
Ahmad Tafsir, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dalam suatu kesempatan
pernah menceritakan pengalaman pertemuan pertamanya dengan mendiang Jalaluddin
Rakhmat. Tafsir, yang juga telah berpulang pada pertengahan 2024 silam, mengisahkan
pertemuan tersebut sebagai pertemuan yang membahagiakan.
Rakhmat saat itu masih merupakan mahasiswa tingkat pertama Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran. Pada momentum shalat Jumat, Rakhmat bertindak sebagai khatib
yang menyampaikan ceramah agama. Tafsir dengan segera terkesan pada isi dan gaya
penyampaian Rakhmat. Seusai shalat, ia menghampiri Rakhmat, berkenalan dengan anak
muda itu dan mengajaknya untuk mampir ke rumah.
Tafsir merasa telah menemukan salah seorang ”pewarisnya”. Baginya, ini menjadi semacam
kebahagiaan tersendiri. Di rumah Tafsir, Rakhmat melahap tumis kangkung buatan istri Tafsir
dan memuji-muji masakan tersebut.
Kisah tersebut disampaikan Tafsir pada 2022 silam dalam webinar yang menjadi rangkaian
peringatan haul pertama Jalaluddin Rakhmat. Menjadi semacam penghormatan atas
intelektualitas Rakhmat, webinar tersebut mengangkat tema ”Menghidupkan Kembali Tradisi
Intelektual Islam di Indonesia”.

Kang Jalal, apa pun pandangan orang tentangnya, memang tak bisa ditampik sebagai salah
satu simbol dinamika intelektual Islam Indonesia. Ia menjadi sosok yang terlibat aktif, atau
bahkan justru menjadi pemantik, dalam sejumlah pergulatan pemikiran (Islam) di Indonesia.
Ia tidak hanya menulis, tetapi juga membangun basis intelektual bagi pemikiran Islam yang
kritis dan reflektif. Buku-bukunya menebar pengaruh hingga lintas generasi, seperti Islam
Alternatif (1986), Islam Aktual (1991), dan Renungan-renungan Sufistik (1991).
Karya-karya ini menjadi jendela bagi pembaca—yang umumnya didominasi anak-anak muda
Islam—untuk memahami Islam dalam lanskap yang lebih luas, tidak melulu dalam bingkai
normatif, tetapi juga dalam tafsir sosial yang kaya makna.
Tentu saja, pandangan-pandangannya kerap mendapat tantangan. Buku Islam Aktual,
misalnya, mendapat tanggapan berupa buku (kecil) dari Ahmad Husnan, Kritik Hadits
Cendekiawan Dijawab Santri, yang terbit satu tahun berselang (1992). Belakangan, buku
kritik ini pun mendapat respons dari Agus Efendi melalui bukunya, Menjawab ”Santri”,
Menanggapi Tanggapan Atas Buku Islam Aktual, yang terbit pada 1993.
Pada masanya, dari perdebatan semacam inilah, lanskap pemikiran Islam di Indonesia terus
berkembang, menandai satu era di mana intelektualisme Islam tumbuh subur, berpolemik
tanpa kehilangan kehangatan dialog, beradu argumentasi tanpa kehilangan etika.
Maka, tak mengherankan bila rangkaian haulnya kerap diperingati oleh para muridnya untuk
kegiatan yang juga bernuansa intelektual (peluncuran buku, diskusi terbuka). Sebagai guru
(agama), murid-murid Kang Jalal tersebar ke berbagai kalangan, mulai dari ibu-ibu majelis
taklim hingga mahasiswa-mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Belakangan,
kesibukannya sebagai anggota legislatif juga tidak menyurutkan niatnya untuk berbagi
wawasan.

