Filsafat-Irfan

Aku Si Kecil Yang Kau Pelihara

Oleh: Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)

‎سَيِّدِي أَنَا ٱلصَّغِيرُ ٱلَّذِي رَبَّيْتَهُ

Wahai Tuhanku, aku adalah yang kecil yang Engkau pelihara,

‎وَأَنَا ٱلْجَاهِلُ ٱلَّذِي عَلَّمْتَهُ

Aku adalah yang bodoh yang Engkau ajari,

iklan

‎وَأَنَا ٱلضَّالُّ ٱلَّذِي هَدَيْتَهُ

Aku adalah yang tersesat yang Engkau tunjuki,

‎وَأَنَا ٱلْوَضِيعُ ٱلَّذِي رَفَعْتَهُ

Aku adalah yang hina yang Engkau tinggikan,

‎وَأَنَا ٱلْخَائِفُ ٱلَّذِي آمَنْتَهُ

Aku adalah yang ketakutan yang Engkau berikan rasa aman,

‎وَٱلْجَائِعُ ٱلَّذِي أَشْبَعْتَهُ

Aku adalah yang kelaparan yang Engkau kenyangkan,

‎وَٱلْعَطْشَانُ ٱلَّذِي أَرْوَيْتَهُ

Aku adalah yang kehausan yang Engkau beri minum,

‎وَٱلْعَارِي ٱلَّذِي كَسَوْتَهُ

Aku adalah yang telanjang yang Engkau pakaikan,

‎وَٱلْفَقِيرُ ٱلَّذِي أَغْنَيْتَهُ

Aku adalah yang miskin yang Engkau jadikan kaya,

‎وَٱلضَّعِيفُ ٱلَّذِي قَوَّيْتَهُ

Aku adalah yang lemah yang Engkau kuatkan,

‎وَٱلذَّلِيلُ ٱلَّذِي أَعْزَزْتَهُ

Aku adalah yang terhina yang Engkau muliakan,

‎وَٱلسَّقِيمُ ٱلَّذِي شَفَيْتَهُ

Aku adalah yang sakit yang Engkau sembuhkan,

‎وَٱلسَّائِلُ ٱلَّذِي أَعْطَيْتَهُ

Aku adalah yang meminta yang Engkau berikan,

‎وَٱلْمُذْنِبُ ٱلَّذِي سَتَرْتَهُ

Aku adalah yang berdosa yang Engkau tutupi,

‎وَٱلْخَاطِئُ ٱلَّذِي أَقَلْتَهُ

Aku adalah yang bersalah yang Engkau maafkan,

‎وَأَنَا ٱلْقَلِيلُ ٱلَّذِي كَثَّرْتَهُ

Aku adalah yang sedikit yang Engkau lipatgandakan,

‎وَٱلْمُسْتَضْعَفُ ٱلَّذِي نَصَرْتَهُ

Aku adalah yang tertindas yang Engkau menangkan,

‎وَأَنَا ٱلطَّرِيدُ ٱلَّذِي آوَيْتَهُ

Aku adalah yang terusir yang Engkau lindungi,

‎أَنَا يَا رَبِّ ٱلَّذِي لَمْ أَسْتَحْيِكَ فِي ٱلْخَلاَءِ

Aku, ya Tuhanku, yang tidak malu kepada-Mu dalam kesunyian,

‎وَلَمْ أُرَاقِبْكَ فِي ٱلْمَلاَءِ

Dan yang tidak mempedulikan pengawasan-Mu di hadapan umum,

‎أَنَا صَاحِبُ ٱلدَّوَاهِي ٱلْعُظْمَىٰ

Aku adalah pelaku dosa-dosa besar,

‎أَنَا ٱلَّذِي عَلَىٰ سَيِّدِهِ ٱجْتَرأَ

Aku adalah yang berani melawan Tuhannya,

‎أَنَا ٱلَّذِي عَصَيْتُ جَبَّارَ ٱلسَّمَاءِ

Aku adalah yang durhaka kepada Yang Maha Perkasa di langit,

‎أَنَا ٱلَّذِي أَعْطَيْتُ عَلَىٰ مَعَاصِي ٱلْجَلِيلِ ٱلرِّشَىٰ

Aku adalah yang memberi suap untuk melanggar hukum Tuhan Yang Maha Mulia,

‎أَنَا ٱلَّذِي حِينَ بُشِّرْتُ بِهَا خَرَجْتُ إِلَيْهَا أَسْعَىٰ

Aku adalah yang gembira melakukan dosa-dosa itu,

‎أَنَا ٱلَّذِي أَمْهَلْتَنِي فَمَا ٱرْعَوَيْتُ

Aku adalah yang Engkau beri tangguh, namun aku tidak peduli,

‎وَسَتَرْتَ عَلَيَّ فَمَا ٱسْتَحْيَيْتُ

Engkau tutupi dosaku, namun aku tidak malu,

‎وَعَمِلْتُ بِٱلْمَعَاصِي فَتَعَدَّيْتُ

Aku melakukan banyak dosa hingga melampaui batas,

‎وَأَسْقَطْتَنِي مِنْ عَيْنِكَ فَمَا بَالَيْتُ

