Khazanah

Dalam Bayang Kemiskinan: Sebuah Ziarah Kemanusiaan Melintasi Zaman

“Sesungguhnya orang-orang miskin lebih dahulu masuk surga sebelum orang kaya

selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun lamanya.”

— Nabi Muhammad SAW (HR. Tirmidzi)

“Poverty is the parent of revolution and crime.”

iklan

— Aristotle

Lotre Kelahiran dan Distribusi Kekayaan

Bila Anda terlahir sebagai anak Adam di mana pun di muka bumi ini, dari Mesopotamia kuno hingga dunia digital modern, maka probabilitas Anda untuk hidup sebagai orang miskin dan berkekurangan adalah di atas 90%. Sepanjang sejarah umat manusia, kekayaan didistribusikan secara long tail: sebagian besar orang menerima sangat sedikit, dan sangat sedikit orang menerima hampir segalanya. Sebagai contoh saat ini total AUM (Asset Under Management) dari 200 investor top dunia adalah USD 110 triliun, sekitar 96,7% dari Produk Domestik Bruto Global. Dan semua orang di luar 200 investor top dunia ini berbagi sisanya.  Inilah yang disebut long tail!

Menurut data dari Global Inequality Lab (2022), sejak 2000 SM hingga kini, sekitar 90–95% populasi manusia hidup dalam kondisi kemiskinan relatif atau absolut, tergantung dari standar zamannya. Ketimpangan bukanlah anomali; ia adalah norma sejarah.

Mesopotamia: Awal Ketidaksetaraan

Di tanah di antara dua sungai, Eufrat dan Tigris, peradaban pertama mencatat segala hal: perdagangan, hukum, bahkan kemiskinan. Dalam Kode Hammurabi (1754 SM), terdapat 282 hukum yang secara eksplisit membedakan kelas sosial antara bangsawan, warga bebas, dan budak. Kemiskinan adalah keadaan turun-temurun, diwariskan melalui kasta dan kekuasaan. Peluang seseorang yang lahir sebagai budak untuk menjadi bebas hampir nihil, mendekati 0%.

Namun catatan lempung juga menunjukkan adanya sistem ku-li (buruh tak tetap) yang kelimpungan menghadapi musim buruk. Kematian akibat kelaparan atau eksploitasi menjadi takdir umum.

wakaf da

Cina dan India: Takdir dalam Struktur

Di Cina kuno, dinasti Shang dan Zhou mengenal pembagian kelas yang kaku. Petani mengisi lebih dari 90% populasi, namun hanya memiliki sedikit hak atas tanah. Menurut Historical Records oleh Sima Qian, bencana kelaparan dan pajak memaksa banyak keluarga menjual anak-anaknya.

Di India, sistem kasta menciptakan probabilitas kemiskinan yang hampir absolut. Mereka yang lahir sebagai dalitmemiliki peluang nyaris 0% untuk keluar dari kemiskinan struktural selama ribuan tahun. Bahkan data modern dari Oxfam India (2020) menunjukkan bahwa kelompok Dalit dan Adivasi tetap mendominasi statistik termiskin dengan akses minim ke pendidikan dan kesehatan.

Yunani dan Romawi: Demokrasi untuk Siapa?

Di Athena kuno, demokrasi dirayakan, namun hanya untuk warga pria bebas. Para budak dan perempuan — sekitar 60% populasi — tidak memiliki suara. Peluang mereka untuk hidup sejahtera? Rendah. Sejarawan Moses Finley mencatat bahwa hanya 10% warga kota yang hidup dalam kemakmuran.

Di Romawi, konsep latifundia (perkebunan besar) membuat tanah dikuasai segelintir elite. Puluhan ribu budak bekerja tanpa upah. Dalam tulisan Tacitus dan Seneca, mereka menggambarkan jurang sosial yang menganga. Ketimpangan adalah wajah imperium.

Dunia Arab dan Abad Pertengahan: Keadilan yang Dicita-Cita

Islam datang membawa konsep zakat dan larangan riba. Dalam Al-Qur’an, si miskin disebut lebih dari 20 kali sebagai kelompok yang harus dilindungi. Sistem Bayt al-Mal di masa Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bagaimana kekayaan didistribusikan. Tercatat dalam Tarikh al-Tabari, pada masa itu, hampir tak ada lagi penerima zakat karena semua kebutuhan dasar tercukupi.

Namun di Eropa abad pertengahan, kemiskinan mewabah. Feodalisme menjerat petani dalam lingkaran pajak dan ketundukan. Menurut data sejarawan Robert Brenner, pada abad ke-14, sekitar 75% populasi hidup di bawah garis subsistensi.

Modernitas dan Ketimpangan Global

Revolusi industri menjanjikan kemajuan. Namun Karl Marx menulis, “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.” Kota-kota seperti Manchester dan London menjadi pusat penderitaan kaum buruh.

