Khazanah

‘Ubaidillah bin Hurr Al-Ju’fi Mitos Jalan Tengah

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Berdasarkan laporan-laporan historis, orang pertama yang hadir di Karbala pasca kesyahidan Imam Husain as adalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, yang mana ia bersama Athiyah Aufi pergi ke Karbala dari Madinah pada hari ke-40 (arbain) dari kesyahidan Imam. Sayid Ibnu Thawus dalam kitab Luhuf berkeyakinan bahwa Sayidah Zainab sa dan seluruh para tawanan Karbala juga datang pada hari ini ke Karbala. Namun demikian, sebagian ahli sejarah meyakini bahwa peziarah pertama adalah Ubaidullah bin Hur al-Ju’fi. Maka, siapakah Ubaidullah bin Hur al-Ju’fi?

Ia lahir pada awal abad pertama Hijriah dan meninggal dunia pada tahun 68 H karena tenggelam di Sungai Eufrat. Ia hidup sezaman dengan beberapa Imam Maksum, yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, dan Imam Ali bin Husain (semoga salam atas mereka), serta sezaman dengan tiga khalifah dan beberapa penguasa Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan.

Tentang dirinya, dikatakan bahwa Al-Tabari berkata, “Ia adalah seorang dari kalangan terbaik kaumnya dalam hal kebaikan dan keutamaan.” Ibnul Atsir berkata, “Ia termasuk yang terbaik di antara kaumnya dalam kebaikan, keutamaan, dan dedikasi.” Ibn Manzur berkata, “Ia adalah seorang yang setia kepada Utsman dan dikenal sebagai pemberani yang tangguh.” Khairuddin Az-Zarkali berkata, “Ia adalah seorang pemimpin yang pemberani dan heroik, termasuk yang terbaik di antara kaumnya dalam hal kemuliaan, kebaikan, dan keutamaan.”

Dari catatan sejarah, aspek-aspek penting dalam hidupnya adalah sebagai berikut: Ia turut serta dalam penaklukan Islam di Qadisiyah, Mada’in, Jalula, Halwan, dan Nahawand. Ia kembali ke Kufah setelah wafatnya Imam Ali (semoga salam atasnya) setelah menyatakan kepada Muawiyah bahwa Imam Ali berada di pihak yang benar, sedangkan Muawiyah di pihak yang salah.

iklan

Ia bertemu dengan Imam Husain (semoga salam atasnya) saat menuju Karbala. Dalam kitab From Medina to Karbala, karya Ayatullah Muhammad Shadiq Najmi, dituliskan bahwa pertemuannya di Bani Muqootil.  Imam Husain mengajaknya untuk bergabung dan mendukungnya. 

Menurut ‘Ubaydillah bin al-Hurr al-Ju’fi, ketika ia memandang Imam al-Husain, ia menyadari bahwa ia belum pernah melihat seseorang yang lebih tampan dan memukau darinya. Namun, ia merasakan rasa iba yang mendalam terhadap Imam al-Husain. Itu adalah situasi yang sangat mengharukan, terutama karena beberapa anak kecil menyertai sang Imam. ‘Ubaydillah bin al-Hurr memperhatikan bahwa janggut Imam al-Husain berwarna hitam, dan ia bertanya apakah warna itu alami. Sebagai jawabannya, Imam al-Husain berkata bahwa dirinya telah menua terlalu cepat. Maka ia pun memahami bahwa Imam al-Husain telah mewarnai janggutnya menjadi hitam. Setelah percakapan awal, Imam al-Husain pun menyapanya sebagai berikut.

“Wahai Ibnu al-Hurr! Sesungguhnya penduduk kotamu telah menulisi aku bahwa mereka bersatu untuk menolongku dan meminta agar aku datang kepada mereka. Namun kenyataannya justru bertolak belakang dengan apa yang mereka nyatakan. Dan, karena engkau telah banyak melakukan dosa, apakah engkau menginginkan kesempatan untuk bertobat guna menghapusnya?”

