Khazanah

Barisan Orang-Orang Merdeka

Bagian 2

Oleh Dr. Dimitri Mahayana (Sekretaris Dewan Syura IJABI)

Walaupun barangkali kita datang menziarahi Al Husain dengan bertumpuk dosa dan kesalahan, selayaknya kita memiliki harapan. Moga dengan menghadiri majelis-majelis duka Al Husain as ini, kita beroleh anugrah masuk dalam barisan Al Hurr. Barisan orang-orang Merdeka.

Di barisan Al Hurr ada salah satu komandan Al Husain as. Zuhair bin Qain Al Bajali. Ibnu Thawus mengisahkan. Dulunya ia pengikut Utsman. Takdir membuat kafilahnya bertemu dengan kafilah Al Husain as. Setelah bertemu dengan Al Husain as,  Zuhair memutuskan dengan sebulat keputusan untuk membela Al Husain as hingga titik darah penghabisan. W ikishia mengisahkan dengan indah. “ Zuhair dulunya adalah pendukung Utsman. Pada tahun 60 H/680, saat pulang dari ibadah haji menuju Kufah, di sebuah peristirahatan ia bersama istri, sebagian keluarga, dan orang-orang dari kabilahnya bertemu dengan Imam Husain as dan rombongannya yang juga hendak menuju Kufah. Menurut kutipan al-Dinawari, pertemuan itu terjadi di peristirahatan bernama Zarud.  Imam Husain as mengutus seseorang kepada Zuhair untuk mengabarkan bahwa ia ingin menjumpainya. Zuhair awalnya enggan berjumpa dengan Imam as, namun atas saran istrinya, Dilam atau Dalham binti Amr, [2] akhirnya ia menjumpai Imam Husain as. Perjumpaan tersebut ternyata merubah jalan hidup Zuhair. Setelah berjumpa dengan Imam as, dengan gembira ia kembali kepada keluarga dan rombongannya lalu menyuruh mereka memindahkan kemah dan barang bawaan ke dekat kemah Imam Husain as.  Zuhair lalu menemui istrinya untuk berpamitan. Seusai berpamitan kepada istri, Zuhair menyampaikan kepada rombongannya, “Barang siapa yang ingin meraih kesyahidan hendaknya ikut denganku, kalau tidak maka kalian boleh pergi dan ini adalah perjumpaan terakhir kita.”  

Sesungguhnya, apa isi pembicaraan Imam Al Husain as pada Zuhair? Yang mengubah Zuhair demikian dahsyat? Dari seorang Utsmani menjadi siap mengorbankan segalanya demi Al Husain as?

Ibrahim Ibn Sa’id lah yang menemani Zuhair dalam perjalanan Zuhair meriwayatkan: “ Imam (as) berkata ketika Zuhair pergi mengunjunginya: “ Aku akan terbunuh di Karbala, dan Hurr Ibn Qais yang berrap mendapatkan hadiah, akan membawa kepalaku ini ke hadapan Yazid, tetapi Yazid tak memberikan apa pun kepadanya!”

iklan

Bila hari demi hari Zuhair telah berlimpah harta, sesaat perjumpaan dengan Al Husain as telah mengubah hidupnya. Bila para pedagang berlomba meraih untung, namun Kilatan Cinta yang telah masuk ke jantung Zuhair membuatnya memilih tegas: terbunuh bersama Al Husain as sungguh jauh lebih indah ketimbang melihat kepala Al Husain as dipersembahkan pada Yazid, dan ia berpangku tangan.

Di malam Asyura, saat Al Hurr dengan tafakkurnya memutuskan untuk Jatuh Cinta pada Al Husain as; di malam itu pula Zuhair bangkit ketika Al Husain berkhotbah membebaskan keluarganya dan para sahabatnya untuk meninggalkannya melewati padang yang gelap. Zuhair bangkit dan berkata: “ Demi Allah, aku suka terbunuh, hidup kembali, dibunuh lagi sampai seribu kali, sehingga Allah melindungimu dan keluargamu dari pembunuhan!” 

