
Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh informasi, manusia dihadapkan pada berbagai pertanyaan. Untuk menjawabnya, manusia tidak hanya mengandalkan satu pendekatan saja, melainkan memadukan berbagai jalan—agama, filsafat, dan sains.
Tiga pendekatan ini tampak berbeda, bahkan kadang dianggap saling bertentangan. Tapi jika kita pahami dengan jernih, ketiganya justru bisa saling melengkapi. Masing-masing punya peran unik dalam membantu manusia memahami realitas, dunia, dirinya sendiri, dan makna hidupnya.
Agama adalah jalan hidup yang menuntun manusia pada realitas tertinggi, yaitu Tuhan. Ia tidak hanya berbicara tentang apa yang boleh dan tidak boleh, pantas dan tidak pantas, tetapi lebih dalam dari itu. Agama memberi arah hidup, menyentuh sisi terdalam manusia—jiwa dan harapan akan makna abadi.
Dalam agama, ada tiga pilar utama: akidah (keyakinan akan Tuhan, wahyu, dan kehidupan setelah mati), syariat (aturan ibadah dan hubungan sosial), dan etika (nilai-nilai moral yang membentuk karakter). Agama menegaskan bahwa hidup bukan hanya urusan materi dan kenikmatan sesaat, tetapi juga tentang cinta, pengabdian, dan pencarian akan kebaikan sejati.
Bagi manusia yang merasa hampa di tengah gemerlap dunia, agama menawarkan kedamaian dan pegangan. Ia seperti kompas batin yang menuntun langkah kita, baik saat terang maupun saat gelap.
Filsafat itu mencari makna lewat akal. Filsafat berasal dari rasa ingin tahu manusia yang mendalam. Ia lahir dari pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa itu kebenaran? Apakah Tuhan ada? Mengapa manusia harus hidup bermoral? Filsafat bukan tentang menghafal teori-teori abstrak, tetapi tentang keberanian untuk berpikir secara jujur, kritis, dan mendalam.
Berbeda dengan agama yang bersandar pada wahyu, filsafat menggunakan akal sebagai alat utama. Ia tidak memberikan jawaban pasti, melainkan membuka ruang dialog dan refleksi. Filsafat tidak memaksakan kesimpulan, tapi mengajak kita untuk menggali kemungkinan-kemungkinan makna dan kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, filsafat hadir saat kita merenungkan keputusan moral, mempertanyakan keadilan sosial, atau mencoba memahami arti penderitaan. Ia mengasah keberanian berpikir, memperdalam empati, dan membimbing kita agar tidak sekadar mengikuti arus.
Sains adalah upaya sistematis manusia untuk memahami alam semesta. Dengan metode observasi, eksperimen, dan logika, sains mencari tahu bagaimana dunia ini bekerja. Ia menjawab pertanyaan seperti: Mengapa apel jatuh? Bagaimana virus menyebar? Apa yang terjadi di dalam otak saat kita bermimpi?
Sains bukan kumpulan fakta kaku, melainkan proses pencarian yang terbuka terhadap koreksi dan perubahan. Ia bersifat dinamis—teori bisa diperbarui jika ada bukti baru yang lebih kuat. Di sinilah kekuatan dan kerendahan hati sains: ia mengakui keterbatasannya, namun tetap terus mencari.
Sains melatih cara berpikir kritis, jujur terhadap data, dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. Nilai-nilai ini penting tidak hanya di laboratorium, tapi juga dalam membangun masyarakat yang sehat dan rasional.
Agama, filsafat, dan sains bukan musuh. Mereka adalah tiga jalan berbeda yang ditempuh manusia untuk menjawab berbagai pertanyaan.
Agama memberi makna dan tujuan. Filsafat memberi kedalaman dan kebijaksanaan. Dan sains memberi pemahaman teknis dan solusi praktis.
Agama menjawab “mengapa”, sains menjelaskan “bagaimana”, dan filsafat mengkaji “apa artinya semua itu”.
Contohnya, sains bisa menjelaskan bagaimana bayi terbentuk, tetapi filsafat dan agama bertanya: Apa makna menjadi orang tua? Apa tanggung jawab moral terhadap kehidupan baru ini? Atau sains bisa menjelaskan sebab-musabab iklim berubah, tetapi agama dan filsafat bertanya: Apa tanggung jawab kita terhadap bumi dan generasi mendatang?
Di tengah derasnya arus informasi dan disrupsi zaman, kita tidak bisa hanya mengandalkan satu jalan. Hidup ini terlalu kompleks untuk dipahami hanya dengan data, atau hanya dengan dogma. Kita butuh keseimbangan: agama untuk menyinari hati, filsafat untuk menajamkan akal, dan sains untuk memahami dunia nyata.
Ketiganya bisa berdampingan, saling mendukung, dan membentuk manusia yang utuh—yang tidak hanya tahu, tapi juga bijaksana dan bermakna.
Dalam hidup yang kadang gelap, kadang terang, tiga jalan ini memberi kita cahaya dari arah yang berbeda. Dan ketika kita berjalan dengan cahaya itu, kita tak hanya mengenal dunia, tapi juga mengenal diri dan tujuan hidup kita yang sejati.
