Oleh Mohammad Adlany, Ph.D., Anggota Dewan Syura IJABI
Banyak orang berpikir bahwa perjalanan spiritual berhenti ketika seseorang sudah yakin bahwa Tuhan itu ada. Seakan-akan keyakinan akan eksistensi Tuhan adalah tujuan akhir dari pencarian spiritual manusia. Padahal, dalam pandangan banyak pemikir besar dan tradisi keagamaan, justru di titik itulah perjalanan sesungguhnya dimulai.
Meyakini keberadaan Tuhan bisa jadi berawal dari akal: argumen kosmologis, teleologis, desain cerdas, atau kesadaran moral dalam diri kita. Namun, keyakinan rasional ini bukanlah titik akhir. Itu baru fondasi. Seperti seseorang yang sudah menemukan bahwa rumahnya benar-benar ada, tapi belum pernah masuk dan tinggal di dalamnya.
Pasca keyakinan, pertanyaannya berubah:
Bagaimana hidup saya harus dijalani dalam relasi dengan Tuhan yang saya yakini itu?
Apa nilai hidup jika benar bahwa saya diciptakan oleh Zat yang Mahatahu dan Mahabaik?
Apa tanggung jawab saya sebagai makhluk yang hidup di hadapan-Nya?
Tuhan sebagai realitas personal, bukan sekadar konsep. Tuhan bukan sekadar proposisi yang dibuktikan lewat logika, tapi realitas yang mengundang perjumpaan. Keyakinan yang sejati melahirkan perubahan. Ia menggeser orientasi hidup, menata ulang prioritas, dan membuka mata batin. Seperti yang dikatakan oleh filsuf eksistensialis Søren Kierkegaard, “Tuhan bukan untuk dibuktikan, tapi untuk diimani dan dialami.”
Maka, pasca keyakinan, relasi manusia dengan Tuhan harus menjadi relasi yang personal: penuh cinta, takut, harap, dan rasa tanggung jawab. Inilah yang disebut dengan iman eksistensial, bukan sekadar iman teoritis.
Keyakinan atas Tuhan mesti berimplikasi etis dan melahirkan spiritualitas baru. Keyakinan terhadap-Nya membawa perubahan besar dalam cara kita melihat dunia dan memperlakukan sesama.
Jika Tuhan adalah sumber segala kasih, maka kita dipanggil untuk menebarkan kasih itu.
Jika Tuhan adalah keadilan mutlak, maka kita harus memperjuangkan keadilan.
Jika Tuhan adalah tujuan akhir kehidupan, maka segala usaha, ilmu, harta, dan kekuasaan harus diarahkan pada keridaan-Nya.
Pasca keyakinan, lahirlah kebutuhan akan ibadah yang bukan sekadar ritual, tapi transformasi jiwa. Lahir pula kebutuhan untuk menjadikan hidup sebagai ladang amal, bukan arena kesia-siaan.
Tuhan sebagai kompas moral. Keyakinan terhadap Tuhan juga memberi arah moral. Ketika manusia kehilangan orientasi nilai—terombang-ambing oleh relativisme dan hedonisme—keberadaan Tuhan menjadi kompas yang menuntun hati. Kita tak lagi hidup sesuka hati, karena sadar hidup kita diawasi, dinilai, dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Tuhan memberikan arti bagi kehidupan. Salah satu pertanyaan terbesar manusia adalah: “Untuk apa saya hidup?”
Tanpa keyakinan kepada Tuhan, jawabannya bisa absurd, nihil, atau ambigu. Tapi pasca keyakinan, manusia mulai menemukan bahwa hidup ini bukan kebetulan, melainkan amanah. Bahwa penderitaan bukan sia-sia, bahwa kebaikan bukan hanya soal sosial, tapi juga spiritual. Bahwa hidup ini memiliki arah, tujuan, dan makna yang dalam.
Keyakinan akan Tuhan bukanlah terminal, melainkan gerbang. Ia mengantar kita dari tahu kepada menjadi.
Menjadi manusia yang sadar, rendah hati, bertanggung jawab, dan penuh cinta. Keyakinan sejati akan eksistensi Tuhan menuntun kita pada kehidupan yang penuh makna dan kehadiran yang otentik di tengah dunia.
Dengan kata lain, pasca keyakinan, kita tidak boleh hanya menjadi pemercaya, tapi pejalan.