Seorang Budak Merdeka di Damaskus

Seorang budak di istana Yazid yang sedang keluar dari istana , melihat pemandangan yang memilukan; Yazid sedang memukuli gigi-gigi dari kepala suci Al-Husain as yang sudah terpisah dari tubuh sucinya.

Budak wanita itu berkata, “ Semoga Allah memotong tangan dan kakimu, membakarnya dalam api Neraka di dunia ini sebelum api di akhirat kelak. Wahai orang sesat, kau telah memukul gigi yang berkali-kali telah diciumi Nabi itu dengan tongkat!”

Yazid berkata: “ Omong kosong apa yang sedang kau ucapkan di tempat ini. Semoga Allah memisahkan epalamu dari tubuhmu!”

Budak wanita itu segera menjawab: “ Wahai Yazid! Saat aku sedang dalam keadaan antara tidur dan terbangun, tiba-tiba kulihat gerbang Surga dibuka lebar-lebar. Sebuah anak tangga cahaya diturunkan ke Bumi ini, dan lewat tangga itu, turunlah dua anak muda yang menggunakan dua buah baju berwarna hijau, megaratna cempaka Surga membentang menyambut mereka, dan cahaya mereka menyinari seluruh bagian barat dan timur. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan tinggi rata-rata, wajahnya bersinar laksana bulan, juga turun dari anak tangga tersebut, duduk di dekat alas meja dan dengan suara yang amat keras berkata: “ Wahai ayahku Adam, turunlah ! Wahai ayahku Ibrahim, wahai Saudaraku Musa, dan saudaraku Isa, turunlah!” Dan kemudian aku lihat seorang Perempuan, rambutnya terurai dan berteriak: “ Wahai Hawa, wahai saudariku Maryam, wahai ibu Khadijah, turunlah!” Dan sebuah suara gaib berkata: “ Ini adalah Fathimah az-Zahra Putri Muhammad al Mustafa (saw), istri dari ‘ Ali al-Murtadha (as) dan ibu dari Penghulu Para Syuhada-orang yang telah terbunuh di Karbala, semogaAllah memberikan karunia kepada mereka!”

Kemudian Fathimah (as) berkata: “ Wahai ayahku, tidakkah kau lihat apa yang telah diakukan olehumatmu terhadap putraku al-Husain?” Nabi Suci (saw) meratap memilukan, dan semua yang hadir di situ juga ikut menangis meneteskan air mata kesedihan, dan menatap Adam, dia berkata: “ Ayahku Adam! Tidakkah kau lihat apa yang dilakukan orang-orang biadab itu kepada anakku al-Husain? Pada hari Kebangkitan kelak, syafaatku tak akan berlaku bagi mereka. “

Adam menjerit memilukan dan bahkan malaikat-malaikat juga ikut meratap. Dan aku kemudian melihat rombongan berjumlah delapan orang. Di depan mereka, seorang anak muda memegang bendera hijau, dan masing-masing lainnya memegang api di tangan mereka, bergerak dan berkata: “ Wahai Api, bakar pemilik rumah ini-Yazid Ibn Mu’awiyah1” Waktu itulah aku lihat engkau menjerit: “ Api, di mana tempat meloloskan diri dari api!” 

Yazid, setelah mendengar cerita budak itu berteriak: “ Laknat kau! Omong kosong apa yang telah kau ucapkan? Apakah kau bermaksud menghinaku di depan orang-orang ini?” Dia segera memberi perintah agar kepala budak Perempuan itu dipisah dari tubuhnya. (Riyadh Al-Ahzan, hal. 122, dikutip dari Munfarid dan Alamdar, Karbala, hal 477-478)

Sang budak menggabungkan diri dalam barisan orang-orang Merdeka, bersama Al-Hurr. Ketika datang petunjuk dan ayat yang nyata. Sang budak memilih Jalan Cinta. Nabi Saw dan keluarganya yang suci adalah cahaya. Perilaku Yazid mempermainkan kepala suci Al Husain as adalah kebiadaban. Bahkan bila ditinjau dari sudut pandang etika perang manapun. Sang budak , – karena tafakkur sesaat- , memilih untuk Jatuh Cinta pada Al Husain as dan mengorbankan segalanya bagi Al Husain as. Keberanian, spontanitas, ketulusan, dan kekuatan kalam yang menggoncang kepongahan hegemoni, semua bersatu  Demikianlah Cinta pada Al Husain. Demikian mendalam, menggugah, menyadarkan, memberikan satu hal yang paling mendasar yang dibutuhkan manusia. Kemerdekaan. Jalan Cinta yang menyampaikan budak ini pada Kemerdekaan kadang di sebut thariq al-ahrar.