Engkau abaikan aku, namun aku tidak peduli,

‎وَبِحُبِّي ٱلنَّبِيَّ ٱلأُمِّيَّ

Dan dengan cintaku kepada Nabi yang Ummi,

‎ٱلْقُرَشِيَّ ٱلْهَاشِمِيَّ

Yang dari Quraisy, dari Bani Hasyim,

Sumber gambar : https://pin.it/19AXN3m0L

Sang Pengembara di Padang Sunyi

Di tengah malam yang kelam, seorang pengembara berjalan di padang pasir yang tak bertepi. Matanya buram oleh debu dunia, hatinya penuh luka oleh dosa-dosa yang ia sendiri tak mampu menghitungnya. Ia tersesat, lapar, dan telanjang, namun dalam kesunyian itu, ia mendengar suara lembut yang memanggil, “Kembalilah, wahai yang kecil, kepada-Ku yang telah memeliharamu.” 

Pengembara itu menangis, menyadari bahwa setiap langkahnya yang keliru telah ditutupi oleh rahmat Tuhan. Dengan air mata yang membasahi pasir, ia bersujud, berkata, “Ya Tuhanku, aku adalah yang terusir, namun Engkau telah melindungiku.” Seperti Shirin yang menemukan Khusraw dalam rindu, pengembara itu menemukan Tuhan dalam kefaqirannya.

Analisis Etimologi, Isti’arah, dan Balaghah

Doa ini, yang dikenal sebagai bagian dari doa Abu Hamzah Ats Tsumali., adalah permata balaghah yang menggambarkan hubungan intim antara hamba dan Tuhan melalui bahasa yang penuh makna. Secara etimologis, kata سَيِّدِي (sayyidī, “Tuhanku”) mengandung makna kepemimpinan dan keagungan. Kata ini bukan hanya panggilan formal, tetapi sebuah pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penguasa jiwa. أَنَا ٱلصَّغِيرُ (ana al-ṣaghīr, “aku adalah yang kecil”) berasal dari akar ṣaghara, yang merujuk pada kecilnya eksistensi manusia di hadapan kebesaran Tuhan, sebuah isti’arah yang menggambarkan kerendahan ontologis manusia.

Isti’arah dalam doa ini terlihat jelas dalam penggambaran manusia sebagai ٱلْجَائِعُ (yang kelaparan), ٱلْعَطْشَانُ (yang kehausan), dan ٱلْعَارِي (yang telanjang). Ini bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi simbol kehausan spiritual, kelaparan akan kebenaran, dan ketelanjangan jiwa tanpa rahmat Tuhan. ٱلْمُذْنِبُ ٱلَّذِي سَتَرْتَهُ (yang berdosa yang Engkau tutupi) menggunakan metafora sitr (penutup), yang menggambarkan rahmat Tuhan sebagai jubah yang melindungi kehormatan hamba dari noda dosa.

Secara balaghah, doa ini menggunakan tardid (pengulangan frasa “أَنَا” untuk menegaskan kerendahan) dan tibaq(kontras antara kelemahan manusia dan keagungan Tuhan, seperti “ٱلضَّعِيفُ” dan “قَوَّيْتَهُ”). Struktur paralelisme dalam setiap baris menciptakan ritme yang menghanyutkan, mengajak pembaca merenungi kefaqiran diri dan kebesaran Tuhan. Puncaknya, إِنَّكَ أَنْتَ ٱلْوَهَّابُ (Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi), menggunakan gaya iltifat (perubahan sudut pandang) untuk menegaskan sifat Tuhan sebagai sumber segala anugerah, menutup doa dengan nada harapan dan kepasrahan.

