
Abu Basyir meriwayatkan dari Imam Ja‘far ash-Shadiq ‘alaihis salâm bahwa ia pernah bertanya kepada Imam as, “Di manakah orang-orang mukmin berkumpul setelah kematian?” Imam menjawab, “Orang-orang mukmin tinggal, makan, dan minum di rumah-rumah surga mereka. Mereka saling berkunjung dan berkumpul.”
(Al-Mahâsin, juz 1, hlm. 178; Bihâr al-Anwâr, juz 6, hlm. 234)
Allah subhânahu wa ta‘âlâ menetapkan aturan khusus mengenai pertemuan di alam Barzakh bagi orang-orang mukmin. Karena surga memiliki gradasi sesuai derajat dan amal penghuninya, maka penghuni surga yang berada di tingkatan lebih tinggi diperkenankan mengunjungi penghuni surga di bawahnya—namun tidak sebaliknya. Penghuni surga “kelas satu” diberi izin oleh Allah untuk berkunjung ke surga tingkatan bawah, sedangkan mereka yang berada di tingkatan bawah tidak diizinkan naik ke atas.
(Sar Nusyûd-e Insân, Ayatullah Mas‘ud ‘Ali, hlm. 22)

Mengapa Tidak Boleh Naik ke Derajat Surga yang Lebih Tinggi?
Ada beberapa hikmah yang bisa kita pahami dari larangan ini:
1. Tidak Memiliki Kelayakan
Hal ini mencerminkan keadilan Tuhan. Seseorang tidak memiliki kelayakan untuk naik ke tingkat surga yang lebih tinggi karena tidak memiliki amal atau kapasitas spiritual yang cukup. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah an-Nisâ’ ayat 95:
فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً
“Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.”
Dalam kehidupan dunia, tentu kita tidak bisa menyamakan antara orang yang berjihad, berdarah-darah di medan juang, dengan orang yang hanya duduk nyaman di rumah.
2. Menghindari Kesedihan di Surga
Jika penghuni surga dari tingkatan bawah melihat kenikmatan yang lebih tinggi, bisa timbul kesedihan dan rasa hina. Padahal, Allah telah menjamin bahwa penghuni surga akan terbebas dari rasa sedih dan gundah. Sebagaimana dalam Surah Fâthir ayat 34–35:
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ…
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. (Dia) yang menempatkan kami di tempat yang kekal (surga) dengan karunia-Nya. Di dalamnya kami tidak gundah dan sedih.”
Karena itu, untuk menjaga ketenangan jiwa dan kebahagiaan, tidak semua penghuni surga diizinkan berkunjung ke tingkat atas.
3. Sesuai Kapasitas Spiritual
Para ulama juga menjelaskan bahwa setiap tingkatan surga sesuai dengan kapasitas kesempurnaan ruhani penghuninya. Penghuni surga tidak akan bisa menikmati kenikmatan di atas tingkatannya karena tidak memiliki kapasitas untuk memahaminya. Ibarat anak-anak yang belum mampu menikmati permainan orang dewasa, demikian pula jiwa-jiwa di surga: mereka hanya akan menikmati apa yang sesuai dengan potensi mereka—dan itu membuat mereka tetap bahagia dan rida.

Ghibtah di Surga: Cemburu Tanpa Duka
Meskipun tidak bisa naik, penghuni surga tetap bisa merasakan ghibtah—rasa ingin seperti orang lain—kepada penghuni surga yang lebih tinggi. Ini adalah ghibtah yang mulia dan tidak melazimkan rasa duka. Dalam riwayat disebutkan bahwa para penghuni surga merasa ghibtah kepada para syuhadâ, dan para syuhadâ pun merasa ghibtah kepada derajat Abul Fadhl al-‘Abbâs ‘alaihis salâm.
Ghibtah semacam ini adalah bentuk motivasi dalam kebaikan. Bahkan para Nabi dan Rasul pun merasa ghibtah kepada derajat Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, namun tetap dipenuhi dengan syukur dan kebahagiaan. Artinya, rasa ingin itu tidak membuat mereka sedih, tetapi justru menambah cinta dan rida terhadap apa yang telah Allah anugerahkan.
Penutup
Konsep tingkatan surga dalam Islam bukan sekadar pengelompokan, tetapi mencerminkan keadilan Ilahi dan kesempurnaan pencapaian ruhani. Dalam pandangan Ahlulbait ‘alaihimus salâm, kehidupan Barzakh bukanlah ruang tunggu pasif, melainkan medan baru untuk berkumpulnya jiwa-jiwa suci dalam tingkat spiritualnya masing-masing. Tidak ada kesedihan, hanya ghibtah yang menginspirasi. Inilah keindahan sistem Ilahi yang penuh hikmah.