Di tengah reruntuhan kepongahan Yazid, kita melihat seorang budak Perempuan. Ia menyaksikan pemandangan yang mengubah hidupnya selamanya: sang penguasa sedang menghina gigi mulia Imam Husain as. Gigi mulia kepala Cucu Nabi saw  yang telah terlepas dari tubuhnya. Dalam sekejap, tanpa perhitungan duniawi, ia memilih protes—dan syahid. Peristiwa ini bukan sekadar kisah heroik, melainkan fenomena psikospiritual yang kompleks, layaknya “pengalaman religius genuin” yang digambarkan William James dalam The Varieties of Religious Experience. Seperti kilatan cahaya yang menyadarkan, sang budak mengalami apa yang dalam fenomenologi Husserl disebut epoché—penangguhan seluruh sistem keyakinan lamanya untuk menerima kebenaran baru.

Mimpi sang budak perempuan di istana Yazid bukan sekadar bunga tidur, melainkan pengalaman transformatif yang menggetarkan jiwa—seperti yang dijelaskan Carl Jung sebagai “visi numinus”, pertemuan dengan yang sakral yang menghancurkan kesadaran lama. Dalam mimpinya, ia menyaksikan Nabi saw, Fatimah az-Zahra, dan para nabi turun dari langit, sebuah gambaran arketipe “kolektif bawah sadar” tentang kemenangan kebenaran atas kezaliman. Psikolog modern seperti Stanley Krippner  , – tokoh parapsikologi- menyebut pengalaman seperti ini sebagai “mimpi transformatif”—mimpi yang tidak hanya merefleksikan perubahan internal, tetapi juga menjadi katalis untuk tindakan nyata. Ketika sang budak menyadari mimpinya sebagai anugerah Tuhan, ia mencapai apa yang Abraham Maslow sebut “puncak pengalaman” (peak experience), saat seseorang tiba-tiba memahami tujuan hidupnya dengan jelas dan berani memilih jalan yang benar, meski harus mengorbankan segalanya.

Jalan yang ditempuh sang budak mencerminkan esensi kemerdekaan sejati menurut psikologi eksistensial Viktor Frankl: kebebasan untuk memilih respons kita dalam situasi apa pun. Seperti Al-Hurr dan Zuhair bin Qain, ia memilih cinta dan kebenaran di atas segala kenikmatan duniawi—sebuah keputusan yang menurut Rollo May berasal dari “keberanian untuk menjadi” (the courage to be). Mimpi transformatifnya menjadi jembatan antara kesadaran individu dan kebenaran transendental, sebagaimana dijelaskan Irvin D. Yalom dalam teori psikoterapi eksistensial. Inilah yang membedakan mimpi biasa dengan visi ilahiah: yang pertama berlalu seperti kabut, sedangkan yang kedua mengubah pelakunya menjadi pemberani yang siap syahid demi kebenaran.

Psikolog positif Martin Seligman akan melihat kisah ini sebagai contoh “kehidupan yang bermakna” (meaningful life), di mana seseorang menemukan tujuan melampaui kepentingan dirinya sendiri. Mimpi sang budak mengingatkan kita pada kata-kata Jung: “Siapa yang melihat ke luar, bermimpi; siapa yang melihat ke dalam, terjaga.” Dalam keadaan antara tidur dan terjaga itulah ia “terbangun” secara spiritual, memilih jalan orang-orang merdeka yang—seperti dikatakan Ali Syariati—”menyatakan kebenaran meski langit akan runtuh.” Kisahnya membuktikan bahwa mimpi transformatif bukanlah pelarian, melainkan senjata revolusi kesadaran yang diberikan Tuhan kepada mereka yang hatinya siap berubah.

