” Maka Sahl, tergerak oleh kasih dan penghormatannya pada keluarga Nabi, menawarkan bantuan.
Sukainah menjawab dengan kelembutan yang mengandung hikmah: “Katakanlah pada pembawa kepala ayahku agar berjalan di depan kami, agar pandangan manusia tertuju padanya dan tidak pada kami, wanita dari keluarga Rasulullah.”
Ungkapan ini—meskipun sederhana—mengandung keagungan ruhani dan kesadaran sejarah yang dalam. Ia bukan sekadar memohon penutup bagi rasa malu, tetapi menyuarakan bahwa kepala ayahnya—Imam Ḥusain—adalah penanda kebenaran yang lebih patut dipandang dunia, bukan tubuh para perempuan suci yang ditawan secara zalim.
Dalam Kegelapan Karbalā’, Cahaya Menyala
Karbala bukan hanya sebuah tragedi; ia adalah mīzān (timbangan) sejarah yang membedakan haq dan batil. Dalam kegelapan padang itu, di mana darah para syuhada membasahi tanah, dan tangisan anak-anak Nabi ﷺ menggema di angkasa, muncul cahaya yang tak pernah padam: Sukainah.
Putri kecil ini menyaksikan derita yang melampaui usia dan batas. Namun, dari luka itu tumbuh kebijaksanaan dan kelembutan hati, yang kelak akan menjadi suluh bagi umat.
Dari Madinah ke Makkah, lalu Karbalā’, Kufah, hingga Damaskus—kisahnya adalah kisah pengembaraan spiritual, di mana penderitaan tidak membutakan hati, melainkan memperhalus pandangan. Ia adalah bintang yang bersinar justru saat langit paling gelap.
Hal ini adalah sebagaimana para ʿārifin menggambarkan: dalam ghurbah ada tajalli, dalam kesendirian ada penyaksian. Dalam kesendirian yang mengiris hati, Ia hadir sebagai Teman Yang Sangat Karib. Dan kami lebih dekat dari urat lehernya. (QS 50:16)
Puisi Menjadi Hikmah
Sukainah bukan hanya pewaris darah Ahlulbayt. Ia adalah pelanjut jalan ma‘rifah dan hikmah. Setelah kembali ke Madinah, ia tidak memilih diam dalam luka, tetapi menyalurkannya melalui puisi dan majelis ilmu. Di rumahnya, para penyair besar berkumpul, bukan untuk memuji dunia, tetapi untuk menundukkan kata di hadapan hakikat. Ia menjadi guru—mengoreksi, menilai, dan bahkan memberi penghargaan atas karya yang jujur dan tulus. Di sanalah puisi bukan hiburan, melainkan dzikir dan pelajaran.
Salah satu puisi yang dinisbahkan kepadanya, menyimpan ratapan yang bukan keputusasaan, melainkan cinta yang telah melebur dalam takdir ilahi:
يَا أَبَتِيْ قَدْ رَحَلْتَ وَتَرَكْتَنِيْ فِيْ ظَلَامٍ
فِيْ كَرْبَلَاءَ دَمُكَ سَالَ وَالْقَلْبُ هَامَ
كَيْفَ أَعِيْشُ بَعْدَكَ يَا نُوْرَ عَيْنِيْ
حُبُّكَ فِيْ قَلْبِيْ سَيَبْقَى إِلَىٰ الْأَبَدِ
Terjemahan:
Wahai ayahku, engkau telah pergi dan meninggalkanku dalam kegelapan.
Di Karbala, darahmu mengalir dan hatiku tersesat.
Bagaimana aku hidup tanpamu, wahai cahaya mataku?
Cintamu di hatiku akan abadi selamanya.
Puisi ini memadukan antara huzn (kesedihan) dan shabr (ketegaran). Kata “zhalāmin” di baris pertama bukan hanya menunjuk pada gelapnya malam atau kondisi fisik, melainkan adalah simbol dari ẓulm—ketidakadilan yang menimpa keluarga suci.
Di baris berikutnya, frasa “damuka sāla” adalah gambaran darah syahid yang tidak sia-sia, melainkan mengalir menjadi benih bagi tumbuhnya keadilan.
Kata “qalbu hāma”, hatiku tersesat, bukanlah bentuk kelemahan, tapi menunjukkan betapa jiwa seorang anak mengalami perpisahan dengan cinta suci. Namun kesedihan ini tidak melumpuhkan, karena dalam bait terakhir, cinta kepada ayahnya dinyatakan akan “sayabqā ilā al-abadi”—tetap kekal, sebagaimana ajaran dan perjuangan Imam Husain.
Puisi yang Mengandung Ma‘nā dan Balāghah
Jika kita merenungkan puisi ini dalam perspektif balāghah Arab, kita akan menemukan struktur yang rapi dan sarat makna. Gaya bahasa isti‘ārah (metafora), tasybīh (perbandingan), dan taṭbīq (kontras) digunakan dengan halus. Kalimat “rahalta” (engkau telah pergi) berkontras dengan “sayabqā” (akan abadi), memperlihatkan bahwa ketidakhadiran jasad tidak memadamkan cahaya ruh.
Begitu pula dengan metafora “nūr ‘aynī”—cahaya mataku—yang menegaskan bahwa sosok Imam Ḥusain bukan hanya ayah biologis, tetapi sirāj (pelita) dalam perjalanan spiritual Sukainah dan umat Islam.
Bait-bait puisi ini menjadi zād al-rūḥ, bekal ruhani bagi generasi yang haus akan makna pengorbanan dan kesetiaan.
Kebangkitan dalam Ilmu
Di Madinah, rumah Sukainah bukan hanya tempat berkabung, tapi berubah menjadi ḥalaqah nūr. Para penyair Quraisy datang untuk belajar padanya. Al-Farazdaq dan lainnya menyaksikan betapa lembut dan dalamnya penilaian Sukainah. Ia tidak mencari pujian, tapi menghidupkan kembali makna. Melalui puisi dan diskusi, ia menjaga api Karbala tetap menyala, tidak sebagai bara dendam, tetapi sebagai cahaya ilmu dan keadilan.
Dalam dunia yang semakin jauh dari nilai-nilai hakiki, warisan intelektual Sukainah adalah burhān (bukti) bahwa siapa pun, baik seorang perempuan maupun laki-laki, dengan luka di dada dan pena di tangan, dapat membangkitkan umat dari kelalaian. Ia tidak memiliki pasukan, tapi kata-katanya lebih tajam dari pedang. Ia tidak mendirikan istana, tapi hikmahnya menjadi tiang penyangga jiwa mereka yang mencari kebenaran.
Cinta yang Menjadi Suar
Sukainah binti Husain adalah bintang yang tidak pudar, karena cahayanya bukan berasal dari materi, melainkan dari kebenaran. Ia adalah saksi sejarah, penyair duka, guru hikmah, dan penjaga nilai. Dari Madinah ke Damaskus, dari bait puisi hingga barisan syuhada, namanya terukir sebagai penjaga cinta yang telah disucikan oleh penderitaan.
Dan sebagaimana api yang dipelihara dalam malam yang dingin, cinta Sukainah kepada ayahnya telah menjadi cahaya yang menuntun umat, hingga zaman berakhir.
Wa maa taufiiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib.
Bandung, 24 Muharram 1467 H