Namun, ia menolak dan menawarkan pedang serta kudanya kepada Imam Husain.

Pada saat itu, jawaban ‘Ubaidillah bin al-Hurr adalah sebagai berikut: “Demi Allah! Aku sungguh tahu bahwa siapapun yang mengikutimu, maka ia akan memperoleh kebahagiaan abadi. Namun, aku tidak berpikir bahwa bantuanku akan berguna bagimu, karena aku tidak melihat ada seorang pun di Kufah yang benar-benar bertekad untuk menolongmu. Demi Allah! Aku mohon kepadamu agar membebaskanku dari kewajiban membantumu, karena aku sangat takut mati. Akan tetapi, aku akan menawarkan kudaku, al-Mulhaqah: Aku belum pernah mengejar musuh dengan kuda ini kecuali ia pasti menangkapnya, dan kuda ini juga selalu membantuku lolos dari semua musuh.”

Menjawab ‘Ubaidillah bin al-Hurr , Imam Al Husain as mengatakan, “… Engkau membantu putra dari putri Nabi-mu dan berjuang bersamanya.”

Namun ‘Ubaidillah bin al-Hurr tidak berubah dari pendiriannya, maka Imam Al-Husain as berkata:  “… Namun, jika kamu ingin berpaling dari kami, kami tidak lagi membutuhkan kuda dan dirimu”.

وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّيْنَ عَضُدًا

‘Aku tidak akan mengambil orang-orang yang menyesatkan sebagai penolong.‘ (QS Al-Kahfi: 51). 

Dan, sebagaimana kamu menasihatiku, aku menasihatimu, jika kamu mampu, berlindunglah di tempat yang jauh dari kami agar kamu tidak mendengar seruan (pertolongan) kami dan tidak menyaksikan pertempuran kami. Demi Allah! Tidaklah seseorang yang mendengar seruan pertolongan kami dan tidak menolong kami, kecuali Allah akan melemparkan mereka ke dalam neraka jahannam. Sesungguhnya seruan ini menguatkan pembahasan kita hari ini, dalam membela Ahlubait atau tidak membela Ahlubait, tidak ada jalan tengah. 

Setelah peristiwa Karbala, ia kembali ke Kufah, dan Ibnu Ziyad menuduhnya berperang bersama Imam Husain. Ia menjawab, “Seandainya aku bersamanya, tempatku pasti akan terlihat.

Ia melarikan diri dari Ibnu Ziyad dan melewati Karbala, di mana ia melihat tempat syahidnya Imam Husain dan para pendukungnya, lalu ia meratapi Imam Husain. Ia menjadi orang pertama yang menulis ratapan untuk Imam Husain. 

Dari puisinya, ia meratapi Imam Husain dengan bait-bait berikut:

Wahai, penyesalanku sepanjang hidupku, bergolak di antara dada dan tenggorokanku. 
Pagi itu ia berkata kepadaku di istana dengan ucapan yang membuatku memutuskan untuk berpisah
Husain meminta pengorbanan dariku untuk melawan musuh dan perpecahan. 
Seandainya hati yang penuh penyesalan bisa terbelah, hatiku pasti telah pecah hari ini. 
Seandainya aku mendukungnya dengan jiwaku, aku pasti mendapat kemuliaan di hari pertemuan. 
Bersama putra Muhammad, jiwaku rela menebusnya, berpamitan, lalu bergegas pergi. 
Sungguh, mereka yang menolong Husain telah berjaya, sedangkan yang lain, para munafik, merugi.

Ia juga berkata:

Seorang amir yang pengkhianat, anak dari pengkhianat, berkata, ‘Mengapa engkau tidak melawan Husain, putra Fatimah?’  Jiwaku menyesali pengkhianatan dan pengasinganku, serta baiatku kepada pengkhianat janji yang tercela. 
Wahai penyesalanku karena tidak menolongnya. Setiap jiwa yang tidak berada di jalan kebenaran pasti menyesal.
Aku yang tidak menjadi pelindungnya merasakan penyesalan yang tak pernah berhenti.Semoga Allah menyirami jiwa-jiwa yang bergegas menolongnya dengan hujan rahmat yang abadi. 
Aku berdiri di atas kuburan mereka, hampir saja hatiku hancur dan air mataku mengalir.”

