
Di alam barzakh, Allah Swt menganugerahkan istana-istana cahaya kepada setiap mukmin sesuai dengan kadar keimanan dan amalnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, para penghuni surga barzakh tidak dapat mengunjungi surga yang tingkatannya lebih tinggi. Namun, mereka tetap mendapatkan kesempatan istimewa: menghadiri perjamuan ruhani yang mempertemukan seluruh mukmin dari berbagai tingkatan—di sebuah tempat yang disebut Wâdi al-Salâm.
Perjamuan ini bukan sekadar momen untuk bersua, tetapi juga wadah silaturahmi ruhani, tempat di mana arwah kaum mukmin saling mengenal, berbincang, dan menyambung cinta yang pernah mereka miliki di dunia.
Hakikat ini dijelaskan dalam riwayat dari sahabat Imam Ali as, Habbah al-‘Urani. Ia menuturkan bahwa suatu hari ia berjalan bersama Imam Ali as hingga sampai di sebuah pemakaman. Di sana, Imam berhenti cukup lama, seolah sedang berbicara dengan sekelompok orang. Habbah pun menghamparkan aba’ahnya ke tanah untuk duduk menunggu. Ketika Imam kembali berdiri, beliau berkata:
“Wahai Habbah! Aku berdiri lama di sini karena sedang bercakap-cakap dengan ruh-ruh kaum mukminin.”
Kemudian beliau menambahkan:
لَوْ كُشِفَ لَكَ لَرَأَيْتَهُمْ حِلَقًا حِلَقًا يَتَحَادَثُونَ
“Andai hijab hakikat disingkap bagimu, niscaya engkau akan melihat mereka duduk berkelompok, saling berbincang-bincang.”
(al-Kâfî, juz 3, hal. 243)

Waktu Perjamuan
Pertemuan ini tidak berlangsung sepanjang waktu. Dalam riwayat lain dari Imam Muhammad al-Baqir as disebutkan bahwa ruh-ruh para mukmin keluar dari kamar-kamar barzakhi mereka sejak magrib hingga fajar untuk hadir di Wâdi al-Salâm:
“Ruh-ruh kaum mukmin datang dari kamar-kamar mereka menuju Wâdi al-Salâm sejak magrib hingga fajar. Di sana mereka menikmati buah-buahan surga dan kenikmatan Ilahi lainnya, lalu bertemu dan berbincang dengan sesama mukmin.”
(al-Burhân, juz 3, hal. 723)
Siang hari mereka berada di kediaman masing-masing, sementara malamnya mereka berkumpul dalam perjamuan bersama para syuhada, para ulama, bahkan bersama Imamul Muttaqin, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan para Imam Ahlulbait lainnya.
(Sarnewesyt-e Insân, Ayatullah Mas’ud Ali, hal. 27)
Karena itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa makruh hukumnya berziarah ke makam pada malam hari. Salah satu hikmahnya adalah agar tidak mengganggu perjalanan ruh menuju perjamuan itu. Jika seorang mukmin sedang diziarahi, maka ia akan “menetap” untuk menghormati tamunya, dan mungkin saja kehilangan kesempatan berjumpa dengan para kekasih Allah di Wâdi al-Salâm.
Sebuah kisah menyentuh datang dari seorang ibu yang gemar menziarahi makam putranya yang gugur sebagai syahid. Suatu malam, ia bermimpi melihat rombongan syuhada bersiap-siap untuk berangkat. Ia bertanya pada putranya, “Mau ke mana mereka pergi?” Sang anak menjawab, “Kami diundang Imam Ali as. Kami akan kembali saat fajar.” Sang ibu kembali bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut bersama mereka?” Putranya menjawab, “Karena Ibu berziarah malam ini, aku tinggal untuk menghormati tamuku.” Sejak malam itu, sang ibu tak pernah lagi berziarah di waktu malam. Ketika ditanya orang, ia menjawab dengan lirih, “Aku tak ingin menghalangi anakku dari jamuan mulia bersama Imam Ali as.”

Pertemuan Terindah: Bertanya Langsung Kepada Imam
Dalam pandangan para arif, pertemuan dengan Imam Ahlulbait as adalah anugerah tertinggi bagi ruh mukmin. Salah seorang murid Ayatullah Qamsya’i menuturkan bahwa ketika sang guru mengajar Nahjul Balaghah dan sampai pada bagian yang sulit dijelaskan, beliau berkata:
“Insya Allah kita wafat sebagai ahli surga. Jika tak sempat memahami sepenuhnya di dunia, kita akan menanyakannya langsung kepada Imam Ali as di sana.”
Begitulah harapan para pecinta Ahlulbait: wafat dalam keadaan mukmin, lalu menghadiri perjamuan malam yang tak pernah dibayangkan oleh dunia—di taman-taman cahaya Wâdi al-Salâm, bersama ruh-ruh suci yang tak lekang oleh maut.