Di dunia kini, kemiskinan masih menyelimuti. Data dari World Bank (2023):

•   659 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem (< $ 2.15/hari).

•   80% dari populasi termiskin hidup di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan.

•   1 dari 3 anak di negara berkembang mengalami kekurangan gizi.

Peluang seseorang keluar dari kemiskinan bergantung pada:

1.  Kelas sosial saat lahir

2.  Akses pendidikan

3.  Status minoritas (etnis, gender)

Menurut laporan Global Social Mobility Index (WEF, 2020), anak-anak dari kuintil termiskin di negara berkembang hanya memiliki peluang 1 dari 10 untuk mencapai kuintil terkaya.

Probabilitas dan Kasih

Kemiskinan adalah soal probabilitas. Bukan pilihan. Sebuah lotre kelahiran yang tak adil. Seperti ditulis oleh filsuf John Rawls dalam A Theory of Justice (1971):

“Justice as fairness requires that inequalities be arranged to benefit the least advantaged.”

Ekonom Amartya Sen menunjukkan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang pendapatan, tapi juga capability deprivation— kekurangan pilihan dan agensi.

Jika dunia terus mendasarkan distribusi hanya pada performansi dan daya saing, maka milyaran orang akan tetap tertinggal karena mereka memulai dari posisi terburuk.

Epilog: Dunia yang Mengasihi

Dunia yang sejahtera bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang keadilan distributif. Kesejahteraan bukan hadiah, tapi hak. Dan sistem sosial mestilah mencerminkan Kasih Ilahi, yang tidak menilai dari skor atau kekuatan, tetapi dari kebutuhan dan kelembutan.

Bagi yang lahir miskin, probabilitas keadilan harus ditingkatkan: melalui pendidikan universal, jaminan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan sistem zakat atau redistribusi kekayaan.

Karena, seperti kata Khalil Gibran:

“The most pitiful among men is he who turns his dreams into silver and gold.”

Dan tugas kita, umat manusia, bukanlah mengukur keberhasilan dari kuasa, tapi dari seberapa besar kita mengangkat yang paling lemah.

Jelang 25 tahun Milad Perak IJABI 1 Juli 2025 ini, ijinkan saya menutup tulisan ringkas ini dengan mengutip pesan dari Allahyarham K.H . Jalaluddin Rakhmat, pendiri sekaligus Sprititual & Intellectual Master dari IJABI yang kita cintai.

            “Pada suatu hari, Nabi Musa melewati orang yang sedang menangis, merintih memohon ampunan. Ketika Musa kembali ke tempat yang sama, ia masih menemukan orang itu sedang menangis. “Tuhanku, hamba-Mu menangis karena takut kepada-Mu,” kata Kalimullah. Tuhan menjawab langsung:

“Wahai Musa, seandainya otaknya mengalir bersama linangan airmatanya sekalipun, Aku tidak akan mengampuninya, karena ia sangat cinta dunia.” (Jalaluddin Rakhmat, Jangan Bakar Taman Surgamu, hal. 14)

Selanjutnya, di buku yang sama,

            “Tuhan berkata kepada Musa, “Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba-Ku yang dosa-dosa dan kesalahannya mengisi seluruh sudut langit. Tapi Aku ampuni dia. Aku tidak peduli dengan dosa-dosanya.”

“Yaa Rabb, kaifa laa tubaalii? Tuhanku, kenapa Engkau tidak peduli?”

Karena satu perkara mulia yang ada pada diri orang itu, yang Aku cintai. Karena kecintaannya kepada mukmin yang miskin. Ia bergaul dengan mereka, menyamakan dirinya dengan mereka, tidak menyombongkan dirinya di atas mereka, dan ketika ia berbuat begitu, Aku ampuni dosa-dosanya. Aku tidak peduli.” (Jalaluddin Rakhmat, Jangan Bakar Taman Surgamu, hal.15)

*) Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Referensi:

•   World Bank. (2023). Poverty and Shared Prosperity Report.

•   Oxfam India. (2020). Time to Care: Inequality Report.

•   Rawls, J. (1971). A Theory of Justice.

•   Sen, A. (1999). Development as Freedom.

•   Finley, M. (1981). Economy and Society in Ancient Greece.

•   Tabari, M. (915). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk.

•   Brenner, R. (1976). Agrarian Class Structure and Economic Development.

•   Gibran, K. (1923). The Prophet.

•   Global Inequality Lab. (2022). World Inequality Report.

•   World Economic Forum. (2020). Global Social Mobility Index.

•   Rakhmat, J (2017), Jangan Bakar Taman Surgamu

•   https://dorar.net/hadith/sharh/35254

•   ChatGpt

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button