Khazanah

Layangkan Pandang Pada Palestina!

Bismillâhirrahmânirrahim

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyidina Muhammad wa Âli Sayyidina Muhammad

Segala puji bagi Dia yang menggenggam ubun-ubun kita. Segala puji bagi Dia yang mengambil dan mengembalikan ruh kita. Segala puji bagi Dia sepenuh syukur dalam suka dan duka. Teriring salam shalawat pada Baginda Nabi Saw tumpuan seluruh cinta, pangkal harap dan asa, penerang dalam gulita, penghangat batin dalam berbagai uji dan coba, dan pada keluarganya yang mulia, sebaik-baik yang membersamai dalam indah derita. Salam kerinduan pada para sahabat yang utama, para ulama sepanjang masa, para syuhada dan setiap mereka yang mengorbankan jiwa dan raga, demi tegaknya Kalimatullahi hiyal ‘uliya.

Hadirin dan Hadirat, ‘Aidin dan ‘Aidat, selamat berhari raya. Baru saja kita kumandangkan rasa syukur kita. Takbir adalah hakikat pujian yang sesungguhnya. MembesarkanNya, membesarkan jalan karuniaNya, membesarkan seluruh nikmatNya, membesarkan wasilah yang mengantarkannya. Takbir adalah membesarkan semua itu. Membesarkan bahwa tiada satupun amalan kita yang layak untuk anugerahNya, tiada satupun perbuatan yang membuat kita berhak menerima kebahagiaan dariNya. Tidak, tidak ada satu pun. Melainkan karena kasih dan sayangNya jua. Takbir adalah membesarkan Dia dan menghilangkan kita. Bukan hanya mengecilkan, menghilangkan. Menghapus seluruh keakuan, meluruhkan segenap ego dan keangkuhan.

Allahumma ya Allah, inilah kami hambaMu yang Engkau beri nikmat. Inilah kami hambaMu, putra dan putri dari kedua hambaMu. Inilah kami hambaMu: si hina yang Engkau muliakan. Si jahil yang Engkau ajarkan. Si miskin yang engkau cukupkan. Si lemah yang engkau kuatkan. Si sakit yang Engkau sabarkan. Si pemarah yang Engkau lindungi, si pendendam yang Engkau maklumi, si pemberang yang Engkau sayangi. Inilah hambaMu yang teramat sedikit syukur-syukurnya. Inilah hambaMu yang terang-terangan menentang penguasa Semesta. Analladzi ‘ashaitu jabbaras sama’. Yang menahan diri di keramaian, dan mengikut nafsu di kesendirian. Inilah hambaMu yang tak tahu malu, tak tahu diuntung, padahal telah dikaruniakan kepadanya percik kecintaan terbaik seluruh alam. Mereka yang mengajarkan pengorbanan dalam sepenuh kepasrahan.

iklan

Hari ini kita merayakan hari kurban. Bayangkan, sebuah pengorbanan dirayakan. Pengorbanan adalah memberikan bagian terbesar dari diri kita, dan itu kita rayakan. Selamat, bagi mereka yang benar-benar merayakannya.

Hari raya Kurban, ‘Iedul Qurban terdiri dari dua kata. Ied artinya kembali, dan qurban mendekatkan diri ke hadirat Allah Swt. Bukankah setiap kembali itu mendekatkan diri? Bukankah setiap dekat itu kembali? Ternyata tidak. Ada dekat yang tidak kembali, yaitu dekat tanpa makrifat yang sejati. Tanpa pengenalan dan pengakuan yang sesungguhnya. Bayangkan kembali ke tengah-tengah keluarga, tanpa benar-benar hadir di sisi. Seperti berada di kebersamaan, tapi hati masih merasa sepi.