Muawiyah berkata kepada Ubaidillah bin Al-Hurr Al-Ju’fi, “Mungkin engkau merindukan negerimu dan Ali bin Abi Thalib.” Ubaidillah menjawab, “Jika engkau mengira aku merindukan negeriku dan Ali, itu memang benar. Sungguh memalukan bagiku untuk tinggal bersamamu dan meninggalkan negeriku. Mengenai Ali, engkau tahu bahwa engkau berada di pihak yang salah.” Amr bin Al-As berkata, “Engkau berdusta dan berdosa, wahai Ibnul Hurr.” Ubaidillah menjawab, “Engkaulah yang lebih pendusta dariku.

Ubaidillah bin Al-Hurr Al-Ju’fi memiliki istri di Kufah. Ketika ia lama berada di Syam, saudara istrinya menikahkan wanita itu dengan seorang bernama Ikrimah bin Al-Khabis. Ketika kabar ini sampai kepada Ubaidillah, ia kembali dari Syam dan mengadukan perkara ini kepada Imam Ali. Imam Ali berkata, “Engkau telah mendukung musuh kami, sehingga engkau kalah. Apakah itu menghalangiku untuk berlaku adil kepadamu?” Ubaidillah menceritakan kisahnya, dan Imam Ali mengembalikan istrinya kepadanya. Karena wanita itu sedang hamil, Imam Ali menitipkannya kepada seseorang yang dipercaya hingga melahirkan. Anak itu kemudian diserahkan kepada Ikrimah, dan istrinya dikembalikan kepada Ubaidillah.

Ia sempat mendukung Mukhtar, namun kemudian berkhianat karena alasan politik dan materi. — Sayangnya, ia menolak untuk menolong Imam Husain, namun justru membaiat Bani Umayyah pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan…” Ia juga berpartisipasi bersama Mus’ab bin Zubair dalam melawan Mukhtar Ats-Tsaqafi. Mus’ab kemudian memenjarakannya karena kurang percaya padanya, khawatir ia akan berkhianat seperti yang dilakukan pada Mukhtar. Namun, ia dibebaskan atas syafaat beberapa tokoh dari suku Madhhij.

Ia bergerak bersama pasukannya ke Kufah, tetapi kelompoknya bubar setelah pertempuran. Karena takut ditawan, ia melemparkan dirinya ke Sungai Eufrat dan meninggal tenggelam pada tahun 68 H.

Dalam ziarah Asyura, 

 يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ

Wahai Abu ‘Abdillah,

إِنِّي أَتَقَرَّبُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ

Sesungguhnya aku mendekatkan diri kepada Allah dan kepada Rasul-Nya

وَإِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ وَإِلَى فَاطِمَةَ

Dan kepada Amirul Mukminin serta kepada Fathimah

وَإِلَى الْحَسَنِ وَإِلَيْكَ بِمُوَالاَتِكَ

Dan kepada al-Hasan, dan kepadamu dengan menyatakan kesetiaan padamu

وَبِالْبَرَاءَةِ مِمَّنْ قَاتَلَكَ

Dan dengan berlepas diri dari orang-orang yang memerangimu

وَنَصَبَ لَكَ الْحَرْبَ

Dan yang mengobarkan permusuhan terhadapmu

وَبِالْبَرَاءَةِ مِمَّنْ أَسَّسَ أَسَاسَ الظُّلْمِ وَالْجَوْرِ عَلَيْكُمْ

Dan dengan berlepas diri dari orang-orang yang mendirikan dasar kezaliman dan ketidakadilan atas kalian

وَأَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ

Aku juga berlepas diri di hadapan Allah dan Rasul-Nya

مِمَّنْ أَسَّسَ أَسَاسَ ذٰلِكَ

Dari orang-orang yang meletakkan dasar semua itu

وَبَنَى عَلَيْهِ بُنْيَانَهُ

Dan membangun bangunannya di atasnya

وَجَرَى فِي ظُلْمِهِ وَجَوْرِهِ عَلَيْكُمْ وَعَلَى أَشْيَاعِكُمْ

Dan terus-menerus menzalimi dan menindas kalian serta para pengikut kalian

بَرِئْتُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَيْكُمْ مِنْهُمْ

Aku berlepas diri di hadapan Allah dan kalian dari mereka itu

وَأَتَقَرَّبُ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ إِلَيْكُمْ

Dan aku mendekatkan diri kepada Allah kemudian kepada kalian

بِمُوَالاَتِكُمْ وَمُوَالاَةِ وَلِيِّكُمْ

Dengan menyatakan kesetiaan kepada kalian dan kepada wali kalian

وَبِالْبَرَاءَةِ مِنْ أَعْدَائِكُمْ

Dan dengan berlepas diri dari musuh-musuh kalian

Di dalam naskah Ziarah Warits, terdapat bacaan do’a yang menyuarakan kutukan ilahi bagi siapa saja yang mendengar peristiwa tragis itu dan menerimanya dengan keridhaan, sebagai tanda kecaman atas kezaliman. Teks Arabnya adalah sebagai berikut:

“فَلَعَنَ اللَّهُ أُمَّةً قَتَلَتْكَ، وَلَعَنَ اللَّهُ أُمَّةً ظَلَمَتْكَ، وَلَعَنَ اللَّهُ أُمَّةً سَمِعَتْ بِذَلِكَ فَرَضِيَتْ بِهِ”

Artinya:

Dan laknatlah Allah atas umat yang membunuhmu, dan laknatlah Allah atas umat yang menzalimmu, dan laknatlah Allah atas umat yang mendengar hal ini dan ridha dengannya.

Ziarah Asyura dan Ziarah Warits mengajarkan pada kita, bahwa dalam hal Imam Husain as, tidak ada jalan tengah. Netralitas dalam hal ini adalah kesalahan besar.

Kesiapan Untuk Memilih

Karbala bak pentas semesta. Di sana ada barisan mereka yang mantap memilih Husain. Ada barisan yang mantap memilih menyembelih Husain. Ada barisan peragu yang mungkin merasa dirinya ada di jalan tengah 

Hurr adalah komandan pasukan Kufah yang awalnya ditugaskan untuk mengawasi dan menahan gerak Husain. Namun, dalam kesendiriannya, saat ia menyaksikan wajah Husain yang memancar cahaya, kelembutan yang tak mungkin dipalsukan, dan mendengar tangisan anak-anak kehausan yang tak diberi setetes air pun oleh rezim Yazid, terjadi ledakan batin dalam dirinya. Ia berkata kepada dirinya sendiri: “Aku dihadapkan pada dua pilihan: surga dan neraka. Demi Allah, aku tidak akan memilih neraka.” Maka ia ubah arah kudanya dan jiwanya. Ia tinggalkan pangkat, pasukan, dan keselamatan dunia. Ia sambut kematian karena ia tahu itu adalah kehidupan yang sejati.

Begitu pula Zuhair ibn Qain, seorang pria yang dikenal sebagai simpatisan Utsmani, bahkan awalnya enggan bertemu Husain. Namun setelah berdialog dengan putra Fatimah, tampak bahwa kebenaran menyentuh akar terdalam jiwanya. Dalam sekejap, sejarahnya berubah. Ia menjadi salah satu pembela paling gagah di barisan Husain. Apa yang membuat perubahan ini terjadi? Bukan argumen, bukan tekanan, tapi isti’dad—kesiapan batin yang sejak awal menyimpan kerinduan pada yang hak, namun baru mekar saat disentuh cahaya kenabian.