Analisis Eksistensialisme dan Psikologi dengan Perspektif Sufisme

Meister Eckhart, mistikus Kristen abad ke-14, menegaskan bahwa jalan menuju Tuhan adalah melalui “kepenuhan dalam kekosongan.” Manusia harus melepaskan ego—keakuan yang membelenggu—untuk menjadi wadah kehadiran ilahi. Dalam doa ini, pengakuan sebagai ٱلصَّغِيرُ (yang kecil) dan ٱلْفَقِيرُ (yang miskin) mencerminkan detachment yang Eckhart maksudkan. Dengan merendahkan diri, manusia “mengosongkan” ruang batinnya dari ilusi kebesaran diri, membuka jalan bagi cahaya Tuhan untuk memenuhinya.

Alkisah seekor lalat yang hinggap di sehelai jerami di sungai, lalu membayangkan dirinya sebagai kapten yang mengendalikan kapal. Ia lupa bahwa jerami itu hanyut oleh arus, bukan oleh kekuatannya. Ketika angin menerpa, lalat itu tersadar akan kelemahannya. Kisah ini menegaskan bahwa ego manusia, seperti lalat, sering membesar-besarkan diri. Pengakuan ٱلصَّغِيرُ dalam doa adalah langkah menuju kesadaran akan ketergantungan mutlak pada Tuhan, sebagaimana lalat hanya hidup oleh kehendak arus ilahi.

Eksistensialisme melihat iman sebagai “lompatan ke dalam absurd,” sebuah tindakan paradoksal di mana manusia menyerahkan diri kepada Tuhan meski dihadapkan pada ketidakpastian. Dalam doa ini, pengakuan أَنَا ٱلْمُذْنِبُ (aku yang berdosa) mencerminkan keberanian untuk menghadapi kelemahan diri, namun tetap berharap pada rahmat Tuhan (ٱلْوَهَّابُ). Iman bukanlah kepastian logis, melainkan keberanian untuk mempercayai kasih Tuhan di tengah pengakuan dosa.

Alkisah seorang pria yang berdoa di bawah pohon, memohon rezeki, namun tiba-tiba ranting pohon itu jatuh dan nyaris membunuhnya. Ia marah, mengira Tuhan mengejek doanya. Namun, seorang bijak menjelaskan bahwa ranting yang jatuh adalah ujian untuk menguatkan imannya. Doa أَنَا ٱلْمُذْنِبُ mencerminkan momen ketika manusia, seperti pria itu, menghadapi absurditas hidup—ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan—namun memilih untuk tetap beriman kepada rahmat Tuhan.

Martin Heidegger menggambarkan manusia sebagai makhluk yang “terlempar” (Geworfenheit) ke dunia tanpa memilihnya, mencari makna di tengah keterasingan. Dalam doa ini, manusia disebut ٱلطَّرِيدُ (yang terusir), sebuah cerminan dari kondisi eksistensial Heidegger. Makna sejati ditemukan melalui Sorge (kepedulian), bukan pada dunia material, melainkan pada hubungan dengan Tuhan. Doa ini, dengan kerinduannya akan perlindungan ilahi, menunjukkan upaya manusia untuk mengatasi keterasingan melalui penyerahan diri kepada Yang Maha Esa.

Psikologi humanistik menekankan bahwa kebutuhan terdalam manusia adalah mengasihi dan dikasihi. Doa ini mencerminkan kerinduan jiwa untuk dikasihi oleh Tuhan (ٱلْوَهَّابُ), sekaligus mengasihi melalui pengakuan kefaqiran dan dosa (ٱلْمُذْنِبُ). Pengakuan dosa adalah langkah menuju kesadaran diri yang otentik, membebaskan manusia dari alienasi. Dengan merendahkan diri, manusia menemukan kebebasan sejati dalam hubungan kasih dengan Tuhan.