Seperti para jemaah haji di tanah suci. Islam istimewa dengan segala kemuliaannya. Ada kitab suci yang terpelihara, Nabi pengasih teramat mulia, keluarganya teladan sepanjang masa, kiblat yang sama dan ibadah semisal haji dan puasa. Pada hampir setiap detak perjalanannya, Islam memisahkan laki-laki dan wanita. Tapi tidak pada puncak peribadatannya. Pada thawaf, mereka berjalan bersama. Di padang Arafah mereka wukuf bersama. Di Muzdalifah mereka mabit bersama. Di Mina mereka melempar bersama, dan di sana pula mereka berkorban bersama. Tidak ada pemisah khusus antara pria dan wanita. Mengapa demikian, karena mereka mengajarkan hakikat kembali yang semestinya.

Tanah suci adalah tempat kita kembali. Kembalilah dengan makrifat, kembalilah dengan pengorbanan. Kembalilah dengan pengetahuan dan pengakuan. Bila di antara berdesaknya jemaah, kita masih mendahulukan kepentingan pribadi, kita belum kembali. Bila ketika thawaf, kita tidak dapat menahan diri, kita belum kembali. Bila ketika melempar ada hak orang yang dilanggar…kita belum kembali. Dan bila nanti kembali ke tanah air, berjumpa sanak famili, semua itu masih dilakukan…kita belum benar-benar kembali. Belum ‘ied. Belum berhari raya.

Kembali yang sejati adalah dengan pengorbanan diri. Membesarkan Dia dan takluk di hadapan segala ketentuanNya. Berserah diri. Pasrah, tak berarti. Seperti Ibrahim Sang Nabi (‘ala anbiyaina wa alihim afdhalut tahiyyati wat taslim). Pada setiap perintah, ia menjawab Labbayka. Pada setiap ujian ia menjawab Sa’dayka. Labbayka Allahumma Labbayka. Labbayka wa Sa’dayka, Bukan hanya menyambut, melainkan menyambut dengan bahagia. Dengan sukacita.

Bahagiakah saudara bila masalah datang pada hari-hari Saudara? Sukacitakah kita bila ujian berat memenuhi rongga dada? Akankah menyambut dengan senyuman ketika dihadapkan pada derita? Mereka yang bahagia dan bersuka cita memeluk dan menerima semua itu tahu, itulah sebaik jalan untuk kembali.

Seperti ketika Ibrahim Sang Nabi dan putranya yang teramat berbakti, mempergelarkan pengorbanan yang pertama. Seberkas ruang di leher terbuka, di hadapan belati tajam yang siap memangsa. Berbaring ia dengan sepenuh cinta, dengan ungkap syukur yang tak terkira. Labbayka wa sa’dayka. Aku bahagia menyambut seruanMu. Suka cita kembali ke hadiratMu. Mata terpejam penuh cinta, dan hadirlah pengakuan itu. Ia kembali dengan sepenuh kesempurnaannya. Terdengarlah suara kudus penuh cinta: wa fadaynahu bi dzibhin ‘azhim. Kami terima pengorbanannya, dan kami menggantinya dengan sebuah sembelihan yang agung. Adakah lagi ungkap cinta yang lebih tinggi dari ini?

Kelak, seorang di antara keturunan Ismail Sang Nabi, menghadapi saat yang sama. Ketika ayahnya Hazrat Abdul Muthallib menggenggam tirai Ka’bah dan bernazar agar Tuhan pemelihara Ka’bah memberinya sepuluh putra. Dan bila telah hadir sepuluh putra ia berjanji, seorang di antara mereka akan dikorbankan di altar suci. Maka setelah genap sepuluh putra, ia berkata: Tuhan telah memenuhi janjinya. Aku mesti memenuhi janjiku. Maka ia mengundi seorang di antara mereka. Ketika ia lakukan, adalah nama Sayyid Abdullah sang putra terakhir yang mengemuka. Ia lakukan hingga tiga kali. Untuk setiap itu, hadir nama yang sama. Ia pun berkata kepada putranya seperti Ibrahim Sang Nabi pada putranya. Dan seakan terdengar jawaban: If’al maa tu’mar, satajiduni insya Allah minas shabirin,” Lakukan apa yang engkau telah nazarkan. Engkau akan temukan aku di antara orang-orang dalam kesabaran.