Dari sudut psikologi cinta modern, kisah Zuhair bin Qain dan budak perempuan ini menunjukkan karakteristik “cinta transformatif” (Sternberg, 1986)—jenis cinta yang tidak hanya mengubah objek yang dicintai, tetapi juga subjek yang mencintai. Ketika Zuhair—mantan pendukung Utsman—berbalik membela Husain setelah satu pertemuan singkat, kita melihat “efek Damaskus” (analogi dari “efek Paulus” dalam psikologi konversi) di mana perubahan radikal terjadi dalam sekejap.

Dekonstruksi Jacques Derrida menyoroti “budak vs merdeka” dalam narasi ini. Sang budak—yang secara sosial adalah pihak terpinggirkan—justru mencapai kemerdekaan hakiki melalui tindakan protesnya. Sementara Yazid—sang penguasa—ternyata adalah “budak” sejati dari nafsunya sendiri. Ini mengingatkan pada analisis Bertrand Russell tentang “kebebasan positif”—kebebasan bukan sekadar tidak adanya hambatan eksternal, melainkan kemampuan untuk bertindak sesuai nilai tertinggi.

Meminjam dari Hans-Georg Gadamer, penglihatan mistik sang budak sebagai “fusi horizon”—pertemuan antara horizon pemahman duniawi dan transendental. Visi tentang Nabi saw dan Fatimah az-Zahra bukan halusinasi, melainkan “penyingkapan kebenaran” (aletheia) yang memutus rantai kesadaran palsu. Mengikuti ürgen Habermas perlawanan sang budak adalah contoh “tindakan komunikatif” yang ideal—ucapannya yang jujur meruntuhkan seluruh legitimasi kekuasaan Yazid. Dalam terminologi Hegel, ini adalah momen dialektika di mana “roh budak” (thesis) bertemu dengan “kebenaran Husain” (antithesis) melahirkan “kemerdekaan sejati” (synthesis).

Murtadha Mutahari dalam Man and Universe menjelaskan bahwa sejarah manusia adalah medan pertempuran antara “kebenaran yang tertindas” (mustadafin) dan “kekuasaan palsu” (mustakbirin). Kisah budak perempuan ini adalah mikrokosmos dari pertarungan tersebut—seperti gerakan pembebasan Ali Syariati yang melihat agama sebagai “senjata kaum tertindas”. Apa yang dialami sang budak adalah “ledakan kesadaran” (explosion of consciousness) sebagaimana digambarkan Frantz Fanon—saat seseorang tiba-tiba menyadari hakikat penindasan dan memilih melawan. Dalam bahasa Foucault, ini adalah “momen subversif” ketika wacana kekuasaan dominan (Yazid) dihancurkan oleh suara yang paling tak terduga (seorang budak).

Kisah ini mengajarkan bahwa cinta sejati—seperti cinta pada Husain—selalu bersifat pembebas. Ia adalah “thariq al-ahrar” (jalan orang merdeka) yang ditunjukkan Al-Hurr, Zuhair, dan budak perempuan ini. Seperti kata Ali Syariati: “Cinta tanpa pengorbanan adalah omong kosong, pengorbanan tanpa cinta adalah tragedi.”

Di dunia yang dibelenggu oleh hegemoni materialisme, kisah-kisah Karbala ini tetap relevan. Menjadi al Hurr , Zuhair dan Sang Budak Perempuan di Jalan Cinta dan bergabung dengan mereka yang mengorbankan segalanya demi Yang Benar, Yang Suci dan Yang Indah; atau duduk menjadi penonton yang berpangku tangan dalam beribu kezaliman para kuasa yang semakin pongah? Sungguh pilihan ada pada diri kita sendiri. Dan sungguh Taufik kita hanya dari Allah, kepadanya kita bertawakkal dan kepadaNya kita akan kembali.

Wa maa taufiiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Artikel Lain
Close
Back to top button