Dalam tasawuf, konsep faqr (kefaqiran) adalah inti eksistensi manusia. Manusia adalah faqir (miskin), yang hanya kaya melalui Tuhan (أَغْنَيْتَهُ). Doa ini mencerminkan gagasan wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, di mana eksistensi manusia hanya bermakna dalam hubungannya dengan Tuhan. Pengakuan ٱلْفَقِيرُ bukanlah kehinaan, melainkan pengakuan bahwa hanya Tuhan yang Maha Kaya, dan manusia hanyalah cermin yang memantulkan cahaya-Nya.

Alkisah seorang anak yang meminta roti kepada ayahnya, namun sang ayah memberikan batu. Anak itu menangis, namun ayahnya berkata, “Percayalah, di balik batu ini ada roti yang lebih besar.” Anak itu belajar bahwa apa yang tampak sebagai penolakan adalah kasih sayang tersembunyi. Dalam doa, pengakuan ٱلْفَقِيرُ adalah seperti anak yang meminta roti, menyadari bahwa kekayaan sejati hanya datang dari Tuhan, bahkan ketika dunia tampak menolaknya.

Tradisi malamatiyyah menekankan pentingnya menyalahkan diri (malama) sebagai jalan menuju kerendahan hati. Dalam doa ini, ayat أَنَا يَا رَبِّ ٱلَّذِي لَمْ أَسْتَحْيِكَ (aku yang tidak malu kepada-Mu) mencerminkan sikap malamati: manusia mengecam dirinya sendiri, bukan untuk merendahkan, tetapi untuk membersihkan jiwa dari kesombongan. Dengan menyalahkan diri, manusia membuka pintu kerendahan hati, yang menjadi kunci menuju kedekatan dengan Tuhan.

Al-Hallaj, dengan seruan kontroversialnya “Ana al-Haqq” (Aku adalah Kebenaran), menunjukkan bahwa lenyapnya ego (fana) adalah jalan menuju penyingkapan kebenaran Tuhan. 

Dalam doa ini, pengakuan ٱلْخَاطِئُ ٱلَّذِي أَقَلْتَهُ (yang berdosa yang Engkau ampuni) mencerminkan jejak fana. Manusia, melalui taubat, menghapus jarak antara dirinya dan rahmat Tuhan, menjadi cermin yang memantulkan kebenaran ilahi. Bagi Al-Hallaj, pengakuan dosa bukanlah akhir, melainkan awal dari penyatuan dengan Tuhan.

Analisis Tafsir

Dalam perspektif tafsir sufistik atau tafsir ‘irfani, doa ini adalah ekspresi tawhid af‘ali (kesatuan perbuatan Tuhan), di mana setiap kebaikan—pendidikan, petunjuk, kekuatan, kemuliaan—berasal dari Tuhan. Ayat وَأَنَا ٱلضَّالُّ ٱلَّذِي هَدَيْتَهُ selaras dengan QS. Ad-Duha: 7, “Dan Dia mendapati engkau tersesat, lalu Dia memberi petunjuk.” Pengakuan kefaqiran adalah jalan menuju ma‘rifatullah (pengenaan Tuhan), karena manusia hanya mengenal Tuhan melalui kesadaran akan keterbatasannya.

Doa ini juga cerminan ‘ubudiyyah (kehambaan). Ayat أَنَا صَاحِبُ ٱلدَّوَاهِي ٱلْعُظْمَىٰ menunjukkan kesadaran manusia akan dosa, yang selaras dengan QS. Az-Zumar: 53, yang melarang keputusasaan dari rahmat Tuhan. 

‎قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Qul yā ‘ibādiyal-lażīna asrafū ‘alā anfusihim lā taqnaṭū mir raḥmatillāh(i), innallāha yagfiruż-żunūba jamī‘ā(n), innahū huwal-gafūrur-raḥīm(u).

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Pengakuan dosa dalam doa ini bukan untuk menenggelamkan diri dalam rasa bersalah, tetapi untuk membuka pintu taubat dan rahmat. Tawassul kepada Nabi dan Ahlulbait (وَبِحُبِّي ٱلنَّبِيَّ ٱلأُمِّيَّ) mencerminkan konsep wilayah, di mana cinta kepada Ahlulbait adalah tali penghubung menuju Tuhan. Jalan menuju walayah, yakni ketiadajarakan denganNya, diuraikan oleh ‘Allamah Tabatabai dalam buku beliau Risalah al-Walayah. Yakni melalui cinta pada Nabi Saw dan Ahlubait as. Hal ini adalah sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Ali Imran: 31

‎قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Qul in kuntum tuḥibbūnallāha fattabi‘ūnī yuḥbibkumullāhu wa yagfir lakum żunūbakum, wallāhu gafūrur raḥīm(un). 