Maka Sayyid Abdullah sang putra bersiap. Seberkas ruang leher terbuka, di hadapan belati tajam yang siap memangsa. Berbaring ia dengan sepenuh cinta, dengan ungkap syukur yang tak terkira. Labbayka wa sa’dayka. Aku bahagia menyambut seruanMu. Suka cita kembali ke hadiratMu. Mata terpejam penuh cinta, dan hadirlah pengakuan itu. Ia kembali dengan sepenuh kesempurnaannya. Kesiapan itu telah lama dinantinya. Meski diganti dengan 100 unta, kelak Sang Nabi Akhir Zaman yang adalah putranya (Shalallahu ‘alaihi wa alihi) bersabda,  “Ana ibnu Dzabihatayn,” aku putra dua sembelihan. Aku keturunan silsilah pengorbanan.

Aqulu qawlii hadza wa astaghfirullaha lii wa lakum

Hadirin dan hadirat, ‘Aidin dan ‘Aidat.

Idul Qurban adalah kembali yang sesungguhnya. Kembali tanpa ada keterikatan diri. Kita belajar itu dari wa fadaynahu bi dzibhin ‘azhim. Kita belajar itu dari ana ibnu dzabihatayn. Dan sejarah mempergelarkan pada kita puncak kepasarahan itu. Puncak pengakuan itu. Puncak meluruhkan keakuan.

Adalah sekelompok kafilah kecil yang berangkat dari padang Arafah, usai wukuf di sembilan Dzulhijjah. Baru saja sampai kepada sang pemimpin kafilah, kabar yang membuatnya resah. Bukan karena keselamatan dirinya, melainkan untuk keselamatan umat yang sangat dicintainya. Ia tidak melanjutkan ibadah hajinya. Ia tidak kembali ke Makkah. Kesucian tempat penuh berkah wajib didahulukan, ia tidak ingin ada darah tertumpah. Luruhlah keakuan itu. Haji bukan untuknya, melainkan untuk Dia. Apa yang Tuhan inginkan? Apa yang Kekasih Sejati harapkan. Bersama sahabat dan keluarga yang setia, ia bergerak ke utara. Ke arah Kufah, dan penduduknya yang telah mengundangnya datang, menjanjikan rumah dan pintu yang terbuka untuknya.

Cobaan demi cobaan ditempuhnya. Ujian demi ujian dilaluinya. Hingga di sebuah padang terbentang, di dataran bernama Nainawa, ia berhadapan dengan sejumlah pasukan. Kafilah yang bersamanya sudah tahu pengorbanan Ibrahim dan Ismail Sang Nabi. Kafilah yang bersamanya sangat tahu sang pemimpin kafilah adalah putra dua sembelihan. Pada setiap perjalanan mereka berkata, Labbayka wa Sa’dayka. Maka ketika tahapan pergelaran sampai pada babakan pembantaian, setiap di antara mereka bersiap. Seberkas ruang leher terbuka, di hadapan belati tajam yang siap memangsa. Berbaring mereka dengan sepenuh cinta, dengan ungkap syukur yang tak terkira. Labbayka wa sa’dayka. Kami bahagia menyambut seruanMu. Suka cita kembali ke hadiratMu. Mata terpejam penuh cinta, dan hadirlah pengakuan itu. Mereka kembali dengan sepenuh kesempurnaannya. Kesiapan itu telah lama dinantinya. Itulah kembali yang sesungguhnya. Tiada apa pun yang dilihat melainkan keindahan. Maa ra’aytu illa jamilan.