Sebaliknya, lihatlah Umar ibn Sa’ad. Ia tahu siapa Husain. Ia menangis ketika menimbang pilihannya. Ia bahkan berkata: “Aku tahu, jika aku membunuh Husain, aku akan masuk neraka.” Tapi ia juga berkata, “Tapi apa gunanya neraka jika aku kehilangan kekuasaan atas Rey?” Maka ia memilih kekuasaan. 

Dalam diri Hurr dan Zuhayr kita melihat beberapa hal,

Keterbukaan untuk Menyimak dan mengikuti yang benar

الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗ ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ

(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.661) Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat). (QS 39:18)

Penyesalan , Introspeksi dan Maqam Taubat: Hurr menyadari kesalahannya dalam menghalangi Imam Husain as. Penyesalan ini menjadi pendorong utama baginya untuk bertobat dan ingin menjadi ia yang pertama kali berkorban untuk Imam Husain as.

اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Kecuali, orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh. Maka, Allah mengganti kejahatan mereka (dengan) kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 25:70)

Melepaskan Cinta Dunia (khuruuj min hubbid dunya): Hurr sebelum Asyura memiliki karir yang teramat tinggi di kalangan Imperium Umayah. Ia adalah komandan pasukan. Setelah jatuh cinta pada Al Husain as pada Malam Asyura, ia meninggalkan segalanya demi cintanya pada Al Husain as. 

Dalam doa Abu Hamzah ats-Tsumali,

سَيِّدِي أَخْرِجْ حُبَّ الدُّنْيا مِنْ قَلْبِي

Wahai Tuanku, keluarkanlah kecintaan terhadap dunia dari hatiku.

وَاجْمَعْ بَيْنِي وَبَيْنَ المُصْطَفى وَآلِهِ

dan pertemukanlah aku dengan al-Muṣṭafā (Nabi Muhammad) dan keluarganya,

خِيَرَتِكَ مِنْ خَلْقِكَ وَخاتَمِ النَّبِيِّينَ صَلّى الله عَلَيْهِ وَآلِهِ

yang merupakan orang-orang pilihan-Mu dari seluruh ciptaan-Mu, dan penutup para nabi—ṣallallāhu ʿalayhi wa ālih.

وَانْقُلْنِي إِلى دَرَجَةِ التَوْبَةِ إِلَيْكَ

Dan pindahkanlah aku ke tingkatan taubat sejati kepada-Mu.

Akhlaq Mulia: Sejarah menunjukkan betapa mulia adab Hurr terhadap Imam Husain as. Ia dan pasukannya tetap shalat dibelakang Imam Husain as walau Imam Husain as adalah kubu musuh. Dan Hurr mencegah dirinya untuk membantah Imam Husain as. Demikian pula Zuhair dan istrinya yang langsung menjawab panggilan Cucu Nabi saw dan amat menghormati Imam Husain as walau dia berpandangan Utsmani. Dan ia langsung melepaskan segalanya demi membela Al-Husain as. 

Kapan Panggilan Ilahi Itu Tiba? Apakah Kita Sudah Siap?

Seringkali kedatangan Panggilan Ilahi adalah pada saat yang tak terduga. Ia tiba-tiba datang. Seperti panggilan Ilahi pada Zuhair dan Hurr. Apakah bila Pangilan Ilahi tiba pada kita untuk berjuang dan mengorbankan diri kita, kita akan memilih menjadi Zuhair atau Hurr atau kita malah akan memilih menjadi Umar bin Sa’ad? Atau kita ragu sehingga menyesal tanpa akhir seperti ‘Ubaidillah bin Hurr Al Ju’fi?

Setiap jiwa memiliki kesempatan memilih jalan kebenaran, tetapi seringkali Panggilan Ilahi datang pada saat yang tak diduga-duga pada kita. Mungkinkah itu terjadi esok hari? Mungkinkah itu akan terjadi minggu depan? Apakah kita benar-benar telah siap?

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ 

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya) (QS al-Ahzab: 23)

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًاۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ 

Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya. (QS Ali Imran: 169)

Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib.

Arumsari, 9 Muharram 1446 H

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekretaris Dewan Syura IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button