Filsafat bukan sekadar wacana
Beberapa saat sebelum tutup usia pada 2021 silam, Kang Jalal aktif mengisi kajian Filsafat
sebagai Way of Life. Kajian ini diselenggarakan di Jakarta dan Bandung. Sebagian dari kajian
ini, hari ini, bisa diikuti pula dalam berbagai platform digital.
Pada 2025 ini, dalam rangka haul keempat, diluncurkanlah buku Filsafat sebagai Way of Life,
yang berangkat dari tulisan-tulisan dan transkrip-transkrip materi beliau dalam kajian
tersebut.
Buku Filsafat sebagai Way of Life disusun dengan merangkai pemikiran dan materi yang
pernah disampaikan Kang Jalal dalam kajian-kajian terakhirnya. Sebagian besar naskah buku
ini, sebagaimana disampaikan dalam pengantar oleh Miftah Rakhmat, putra Kang Jalal,
merupakan naskah yang memang ditulis langsung oleh Kang Jalal.
Pada bagian kelima termuat uraian-uraian Kang Jalal tentang sejumlah filsuf, mulai dari Ali
Syariati hingga Noam Chomsky, dari Mulla Nasrudin hingga Teilhard de Chardin, yang di
antaranya pernah dimuat di sejumlah media massa. Bagian ini semakin menguatkan kesan
Kang Jalal sebagai ulama ensiklopedik dengan gaya narasi yang memikat.
Hanya pada bagian keempat naskah buku ini ditulis oleh sejumlah murid Kang Jalal. Langkah
ini terpaksa ditempuh lantaran kendala teknis dan nonteknis menghalangi upaya
mendapatkan backup rekaman audio kajian-kajian tersebut. Dengan mengandalkan catatan
dan ingatan, murid-murid Kang Jalal, seperti Dr Dimitri Mahayana dan Agus Nggermanto,
berupaya menyusun kembali gagasan-gagasan yang pernah disampaikan Kang Jalal dalam
diskusi-diskusi sebelumnya.
Dalam kadar yang tepat
Salah satu aspek menarik dalam buku ini terletak pada bagian keenam, di mana Kang Jalal
mengulas secara luas mengenai filsafat pemaafan (philosophy of forgiveness). Di sini, Kang
Jalal mempertemukan konsep pemaafan dari Al-Ghazali dengan pemikiran Martha
Nussbaum, filsuf Amerika yang banyak berbicara tentang toleransi dan peran pengampunan
dalam konsiliasi politik.

Dalam bukunya, Zorn und Vergebung, Nussbaum mengkritik gagasan yang berhenti
menempatkan kemarahan sebagai respons alami terhadap ketidakadilan. Sebaliknya, ia
mengusulkan dunia yang tidak lagi didominasi oleh kemarahan dan pengampunan bersyarat,
tetapi oleh rasionalitas dan welas asih.
Sementara itu, dalam perspektif Al-Ghazali, kemarahan bukan hanya sekadar emosi yang
harus dikendalikan, melainkan juga bagian dari potensi manusia. Dalam pandangannya,
Tuhan telah membekali manusia dengan kekuatan untuk menolak hal-hal yang menyakitkan,
salah satunya melalui kemarahan.
Namun, seperti dalam ajarannya tentang akhlak, Al-Ghazali menekankan pentingnya
keseimbangan. Ia menyebut bahwa kemarahan yang sehat adalah yang berada dalam kadar
moderat—tidak berlebihan hingga menjadi destruktif, tetapi juga tidak kekurangan sehingga
menimbulkan sikap lemah.
Dalam kajian ini, Kang Jalal menekankan bahwa kebahagiaan erat kaitannya dengan
kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya, termasuk kemarahan. Marah yang
berlebihan, dalam banyak tradisi filsafat, dianggap sebagai racun bagi kebahagiaan. Bahkan,
secara ilmiah, emosi ini disebut sebagai toxic emotion atau deadly emotion, yang jika
dibiarkan dapat merusak ketenangan batin seseorang.
Meski demikian, para pembaca juga diajak untuk tidak serta-merta melupakan kemarahan
dan menekannya sedemikian rupa. Dalam kadar yang tepat, sebagaimana konsepsi yang
diajukan Al-Ghazali, kemarahan sejatinya merupakan senjata yang dibekali Tuhan kepada
umat manusia sebagai salah satu bentuk pertahanan diri.

Al-Ghazali sendiri menggambarkan orang-orang yang tidak pernah marah sebagai seseorang
yang tidak memiliki ghirah, atau kecemburuan. Padahal, kecemburuan merupakan salah satu
bentuk komitmen untuk membela diri dari sesuatu yang bisa jadi mengancam.
”Ghirah,” tulis Kang Jalal, ”diperlukan untuk menahan agar tiap-tiap pihak tidak
mengkhianati janji setia yang mereka ikat.”
Pemahaman semacam ini pula yang mungkin bisa digunakan dalam meneropong sejumlah
kemarahan yang diekspresikan sejumlah masyarakat dalam beberapa waktu terakhir ini,
terkait penolakan atas proses politik yang dipertontonkan para elite.
Kemarahan tersebut, yang semoga tetap berada dalam kadar yang tepat, menurut perspektif
pemikiran Nussbaum dan Ghazali, selayaknya dipandang memiliki kaitan dengan rasa
ketidakadilan, yang perlu disikapi dengan tepat. Agar apa-apa yang masih berada dalam
tataran rasionalitas dan welas asih tidak berubah menjadi huru-hara yang tak terkendali.
*) IMAM HIDAYAH, Pengajar pada Universitas Muhammadiyah Cileungsi.
DATA BUKU
Judul: Filsafat sebagai Way of Life
Penulis: Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc.
Penerbit: Simbiosa Rekatama Media
Tahun Terbit: Cetakan I, Februari 2025
Tebal buku: xxiv + 404 halaman
ISBN: 978-634-7116-01-7