Hadirin dan hadirat, ‘aidin dan ‘aidat. Makna kedua Idul Qurban adalah penolakan. Untuk kembali itu kita mesti menolak segala arah, kecuali yang menuju Dia. Kita mesti katakan tidak pada setiap hal yang bukan untuk Dia. Kita mesti melemparkan segala lontaran untuk setiap bentuk yang memisahkan kita dengan Dia.

Islam adalah agama yang diawali dengan kata tidak. Laa ilaaha illa Allah. Tidak ada tuhan selain Allah. Ternyata mengucap kata “tidak” tidak semudah terdengarnya. Tidak adalah sebuah ungkap penegasian, ungkap perlawanan, ungkap perjuangan dan keteguhan. Mampukah kita berkata “tidak!” pada setiap kesewenangan. Pada setiap ketidakadilan. Pada setiap laku curang dan kemaksiatan.

Setiap teladan pengorbanan itu mengajarkan kata tidak pada kehinaan. Hayhat minna adz zillah. Pantang kami hina. Pantang kami tunduk pada kepongahan. Pantang kami berdiam diri melihat kezaliman.

Ibadah Haji dan Idul Qurban mengajarkan itu. Ayat tentang Haji didahului dengan berlepas diri dari orang-orang itu. “Inilah pemakluman dari Allah dan RasulNya pada umat manusia pada hari Haji Akbar bahwa Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrik…” (QS. at-Tawbah [9] ayat 3). Haji adalah bara’ah, menuju Tuhan mestilah melepaskan segala kehinaan. Jalan kembali kepadaNya adalah dengan ungkap perlawanan pada segala hal yang menjauhkannya.

Hari ini ujiannya diperlihatkan pada kita. Hari ini ujiannya adalah saudara-saudara kita di Palestina. Mereka yang setiap hari terpejam dengan kesiapan. Seberkas ruang leher terbuka, di hadapan belati tajam yang siap memangsa. Berbaring mereka dengan sepenuh cinta, dengan ungkap syukur yang tak terkira. Labbayka wa sa’dayka. Mereka bahagia menyambut seruanMu. Suka cita kembali ke hadiratMu. Mata terpejam penuh cinta, dan hadirlah pengakuan itu. Mereka kembali dengan sepenuh kesempurnaannya. Kesiapan itu telah lama dinantinya.

Hari raya ini ujiannya ada pada kita. Mungkin tidak ada ruang di leher kita yang terbuka. Mungkin tidak ada belati tajam yang siap memangsa. Masihkah mungkin kita berbaring sepenuh cinta, bila tidak ada pengorbanan yang kita berikan untuk mereka? Ujian kita adalah untuk berkata tidak. Dimulai pada diri kita. Katakan tidak pada setiap kezaliman itu. Katakan tidak pada setiap ketidakadilan itu. Mulailah dari diri kita. Katakan tidak pada setiap penjajah itu. Dan besarkan orang-orang yang berkorban itu dalam diri kita.

Mari mengingat mereka dalam doa kita. Dalam keseharian kita. Palestina adalah makna kembali yang sebenarnya saat ini. Palestina adalah mendekat diri pada Tuhan yang sesungguhnya masa ini. Palestina adalah sejatinya pengorbanan kita hari ini. Sepenuh cinta dan doa kita untuk Palestina yang merdeka.

Pada hari raya ini wahai dunia, layangkan pandang pada Palestina. Ingat mereka dalam setiap sembelihan saudara. Kenang mereka dalam kebersamaan keluarga. Alirkan doa tiada henti ketika menikmati meriah hari raya.

Layangkan pandang pada Palestina!

10 Dzulhijjah 1446 H

*) Khutbah ‘Iedul Adha yang disampaikan K.H. Miftah Fauzi Rakhmat, Ketua Dewan Syura IJABI, pada Shalat ‘Iedul Adha yang diselenggarakan Keluarga Besar IJABI pada Hari Jum’at tanggal 10 Dzulhijjah 1446 H/6 Juni 2025 di Aula Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, Bandung.

KH. Miftah Fauzi Rakhmat
Ketua Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button