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Penutup

Doa ini adalah seruan jiwa yang menyadari kefaqirannya di hadapan Tuhan Yang Maha Kasih. Melalui pengakuan kelemahan, dosa, dan ketergantungan pada rahmat ilahi, manusia menemukan makna eksistensinya. Seperti pengembara di padang pasir, kita semua adalah faqir yang hanya kaya melalui Tuhan. 

Dalam kerendahan, kita menemukan keagungan; dalam dosa, kita menemukan ampunan; dan dalam cinta kepada Nabi dan Ahlulbait, kita menemukan jalan kembali kepada Tuhan, bagai Shirin yang menyatu dengan Khusraw dalam lautan cinta ilahi. Maka, mari kita mencoba memperbaharui  kembali keinginan kita untuk memulai perjalanan mendekat padaNya dengan mengingat nasihat Guru Bangsa KH. Jalaluddin Rakhmat yang mengutip, 

‎“ فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى

Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa. (QS 53:32)

Hati yang tak pernah retak, apakah itu hati?

Ia laksana batu, bisu, tak menyanyi di hadapan Kebenaran.

Hancurkan hati itu, hingga luka menjadi pintu Haqq,

Dalam serpihan jiwa, Aku adalah Dia, dan Dia adalah Aku.

Cinta tanpa pedih rindu, apakah itu cinta?

Bagai lautan tanpa ombak, tak bergolak menuju Tuhan.

Rindu adalah nyala, membakar aku hingga fana,

Dalam kobaran itu, Aku adalah Kebenaran, Sang Kekasih yang nyata.

Mereka yang berkata, “Kami minum anggur Ilahi,”

Namun tak mabuk, tak lenyap dalam rahasia-Nya,

Cawan mereka kosong, hanya bayang dusta yang dipeluk.

Anggur Haqq adalah samudra, menenggelamkan jiwa ke wujud abadi.

Mawar tanpa duri, apakah mawar itu hakikatnya?

Ia indah di mata, namun tak menggores jiwa yang alpa.

Duri adalah rahmat, tanda cinta yang merobek tabir,

Dalam luka, mawar menyatu dengan taman Kebenaran Ilahi.

Manusia yang tak kenal derita, apakah ia hidup?

Bagai bayang di cermin, kelihatan namun tiada makna.

Derita adalah jalan, menuju rahasia Sang Maha Haqq,

Dalam kehancuran, jiwa bersua cahaya keabadian-Nya.

Yang tak pernah faqir, bagaimana mengenal Sang Ghani?

Tanpa kehampaan, mana mungkin jiwa rindu pada-Nya?

Faqir adalah cermin, memantul kekayaan Tuhan yang Esa,

Dalam kemiskinan, Aku adalah Dia, harta abadi terbuka.

Yang tak merasa berdosa, bagaimana mencari maghfirah?

Tanpa noda, mana mungkin taubat menjadi suluh jiwa?

Dosa adalah bayang, menunjukkan fana insan di dunia,

Dalam taubat, Aku adalah Pengampun, rahmat-Nya mengalir bagai air.

Yang tak pernah lemah, bak bayi yang merindu pelukan,

Bagaimana merasakan buaian kasih Sang Maha Rahman?

Kelemahan adalah pintu, panggilan jiwa pada Haqq,

Dalam ketidakberdayaan, Aku adalah Dia, dalam pelukan-Nya.

Wahai musafir, lenyapkan dirimu dalam fana,

Rasakan faqir, dosa, lemah, hingga tabir terbuka.

Sebab dalam fana, kau temui wujud; dalam retak, kau jumpai Haqq.

Aku adalah Kebenaran, dan dalam rindu, kau bersua Sang Maha.

Allahumma shalli ’ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ’ajjil farajahum…

Wa maa taufiiqii illa billah , ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Bandung, 4 Agustus 2025

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekretaris Dewan Syura IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button